by

Sang Guru

Cerpen Esai oleh Leoni Sandra

KOPI, Semarang – Sehabis berbuka puasa dan salat magrib, Narti duduk-duduk di depan televisi. Dengan remote control di tangan ia terus memindah-mindah channel televisi. Ia mengeluh karena acara-acara televisi membosankan. Sama sekali tidak menghibur. Tidak menambah ilmu juga. Narti pun mematikan televisi sambil mendengus.

Ia lalu mengambil koran hari ini. Membalik-balik halaman koran. Namun, ternyata ia pun malas membacanya. Ia pun mengeluh kalau tulisan dan berita di koran itu-itu saja. Hanya mengutip omongan pejabat. Padahal pejabat itu hanya sedang melakukan pencitraan. Ketika persebaran wabah virus corona masih dalam kondisi yang mengkhawatirkan, banyak pejabat yang hanya bisa bicara dan bicara.  Tak ada langkah efektif untuk menangani wabah virus corona.

“Huh, kalau cuma omong anak kecil pun bisa,” katanya dalam hati.

Pemerintah memang mengambil beberapa langkah untuk mencegah persebaran virus corona. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat adalah untuk berada di rumah sehingga meminimalisasi aktivitas luar ruangan. Kebijakan tersebut juga diterapkan di lingkungan pendidikan yang mengharuskan para murid untuk belajar di rumah dengan metode daring (1). Namun, dengan metode tersebut tidak semua anak dan guru bisa melakukannya dengan sesuai.

Narti, sebagai guru kelas IV pada sebuah SD agak pelosok di Purbalingga, Jawa Tengah, juga mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar secara daring. Hal ini karena tidak semua siswa dan orang tua atau wali siswa memiliki ponsel.  Para siswa banyak yang tidak memiliki sarana untuk belajar di rumah. Karena itu Narti harus rela menyambangi rumah siswanya satu per satu (2). Padahal di antara mereka ada yang lokasi rumahnya sangat jauh.

Keterbatasan teknologi informasi yang dimiliki para siswa dan dia sendiri memang suatu kenyataan. Karena itu setelah kebijakan belajar di rumah tersebut dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Narti cukup kebingungan bagaimana metode belajar daring bisa dilakukan.

Narti memang berada dalam posisi yang dilematis. Betapa tidak?  Imbauan Mendikbud agar para guru bekerja dari rumah tidak bisa dilakukan. Hal ini karena para siswa ternyata banyak yang tidak memiliki sarana untuk belajar dari rumah. Mereka tidak punya ponsel smartphone. Mereka juga tidak punya laptop (3). Sedangkan kalau misalnya ada orang tua yang punya, dana untuk beli kuota internet akan membebani para wali siswa itu.

Memang, ada beberapa orang tua siswa akan mengusahakan hal ini dengan mencari pinjaman uang guna membeli perangkat telepon pintar. Namun hal itu dicegah oleh Narti, karena nantinya akan membebani mereka secara finansial. Narti tidak ingin kebijakan belajar secara daring itu justru merepotkan para wali siswa.

“Belajar di rumah tidak harus dengan hape, apalagi kalau kondisinya tak memungkinkan. Belajar di rumah bisa dengan menggunakan buku-buku pelajaran yang ada. Bukankah para siswa bisa belajar dari buku-buku paket? Karena itu tidak usah repot harus memberi hape, apalagi sampai pinjam ke sana ke mari,” kata Narto kepada beberapa orang tua siswa.

“Saya nanti akan berkeliling ke rumah para siswa untuk melakukan proses belajar-mengajar. Meskipun tidak daring lagi, tapi luring. Saya lakukan ini dengan tulus, demi kebaikan dan kesuksesan para siswa,” tambah Narti.

Narti pun berkeliling ke rumah para siswa yang jaraknya tidak saling berdekatan. Proses pembelajaran keliling tersebut ia lakukan tiga kali dalam satu minggu. Medan yang ia tempuh sesungguhnya cukup jauh. Memang, selain jarak antar-rumah siswa memang jauh, jalan menuju ke masing-masing rumah siswa banyak yang masih berupa tanah dan makadam. Karena itu kalau hujan turun motor tak bisa melaluinya. Jalanan becek dan licin. Narti pun terpaksa jalan kaki ke rumah para siswa.

Tentu saja Narti tahu dan menyadari bahwa cara yang dilakukan ini juga melanggar kebijakan pemerintah tentang keharusan untuk berdiam diri di rumah. Namun membiarkan para siswanya belajar sendiri tanpa pengawasan membuat hati Narti tidak nyaman. Ia merasa bertanggung jawab atas keberhasilan proses belajar-mengajar para siswa. Apalagi para orang tua siswa tidak mungkin bisa mendampingi anak-anak mereka belajar. Mereka seharian pasti sibuk di sawah atau ladang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Malam harinya mereka biasanya pergi ke surau untuk salat jamaah dan mengaji. Karena itu, Narti merasa terpanggil untuk mendampingi secara bergiliran para siswanya belajar, meskipun hanya sebentar. Narti tetap mengacu pada petunjuk Kemendikbud seandainya tidak ada akses internet di wilayah guru dan siswa. (4)

Narti hidup bersama seorang suami dan dua anak. Suaminya seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Mereka keluarga bahagia. Meskipun Narti sering harus keluar rumah, karena lebih memprioritaskan pendidikan para siswanya, terutama di kelas yang ia ajar. Beruntunglah ada siaran edukasi di salah satu saluran televisi nasional yang menyediakan saluran pembelajaran di rumah. Tugas Narti menjadi agak ringan. Namun, meskipun ada metode seperti itu, yaitu siaran edukasi di televisi, namun hati Narti masih merasa miris dengan keadaan keluarga siswanya yang tidak semuanya memiliki televisi di rumah. Televisi memang masih dianggap barang mewah.

Meskipun demikian, Narti sendiri menganggap dirinya bukanlah guru yang baik. Karena dengan tindakannya ini ia merasa telah melanggar beberapa kebijakan pemerintah. Ia hanya ingin semuanya bisa berjalan dengan baik dan tidak ada kesenjangan dalam menerima pendidikan atau pelajaran. Narti sendiri tetap hati-hati saat memberikan pelajaran secara luring di tengah wabah virus corona ini. Ia harus melakukan tindakan sesuai prosedur protokol kesehatan, seperti mencuci tangan dan memakai masker.

Demikianlah Narti tak mengenal lelah naik turun bukit untuk mendatangi rumah para siswanya yang tinggal di lereng Gunung Slamet. Ia ingin memastikan para  anak didiknya memahami pelajaran. Hal ini karena belajar daring ia nilai kurang efektif di tengah keterbatasan teknologi informasi. Selain itu, rekannya sesama guru yang mengajar kelas 1 merasakan demikian.

“Pelajaran anak kelas 1 adalah calistung, yaitu baca, tulis, dan berhitung. Kalau berhitung harus dipraktikkan dan didampingi secara langsung, begitu pula dengan membaca, mengejanya,” kata Dyah, temannya itu.

“Saya merasa kasihan. Harusnya anak-anak memang mendapatkan pelajaran secara langsung. Karena kelas 1 pelajarannya sangat dasar dan menjadi bekal untuk ke depan, terutama ke kelas selanjutnya,” tambahnya.

Narti hanya mengangguk-angguk.

Narti memang dikenal sebagai guru yang bekerja tanpa pamrih. Meski di tengah pandemi virus corona, ia tetap rela mendatangi rumah-rumah para siswa satu per satu secara bergiliran, sampai semua mendapat kesempatan untuk belajar. Dalam sehari, ia bisa mengunjungi rata-rata 10 anak.

Selain mengajar tatap muka di rumah, Narti juga memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk dikerjakan. Tugas itu dikoreksi dan dibahas dalam kunjungan berikutnya.

Meskipun begitu, mendatangi rumah masing-masing siswa bukan berarti tanpa kendala. Terkadang Narti harus menyusuri jalan setapak perkebunan nanas yang licin. Bahkan jalan itu tak bisa dilewati kendaraan bermotor. Narti bahkan sempat beberapa kali terpeleset, nyaris jatuh.

Dalam setiap kunjungan ke rumah siswa, Narti selalu mengingatkan anak-anak didiknya agar membudayakan hidup bersih dan sehat untuk mencegah virus corona. Seperti mengenakan masker saat berinteraksi langsung dalam pembelajaran.

“Kita jangan menyepelekan virus corona. Namun ketakutan dan panik berlebihan juga tidak perlu,” kata Narti menasihati para siswanya.

Semua orang pasti ingin dan berharap, agar pandemik corona ini akan segera berakhir. Begitu juga harapan Narti. Sehingga proses belajar-mengajar dapat kembali berlangsung secara normal. Sehingga kegembiraan, keriangan, dan keceriaan anak-anak dapat terlihat kembali di sekolah.

Selama pandemik corona ini Narti pun harus menyesuaikan dengan cara mengajar baru. Ada beberapa kendala yang ditemui para guru, terutama kendala perubahan cara dalam menyampaikan materi. Namun, kendala utama dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar di rumah selama pandemik ini adalah tidak semua orangtua siswa memiliki smartphone yang mumpuni untuk melakukan belajar secara daring.

Padahal orang tua sangat berperan penting untuk menyukseskan kegiatan belajar-mengajar di rumah. Tak hanya guru saja yang harus menyesuaikan. Namun para orang tua siswa juga turut menyesuaikan untuk menyukseskan kegiatan belajar-mengajar di rumah. (5)

Memikirkan hal itu, Narti sering tidak bisa tidur nyenyak. Seperti malam ini. Mungkin ia baru bisa tidur setelah lewat tengah malam sepeti biasanya. Bahkan pernah sampai menjelang imsya. Sampai waktu sahur tiba. Tidur yang diliputi rasa risau dan galau. Setelah suami dan anak-anaknya lelap dalam mimpi. ***

Catatan kaki:

1. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya meniadakan ujian nasional (UN) 2020 dengan pertimbangan virus corona COVID-19. Mendikbud Nadiem Makarim mengubah tata cara belajar di SMP, SMA, dan SD dengan konsep belajar jarak jauh. Kebijakan tersebut dituangkan dalam surat edaran (SE) No.4 tahun 2020 yang diteken tanggal 24 Maret 2020. Aturan ini berisi tentang bagaimana memprioritaskan kesehatan para siswa, guru, dan seluruh warga sekolah. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200327084526-37-147839/surat-mendikbud-nadiem-ke-siswa-soal-belajar-di-tengah-corona

2. Jumiati tak kenal lelah naik turun bukit untuk mendatangi rumah siswanya yang tinggal di lereng Gunung Slamet, Purbalingga, Jawa Tengah. Ia ingin memastikan anak didiknya memahami pelajaran karena belajar online dinilai kurang efektif. https://kumparan.com/kumparannews/kisah-guru-di-lereng-gunung-slamet-datangi-siswa-untuk-mengajar-di-tengah-corona-1tLJSZkRWmO

3. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan ada keterbatasan fasilitas dalam pembelajaran daring (online learning) saat wabah Covid-19. Pihaknya pun meminta guru untuk berkreasi sesuai kondisi daerahnya. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200324150150-20-486501/akses-ponsel-terbatas-nadiem-sebut-guru-terpaksa-kreatif

4. Tak semua guru dan siswa memiliki akses terhadap internet. Mungkin ada pula yang punya akses internet, tapi tidak lancar.  Ada beberapa tips agar mudah menerapkan belajar offline dari rumah. Gunakan buku pegangan siswa sebagai materi belajar. Beri panduan dan jadwal harian yang dikirim lewat perwakilan desa. Bila siswa tak punya buku pegangan, buat variasi kegiatan secara terjadwal di luar materi sekolah. Siswa bisa mengumpulkan tugas lewat perwakilan desa sesuai jadwal yang disepakati. Pantau perkembangan belajar siswa dan beri umpan balik. Hindari kontak langsung saat serah terima hasil belajar siswa. https://guruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/4-tips-bagi-guru-dampingi-siswa-belajar-bermakna-dari-rumah/

5. Sejak Pandemi virus corona atau Covid 19 melanda, berbagai kebijakan diambil sebagai upaya guna memutus penyebaran virus tersebut, diantaranya mengambil kebijakan Kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi semua siswa semua jenjang untuk belajar dari rumah melalui sistem daring atau online. http://blokbojonegoro.com/2020/04/14/orang-tua-punya-peran-penting-selama-masa-belajar-dari-rumah/

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA