by

Umar Tak Kunjung Datang

Cerpen Esai oleh Alamsari

KOPI, Banyuasin – Telah sampai kepadaku kabar dari angin lembah yang membawa luka. Sebuah kisah yang menyesakkan dada. Sedang dalam pertarungan hidup dan mati, seorang yang begitu dinanti tak kunjung menghampiri. Hingga pada ujung nafas terakhirnya, kematian perempuan itu menyisakan tanda tanya. “Apakah benar, Tuan Umar sudah tidak ada?”

Perempuan itu sebenarnya masih muda, namun keriput telah membalut hampir seluruh wajahnya. Ada banyak kegelisahan yang ia sembunyikan. Sesekali ia melamun panjang, menatap periuk di atas tungku api, lalu jatuhlah butir air matanya. Derit nyanyian jendela kamar yang hampir lepas dihempas angin, tiba-tiba membangunkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu mereka merengek-rengek, lagi. Mereka berdiri dalam keadaan sempoyongan, beringsut mendekati ibunya.

“Apakah nasi sudah matang, Bu?” tanya anaknya yang paling bungsu.

“Aku sudah lapar, Bu!” seloroh anaknya yang satunya lagi. Perempuan itu segera mendekap erat kedua anaknya, membelainya dengan lembut.

“Sabar, nak. Sebentar lagi nasinya matang.”

“Sekarang tidurlah lagi. Nanti, ibu akan membangunkan kalian.”

Maka memancarlah cahaya dari ujung simpul kedua bibirnya dan mereka kembali ke dalam kamarnya dengan perasaan tenang. Lalu sekelabat, tidur mereka begitu lelap, lagi. Entah apa yang mereka bayangkan? Mungkin mereka sedang bermimpi menghadap menu yang bervafiasi dan lezat-lezat lalu makan sekenyang-kenyangnya.

Perempuan itu kembali mengaduk nasi. Sesekali mulutnya mengembung—memipih meniup corong pipa untuk membesarkan nyala bara. Kayu yang ia pakai telah basah ditimpa hujan semalaman, sebab itulah butuh waktu agak lama sampai nasi itu benar-benar matang.

“Bangunlah, ayo makan!” perempuan itu menghidangkan nasi. Anaknya makan lahap sekali, padahal tidak ada lauk menyerta. Memancarlah kebahagiaan perempuan itu tatkala menatap wajah anak-anaknya. Ia bersyukur karena Tuhan masih memberikan rezeki hari ini. Tiba-tiba perutnya menyelisip perih. Perempuan itu lupa kalau ia sendiri belum makan seharian. Diambilnya periuk itu, dikeroknya sisa nasi yang mengerak pada dasarnya. Dimakannya dengan lahap, seolah sedang menyantap makanan mewah. Remah kerak menempel di sela mulut, dibersihkannya, lalu seketika pipi perempuan itu basah. Terbayanglah jerit tangis kedua anaknya. Itu adalah nasi terakhir yang ia punya. Setelahnya, perempuan itu tak lagi tahu harus makan apa.

***

Pagi buta, ia sudah meninggalkan rumah. Menjejak langkah pada setiap jengkal jalanan yang basah, masuk dari lorong ke lorong, dan berhenti pada sebuah gundukan sampah. Dengan cekatan dikaisnya sampah itu dengan kedua tangannya. Diambilnya beberapa plastik bekas minuman kemasan, diremasnya lalu dimasukkannya ke dalam karung yang ia bawa. Ia beranjak lagi mencari tempat-tempat pembuangan sampah lainnya. Begitulah perempuan itu menghabiskan hari. Tanpa kenal lelah, ia terus melangkah mengarungi hari. Hingga telah sampai matahari meninggi, ia berlindung di bawah pohon yang rindang. Menselonjorkan kaki, sekedar melepas penat sebentar saja. Keringatnya mengucur membasahi baju kumalnya. Sesekali ia menepuk-nepuk dada karena nafasnya sedikit sesak.

Tidak seperti biasa, hari itu sudah berjam-jam ia mencari plastik, tetapi karungnya belum juga terisi penuh. Di sekitarnya penuh dengan kesenyapan. Sesekali angin berhembus membawa kabar kematian. Tidak banyak orang yang keluar. Sudah beberapa pekan, pagebluk covid-19 menghantui para warga (1). Kabarnya virus yang bermula dari Wuhan, China itu sangat mematikan (2). Ahli Virologi mengatakan bahwa corona hanya ditularkan dari binatang ke manusia (3). Entah bagaimana, virus itu kemudian bermutasi menjadi lebih pintar sehingga mampu beradaptasi dan menular dari manusia ke manusia. Penyebarannya sangat cepat dan dalam sekejap sudah mampu menginfeksi jutaan orang di ratusan negara. Oleh WHO, bencana itu dijadikan wabah pandemi dunia (4).

Perempuan itu menghela nafas panjang. Di tempatnya tinggal memang belum ada yang terjangkit, tetapi di tempat lain ada cukup banyak yang telah terinfeksi. Awalnya bermula dari orang-orang kaya yang suka ke luar negeri, naik—turun pesawat. Ketika kembali ke tempat asalnya, orang-orang itu berinteraksi dengan relasinya. Virus corona yang dibawa tanpa sepengetahuannya, menyebar melalui percikan ludah yang menempel pada tangan, baju, kertas, uang, atau benda lainnya (5). Kemudian berpindah-pindahlah virus itu dari satu manusia ke manusia lainnya, hingga persebarannya menjadi sukar diprediksi dan tak terkendali. Oleh karena itulah, pemerintah menetapkan daerahnya sebagai zona merah. Tak heran, saat ini PSBB diberlakukan di mana-mana (6). Semua orang wajib memakai masker. Orang-orang harus berdiam di rumah. Bagi mereka dengan ekonomi matang, tentu tidak jadi masalah. Toh, mereka akan senang-senang saja. Kebutuhan mereka tetap terjamin. Tetapi tidak bagi orang-orang kecil seperti halnya perempuan itu. Ia harus tetap keluar rumah untuk mengais sampah agar bisa makan, walau harus mempertaruhkan nyawa.

Di perjalanan, ia mampir ke tempat pengepul sampah. Di masa pandemi, banyak orang yang mengalami krisis usaha (7), termasuk tempat pengepul sampah langganannya. Perempuan itu tak dapat lagi menjual barang pulungannya. Ia pulang ke rumah dengan memikul resah.

***

Perempuan itu duduk termangu, menatap periuk di atas tungku. Sesekali mulutnya mengembung—memipih meniup pipa untuk membesarkan nyala bara.

“Ibu, aku lapar!” ujar anaknya yang bungsu.

“Kapan nasinya matang, Bu?” tanya anaknya yang satu lagi.

“Sabar anakku. Sebentar lagi matang kok.” perempuan itu mendekap kedua anaknya dengan lembut.

“Sekarang tidurlah lagi! Nanti Ibu akan membangunkan kalian.”

Perempuan itu mengaduk periuk. Entah apa yang dimasaknya, sudah berjam-jam belum matang juga (8). Kedua anaknya kembali terbangun. Lapar telah membuat perut mereka perih. Mereka menangis, lagi.

“Ibu, kapan nasinya matang?”

“Sebentar, nak. Ibu akan mencicipinya dulu.” perempuan itu menciduk, kemudian mencecap masakannya.

“Tuh, kan. Masih kurang sedap. Sekarang kalian tidurlah lagi. Kalau sudah matang, Ibu akan membangunkan kalian.” kedua anaknya kembali tidur, lagi.

Perempuan itu membuka pintu, membiarkannya menganga, sedang ia kembali ke tempat perapiannya. Kembali mengaduk periuk di atas tungku. Sesekali ia memandang ke arah pintu, menatap dengan penuh kegelisahan, seperti ada seseorang yang sedang ia tunggu. Perutnya tiba-tiba menyelisip perih. Di ambilnya kain panjang, lalu diikat perutnya itu begitu erat.

Perempuan itu kembali mengaduk periuk di atas tungku api. Matanya menyala-nyala, seolah ia telah murka. Sesekali mulutnya menyeracau, memaki-maki.

“Awas saja kau! Akan kubalas nanti.” perempuan itu mematikan api. Diangkatnya periuk nasi. Kedua anaknya terbangun, lagi.

“Apakah nasinya sudah matang, Bu?” tanya anaknya, lagi.

“Sudah! Tinggal menunggu dingin. Sekarang tidurlah lagi.” perempuan itu membaringkan anaknya, lagi. Ia menyanyikan tembang lirih. Air matanya membasahi pipi. Dadanya penuh luka, batinnya penuh tanya. “Apakah Tuan Umar sudah tidak ada?” perempuan itu memejam. Ia pergi jauh dengan membawa resah yang tak sudah.

***

Malam itu, bersama munculnya anak bulan sabit, angin lembah telah berhembus membawa kabar luka. Karangan bunga datang silih berganti. Ucapan duka mengalir tanpa henti. Pada kematiannya, keresahan perempuan itu akhirnya terjawab sudah. Seorang yang ia nanti kini telah datang menghampiri (9). Tuan Umar telah datang dengan mengenakan jubah kebesaran. Bukan satu Umar, tetapi berpuluh-puluh Tuan Umar. Mereka datang dengan memanggul beras, membawa setumpuk uang, dan juga disertai sorotan kamera.

Catatan kaki:

1. Banyak masyarakat yang merasa takut keluar rumah karena Covid-19 https://www.nu.or.id/post/read/118662/pcnu-pekalongan–jangan-biarkan-masyarakat-takut-keluar-rumah

2. Dugaan awal virus Covid-19 berasal dari Wuhan, China https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/09/061000865/benarkah-virus-corona-penyebab-covid-19-berasal-dari-pasar-wuhan

3. Dugaan awal Covid-19 ditularkan melalui binatang https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52536960

4. WHO tetapkan Covid-19 sebagai Pandemi Global https://www.kompas.tv/article/70893/who-tetapkan-wabah-virus-corona-sebagai-pandemi-global

5. Covid-19 menular melalui percikan ludah https://health.kompas.com/read/2020/04/10/134800768/virus-corona-berpotensi-menyebar-melalui-percikan-ludah?page=all

6. Berbagai daerah memberlakukan PSBB https://nasional.kompas.com/read/2020/04/16/13084531/pemerintah-telah-setujui-psbb-di-11-daerah

7. Covid-19 telah menyebabkan krisis parah https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5007219/krisis-ekonomi-akibat-corona-lebih-parah-dari-1998-kok-bisa

8. Terinspirasi dari kisah Umar dan Pemasak Batu https://news.detik.com/berita/d-5001058/kisah-umar-bin-khattab-dan-ibu-yang-masak-batu-karena-tak-punya-makanan

9. Kepergian Ibu Yuli yang dua hari minum air gallon akhirnya mendapatkan simpati https://www.merdeka.com/peristiwa/mensos-soal-ibu-yul-meninggal-kelaparan-pemda-harus-jadi-garda-terdepan-buat-warga.html

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA