Cerpen esai oleh Duwi Hartanti
KOPI, Kediri – Kedamaian pagi Karji terusik oleh gerutuan sang istri. Karji hanya bisa menutup telinganya dan pura-pura tidak mendengar keluhan sang istri.
“Mas, jangan berlagak tuli! Coba cari solusi ini kuota data internet habis. Nanti anak-anak pasti merengek dan marah-marah karena tidak bisa turut serta dalam pembelajaran online. Belum lagi lihat tuh… beras tinggal setengah liter. Bawang putih amblas untuk memasak sahur tadi malam.” gerutu Marni
Karji malas menanggapi karena jika ia menanggapi ujung-ujungnya pasti pertengkaranlah yang terjadi. Selama ini bukannya Karji malas bekerja, hanya saja karena virus corona pekerjaan Karji sebagai tukang bangunan harus berhenti untuk sementara waktu. Himpitan ekonomi yang semakin mencekik saat pandemi membuat rumah tangga Karji menjadi tidak kondusif. Agaknya anggapan peningkatan KDRT dan perceraian di masa pandemi memang benar adanya[1].
“Mas, kok mbisu? Protes Marni.
“Ia nanti saya cari pinjaman dulu ke tempat Parjo, semoga saja dia masih punya simpanan.” Ucap Karji menimpali. Marni tersenyum lega setelah mendapat solusi dari sang suami.
Selesai mengucapkan rencananya, Karji segera berangkat ke rumah Parjo. Di teras rumah yang tampak asri dengan beberapa bunga hijau, Parjo tampak duduk termenung.
‘Ehmmm…” dehem Karji membuyarkan lamunan Parjo.
“Ada Apa? Bikin orang kaget saja.”
“Saya ke sini ada perlu.”
“Mau pinjam uang?” tebak Parjo dengan mudah
“Kok langsung tahu, jangan-jangan kamu dukun?” canda Karji
“Bagi orang kecil seperti kita, saat pandemi seperti ini apa lagi yang paling kita perlukan pastilah uang ha.. Perlu berapa, Mas? Kalau tidak terlalu banyak, saya masih bisa membantu.” tanya Parjo.
Sebelum Karji menjawab, Dia mendengar sayup-sayup berita duka tentang kepergian Didi Kempot dari televisi mungil di rumah Parjo.
“Sebentar-sebentar ini beneran beritanya?” tanya Karji sambil tanpa permisi ngeloyor masuk rumah Parjo dan mendekat ke arah televisi. Parjo mengikuti Karji dan segera duduk di depan televisi menggeser tempat yang sebelumnya diduduki oleh anak bungsunya yang baru berumur tiga tahun.
“Innalilahi waina Ilaihi rojiun … Wah… kehilangan seniman berbakat negara kita, Mas. Meninggal di bulan Ramadhan semoga pertanda baik” Komentar Parjo.
“Ia, beliau orang baik. Terakhir kabarnya beliau menggalang dana dengan menggelar konser virtual bertajuk #Dirumahsaja untuk melawan covid-19, dana yang terkumpul sampai milyaran rupiah[2]. Mas Didik ini juga aktif menyumbangkan darah lho, menurut laporan PMII setiap tiga bulan sekali beliau rutin melakukan transfusi darah[3].”
“Kok sampean tahu banyak tentang beliau? Jangan-jangan sampean sobat ambyar?” sindir Parjo, memanaskan percakapan nglantur mereka.
“Saya beneran ambyar gara-gara corona. Level kecerewetan istri semakin bertambah, membuat kepala pusing. Kapan bisa pamer bojo anyar?” canda Karji.
“Mas, kalau bicara yang baik, ucapan adalah doa. Istri satu aja sampean sudah pusing. Apalagi punya istri baru.” Jawab Parjo menasehati.
“Cuma mengulik lagu sang maestro, untuk mengenang beliau.” Jawab Karji sambil kembali menekuni berita kepergian Didi Kempot di televisi.
Tayangan televisi tidak hanya membahas tentang kepergian sang maestro, namun juga tentang kehidupan pribadinya terutama munculnya sosok istri pertama.
“Oh perkataanmu tentang ucapan adalah doa terbukti. Mas Didik sukses membuat ambyar para sobat ambyar dengan kepergiannya yang mendadak. Lagu pamer bojo anyar juga menjadi bukti bahwa lirik lagu Mas Didik menjadi nyata. Disaat kepergiannya Mas Didi Kempot berhasil memamerkan istrinya meskipun malah istri yang lama, tapi baru diketahui oleh umum.”
“Ia Mas, ini baru tayang ulasan tentang istri pertama yang menyokong dari zaman susah sampai sukses[4]. Salut! benar-benar istri soleha.”
“Ini istri idaman, jago wirid sangat layak dihadiahi masjid[5], cinta sejati seperti cerita dari India, Taj Mahal[6]. Selain itu istri pertama ini ndak mau menggunakan aji mumpung, berbeda dengan artis yang lain, sukanya pansos meski dengan jalan merusak nama baik sendiri dan orang lain yang penting viral.”
“Dudu klambi anyar sing nang njero lemariku, nanging bojo anyar sing mbok pamerke neng aku. Ucapan benar-benar doa, meninggalnya Mas Didik Kempot tepat sebelum hari raya, sebelum semua orang pamer klambi anyar.” Karji kembali menyanyikan sepenggal lirik lagu Pamer Bojo Anyar milik sang maestro dan mengeluarkan teori otak-atik mathuk.
“Mulai lagi, mas mau istri sampean pamer bojo anyar karena kamu ndak sanggup membelikan baju baru?” sindir Parjo mengakhiri pembicaraan mereka tentang pamer bojo anyar.
“Oh… tidak! Pembicaraan kita kok malah nglantur kemana-mana. Mas Didik Kempot orang baik, semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah. Kepergian orang baik tidak perlu terlalu diambil pusing karena in sha Allah beliau mendapat tempat yang lebih baik dari pada di dunia ini. “Turut berduka cita? Berarti dunia ini sesuatu banget sehingga kematian menjadi kesedihan?” Dunia ini bukan tempat yang terlalu sempurna untuk disesali saat meninggalkannya, kutipan ungkapan bela sungkawa dari Sudjiwo Tedjo [7]. Apalagi sekarang dunia dalam keadaan gonjang-ganjing ndak karuan. Selamat jalan sang maestro!.. Ayo kembali ke pokok persoalan dan tujuan saya ke sini…” Ajak Karji kembali ke maksud dan tujuan kedatangannya.
“Ia…. tadi Mas bilang mau pinjam uang, berapa? Kalau cuma lima puluh sampai seratus ribu saya masih ada, tapi kalau lebih dari itu maaf mas saya tidak bisa membantu,”
“Lima puluh ribu dulu saja cukup. Untuk membeli paket internet dan lauk seadanya buat berbuka dan sahur besok. Hari berikutnya belum tahu bagaimana ceritanya. Kamu sendiri bagaimana, Parjo? Ada info lowongan kerja ndak? Hampir dua bulan menganggur barang-barang yang bisa dijual di rumah sudah lenyap.” keluh Karji sambil menunduk lesu mengingat keadaan anak dan istrinya di rumah.
“Kita ini senasip Mas, ekonomi saya sendiri sudah di ujung tanduk. Tabungan sudah terkuras bersih tak tersisa. Tapi ada informasi menarik, Mas. Kemarin Mas Karman ke sini menawarkan pekerjaan, tapi pekerjaannya di Surabaya. Mas Karman membutuhkan empat orang, proyeknya kurang lebih selama dua bulan. Kalau mas berminat nanti saya hubungkan dengan mas Karman.” Tawaran Parjo
“Kamu sendiri bagaimana, mau?” tanya Karji
“Ini saya sedang bingung mempertimbangkan berangkat atau tidak. Kalau istri saya sudah pasrah dengan keputusan saya.”
“Surabaya sudah jadi episentrum pandemi[8]. Kalau kita berangkat sekarang berarti ndak bisa berlebaran di rumah.” Gumam Karji
“Kalau kita tidak berangkat dan di rumah saja, tetap tidak bisa lebaran, Mas. Untuk makan besok saja kita sudah tidak punya uang.”
“Ambyar!” pekik Karji.
“Sampean keseringan bilang ambyar, jadi ambyar beneran.” Ucap Parjo sambil terkekeh.
“Daripada tidak ada pemasukan dan mati berdiri karena omelan istri, sepertinya aku ikut proyek ini.” Jawab Karji pada akhirnya.
“Keputusan cerdas!” puji Parjo sambil mengacungkan ke dua jempolnya.
“Apa frekuensi kemarahan istrimu juga meningkat akhir-akhir ini?”
“Sama, Mas. Tingkat kesabaran istri saya menipis sesuai tingkat tipisnya uang di dompet. Sedangkan tingkat kemarahannya meningkat sesuai peningkatan jumlah korban covid[9]. Gimana Mas, masih ingin bisa pamer bojo anyar?” selidik Parjo sambil tertawa lebar.
“Ndaklah, satu aja masih awet! Dia mau setia sama saya itu sudah berkah, artinya dia benar-benar sabar dan tahan banting. Omelan dan kecerewetan istri itu seperti api yang memantik semangat hidup, meski terkadang omelannya over dosis sampai hati serasa terberangus hangus terbakar! ha… Setelah kita bekerja nanti kita buat istri kita jadi kelihatan anyar!”
“Ide cemerlang! Kita beri mereka baju anyar, jilbap anyar, sandal anyar, bedak anyar, gincu anyar. Pamer bojo Lawas roso anyar! Sobat ambyar Anti ambyar! Ganti Gumebyar!” pekik kemenangan ala Parjo yang sedang berangan-angan mampu membelikan beraneka ragam barang baru bagi istrinya tercinta.
Obrolan canda tawa Karji dan Parjo untuk sejenak melepas beban berat kehidupan yang ada di pundak mereka. Untuk sesaat mereka ingin melupakan rengekan dan gerutuan dari para istri. Dengan cara bercanda mereka ingin menatap masa depan dengan lebih optimis. Harapan untuk dapat membahagiakan istri dan keluarga senantiasa menyala dengan terang laksana gumebyar bintang di langit. Pikiran positif yang mereka bangun membuat Karji dan Parjo tidak mempunyai waktu untuk merasa ambyar.
Arti kata/kalimat:
- Pamer bojo anyar (Memamerkan istri baru)
- Amblas (habis)
- Mbisu (diam, tidak menanggapi)
- Pamer bojo Lawas roso anyar! (Memamerkan istri lama tapi dengan rasa/ penampilan baru)
- Ganti Gumebyar! (beralih menjadi cemerlang/ gemerlap)
Foot Note:
- https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2010-kdrt-dan-perceraian-di-masa-pandemi
- https://www.kompas.com/hype/read/2020/05/05/091618266/sebelum-meninggal-didi-kempot-galang-donasi-rp-76-miliar-perangi-covid-19?page=all
- https://rri.co.id/humaniora/sosok/832523/pendonor-darah-aktif-itu-pergi-untuk-selamanya
- https://wartakota.tribunnews.com/2020/05/07/ini-cerita-tentang-saputri-istri-pertama-didi-kempot-pernah-jadi-buruh-di-tangerang-biayai-suami
- https://www.tribunnews.com/seleb/2020/05/08/tak-tersorot-ini-fakta-saputri-istri-pertama-didi-kempot-rajin-wirid-dihadiahi-masjid-di-ngawi
- https://www.idntimes.com/science/discovery/lia-89/fakta-taj-mahal-exp-c1c2/2
- https://www.suara.com/news/2020/05/05/154508/sedih-didi-kempot-meninggal-sudjiwo-tedjo-enggan-ucap-turut-berduka-cita
- https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/disebut-jadi-episentrum-covid-19-pemkot-surabaya-ambil-langkah-preventif-1tLBUhYOWQn
- https://surabaya.liputan6.com/read/4247613/tren-jumlah-pasien-positif-corona-covid-19-di-surabaya-raya-belum-menggembirakan
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment