Cerpen esai oleh Duwi Hartanti
KOPI, Kediri – Sore menjelang senja saat langit tampak indah dengan goresan semburat kuning kemerahan dari matahari yang hendak tenggelam, seperti biasa aku sibuk berkeliaran di antara sampah-sampah yang menumpuk di pasar. Mengais sisa makanan dan juga sisa tulang belulang yang masih bisa aku nikmati. Beberapa hari ini pasar sepi, bahkan tiga hari terakhir tidak ada manusia lalu lalang di tempat ini, pasar ini telah mati[1].
Setelah berputar-putar, tidak juga ada makanan yang bisa mengganjal perutku. Aku memutuskan berkeliling ke rumah-rumah. Hidung superku mencium bau jerry, air liurku menetes melihat tikus yang tidak seberapa besar itu menari di depanku. Dengan tangkas aku tangkap tikus itu. kupermainkan tubuhnya yang sudah mulai lemas. Sebelum akhirnya kulahap tubuhnya yang lezat.
“Sial, perutku terasa terbakar. Pasti tikus sialan itu keracunan. Seharusnya aku curiga saat melihat tikus itu menggeliat dan begitu mudah aku tangkap.Tolong!” jeritku yang mungkin hanya akan terdengar sperti raungan bagi telinga para manusia. Aku berusaha memuntahkan tikus itu. Belum aku muntahkan semua racun, tubuhku begitu lemah. Tampaknya bayang-bayang kematian semakin dekat.
Mengapa bayang-bayang kematian tidak kelam tapi tampak putih berkilauan. Mungkin karena perbuatan baikku selama ini sehingga kematian yang suram berubah menjadi terang benderang. Kubulatkan kornea mataku, saat itulah tampak jelas ternyata seorang gadis cantik berusaha mendekatiku. Rasa frustasi karena akan mati membuatku menjadi beringas. Aku cakar apa saja yang mendekatiku. Dia tampak kesakitan saat aku berhasil mencakar pergelangan tangannya yang tidak terlindungi oleh baju putih bersihnya. Dia tidak menyerah, dengan lembut dia mengeluarkanku dari tempat gelap dan pengap yang telah aku pilih sebagai tempat persembunyianku.
Dengan perlahan dia meletakanku di tempat yang lebih luas dan segar. Dia melihat lidahku, aku hanya diam karena sudah terlalu lemah untuk memberontak. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas hitamnya. Benda kecil itu dia selipkan diantara taringku. Setelah itu aku bisa memuntahkan seuruh racun yang ada di tubuhku. Sedikit berlari dia membawaku ke dalam rumahnya. Setelah itu dia memberiku secawan susu yang aku jilat secepat yang aku bisa.
Hari itu adalah hari pertama aku bertemu dengan Widia, malaikat penolongku. Sejak saat itu aku tinggal bersamanya. Makanan dan minumn lezat selalu dia siapkan sebelum berangkat bekerja. Menjelang senja aku akan menyambut kedatangannya. Aku akan mengitari kakinya sebelum dia mengangkat tubuhku dalam pelukannya.
“Oscar!” begituah dia memanggilku. Nama yang sama seperti nama kucing terkenal yang bisa memperkirakan kematian pasien di panti jompo[2], lalu dengan lembut dia akan membelai buluku, dan setelah itu dia akan memberiku makanan lezat dan juga susu. Saat aku sibuk memakan makanan itu, dengan riang dia akan bercerita tentang apa saja yang terjadi di tempat kerjanya sepanjang hari. Selain berbincang tentang pekerjaannya terkadang Widia meletakanku di pangkuannya, sambil sibuk berselancar di dunia maya. Pernah suatu hari tiba-tiba Widia sangat marah ketika sedang membaca berita.
“Biadap!” pekik Widia, aku ketakutan melihat wajahnya yang garang. Aku mengintip layar hp yang Widia letakan di atas kasur. Di situ aku melihat gambar anak kucing sedang diinjak-injak[3]. Aku cakar kaki –kaki laknat itu, namun sepertinya tidak ada gunanya.
“Kau lihat Oscar, mereka benar-benar biadap! Mereka harus merasakan dinginnya penjara!” teriak Widia kesal. Aku hanya bisa mengeong untuk mengatakan bahwa aku setuju dengan ucapannya. Begitulah aku sering menghabiskan waktuku bersama malaikat ini. Kadang kami berbincang atau membahas isu-isu yang sedang berkembang.
Jika tidak berbincang denganku, Widia akan menghubungi kedua orang tuanya yang tinggal di kota lain. Aku belum pernah bertemu dengan mereka secara langsung. Aku hanya mengenal mereka dari video call yang sering Widia sodorkan kepadaku saat mereka sedang berbincang.
“Kucing manis dan pintar, titip kesayanganku. Jaga dia baik-baik! Jangan biarkan dia kesepian!” begitu mandat yang diberikan oleh ibu Widia kepadaku. Kalau sudah begitu aku akan mengeong dengan keras pertanda aku menerima amanat darinya.
Akhir-akhir ini Widia mempunyai kebisaan baru, saat hari masih gelap dia akan terbangun untuk makan. Dari mushola di dekat rumah aku mendengar suara,”Sahur..sahur!” suaranya sangat nyaring. Biasanya aku hanya akan menggeliat saat mendengar suara yang memekakan telinga itu. Namun ketika aku mencium bau masakan baik ikan goreng, ayam goreng, dan lain sebagainya, insting pemangsaku tidak bisa kukendalikan. Dengan cekatan aku akan melompat dari kursi kesayanganku dan menghampiri Widia. Lalu dengan senang hati dia akan berbagi makanan denganku. Begitulah ritual kami beberapa hari terakhir.
***
Kegiatanku sepanjang siang sambil menunggu kepulangan Widia adalah berkeliling di sekitar tempat kos. Seluruh penghuni kos, bahkan ibu kos sangat menyayangiku. Aku tumbuh menjadi kucing berbulu indah yang menggemaskan, semua itu berkat malaikat penolongku, Widia.
Suatu sore ibu kos menemui Widia. Raut wajahnya tampak bersedih, bahkan setelah mereka selesai berbincang tampak Widia menghapus air matanya. Aku hanya bisa mengawasi mereka dari tempatku tergeletak bermalasan.
“Kita harus pindah dari sini, Oscar. Salah satu penghuni kos berhasil mempengaruhi anak-anak yang lain untuk mengusir kita, Ibu Kos tidak berdaya[4]. Mereka takut aku membawa covid dari tempat kerja. Seorang perawat memang rentan terpapar virus. Kita hanya mempunyai waktu tiga hari untuk berkemas, kita harus pergi.” Bisik Widia lirih kepadaku. Aku merasa sedih, aku mengeong lirih sambil merengsek dalam gendongannya. Aku ingin memberikan pelukan hangat bagi Widia.
Jam menunjukan pukul 19.05 Widia mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat. Akhir-akhir ini pula , Dia shalat lebih lama dari biasanya. Mungkin ini masih ada hubungannya dengan ritual makan disepertiga malam. Aku menunggunya dengan bersantai di atas kursiku. Setelah ini biasanya Widia akan memberiku sedikit biskuit.
Sambil menunggu Widia menuntaskan kegiatan shalatnya, aku memikirkan siapa orang yang begitu tega mengusir kami? Cindi, nama itulah yang muncul dalam benakku. Hanya dia satu-satu nya orang yang tidak menyukaiku, Widia, maupun seluruh orang. Cindi memusuhi seluruh dunia. Aku curiga padanya karena akhir-akhir ini dia tampak sering mengobrol dengan yang lain padahal biasanya dia hanya berdiam diri di dalam kamar gelapnya. Lihat saja besok akan kubalaskan dendamku akanku perlihatkan bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan caraku, cara kucing.
Setelah Widia berangkat kerja, diam-diam aku menyelinap ke kamar Cindi. Kamarnya gelap segelap hati nenek sihir itu. Pembalasan pertama yang aku lakukan adalah dengan berak tepat di atas bantal dan boneka kesayangannya, aku belum puas. Aku kencingi seluruh permukaan kasur empuknya. Setelah itu aku beri tanda cakaran di kursi empuknya. Aku bukan tipe pengecut, kuberi cakaran itu agar dia tahu bahwa akulah yang menghancurkan kamarnya, sehingga dia tahu kepada siapa dia harus membalas. Bisa ku bayangkan, Oscar!!! Begitulah mungkin teriakan Cindi nanti sore Ha..ha.. aku tertawa puas. Lalu dengan santai aku kembali ke kamar Widia.
Kamar itu sudah tampak rapi, Widia telah bersiap untuk pindah dari tempat ini. Widia bercerita bahwa kami akan pindah ke tempat yang telah disediakan oleh rumah sakit[5]. Namun tidak mungkin aku diizinkan untuk tinggal ditempat itu. Karenanya Widia masih mencari tempat lain yang bisa menampung kami.
Sebelum sore menjelang Widia telah pulang dengan diantar oleh temannya. Dengan senang hati aku menyambut kedatangannya. Segera dia meraihku ke dalam pelukannya.
“Kita sudah mendapat tempat! Untuk sementara kita akan tinggal di rumah Rima, dia juga perawat sepertiku” Itulah yang Widia ucapkan dengan penuh suka cita.
Kami tinggal di bagian belakang rumah Rima. Tempatnya luas bahkan ada taman yang memanjakanku untuk bergerak ke sana kemari. Keluarga Rima juga sangat menyayangiku. Aku senang mendapatkan keluarga baru.
Beberapa hari setelah kami pindah aku merasakan ada perubahan dalam diri Widia. Dia tampak kelelahan.
“Pasien bertambah karena ada claster baru, pabrik rokok.[6]” Keluh Widia suatu sore. Aku hanya menyimak ucapannya dan memperhatikan ada yang berbeda dalam diri malaikatku.
Beberapa kali aku mencoba memperingatkannya bahwa ada yang salah dalam tubuhnya. Aku menjilat lehernya, untuk memberinya peringatan. Aku berusaha mengatakan bahwa ada virus jahat yang menggerogoti tubuhnya, namun hanya meow-meow yang keuar dari mulutku, aku frustasi melihat orang yang kusayangi sakit.
“Aku positif covid, Oscar! Seharusnya aku memperhatikan peringatandarimu! Maaf aku harus meninggalkanmu bersama Rima, Aku tahu dia akan merawatmu.” Itulah kata perpisahan yang Widia ucapkan padaku dengan berlinang air mata. Aku mengeong lirih dan bermanja padanya.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak bertemu dengan Widia, yang pasti aku sangat meridukannya. Setiap Rima pulang aku selalu mengekor di belakangnya, aku tidak akan berhenti mengikutinya sebelum dia bercerita tentang keadaan Widia.
“Sayang sekali hari ini dia belum membaik, sesaknya semakin menjadi.” Ucap Rima sedih.
“Dia sangat ingin bertemu denganmu, dia merasa kesepian, dan juga ketakutan” Lanjut Rima sambil mengelus kepalaku. Aku segera meloncat ke arahnya untuk memberinya isyarat bahwa aku juga ingin bertemu Widia.
“Tenang Oscar, Aku sedang mengusahakan agar kau bisa menemuinya,[7]” ucap Rima, dan kusambut dengan gembira.
Dan sekarang di sinilah aku. Di tempat yang sangat suram dan sepi. Suara alat yang terpasang di mulut dan badan Widia menakutiku. Selain itu suara decit roda brankar mengangkut mayat membuat nyaliku semakin menciut. Tak bisa kubayangkan betapa tersiksanya Widia berada di tempat menyeramkan ini. Aku merasakan biokimiawi kematian menyelimuti Widia. Aku menghampiri tubuhnya yang lemah. Aku berbaring di sampingnya dan mengeong lirih untuk mengatakan bahwa aku di sini untuk menemanimu. Seandainya aku bisa melakukan seperti apa yang telah dia lakukan padaku dulu. Kau yang menarikku dari gelapnya lorong kematian. Aku kembali mengeong dan lebih merapatkan tubuhku padanya, tapi tidak ada balasan dari Widia, dia hanya terdiam.
Foot Note:
2. https://newsmaker.tribunnews.com/tag/oscar-kucing-bisa-prediksi-kematian-manusia
5. https://republika.co.id/berita/q9dpfs396/dari-mess-insentif-hingga-proteksi-jaminan-kesehatan
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment