Masa Kelompok Studi
Saya mengenal Denny JA tahun 1982 di UI Salemba. Rasanya perkenalannya tidak berliku. Setelah kenal di masjid Arif Rahman Hakim, UI, Salemba, terus kami memiliki aktivitas bersama di rumah Pak Djohan Effendi, di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat (sekarang menjadi kantor MUI). Di rumah Pak Djohan ini kami membentuk Kelompok Studi Proklamasi.
Beberapa kawan Kelompok Studi Proklamasi masih sering berkomunikasi sampai saat ini, sebagian yang lain menghilang bagai ditelan bumi. Sebagian lagi memang sengaja menjauh. Ada juga yang disibukkan dengan pekerjaann sehingga tidak kontak-kontakan lagi.
Saya akan mengurut “kesuskesan” Denny dari titik ini, dari saat kami masih berstatus mahasiswa dan berada dalam kelompok studi. Bebrapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berdiskusi di sini yang akhirnya dikenal sebagai Kelompok Studi Proklamasi.
Belakangan, saya dan Denny beserta Jojo Raharjo bergabung dalam Kelompopk Studi Indonesia, dan berkantor di rumah Jojo, Jalan Pedati Dalam, Jakarta Timur.
Di masa awal ini nama Denny sudah kondang di kalangan mahasiswa. Bukan karena Denny rajin ikut demonstrasi seperti sering dilakukan mahasiswa pada masa itu, sekitar Pemilu 1982 dan sidang umum DPR/MPR setelah Pemilu. Tetapi karena Denny sering menulis tentang kekuatan mahasiswa sebagai agen perubahan. Jika ada demo, tulisan Denny muncul di suratkabar keesokan harinya. Jadi, tulisannya sudah banyak sejak dulu.
Nah, ini yang kemudian disoroti oleh sebagian aktivis, yang membuat mereka keberatan pada Denny. Sebab, mahasiswa yang bergerak di lapangan, yang mendapat nama adalah Denny. Karena Denny menuliskan opininya, termasuk tentang isu yang diangkat oleh mahasiswa dalam demonya di suratkabar kondang pada masa itu, termasuk Harian Kompas. Jadi, mereka berfikir, mahasiswa yang berkeringat di jalanan, Denny yang dapat nama karena menulis tentang isu yang diangkat mahasiswa di jalanan.
Pada saat jadi mahasiswa ini, sudah terlihat pola kerja Denny yang sistematis, cepat, dan terukur. Hal semacam ini juga tampak ketika kami (Kelompok Studi Indonesia) ingin menerbitkan buku. Kami memang mendapat dana dari sebuah lembaga. Tetapi jumlahnya tidak cukup karena buku yang akan kami terbitkan tebal. Lalu Denny dengan gesit mencarikan dana untuk menutupi kekurangannya. Saya ingat dia memberikan laporan bahwa ada seorang aktivis senior menyumbang Rp 1 juta untuk penerbitan buku. Denny menyebutkan nama aktivis senior itu, tapi dia tidak bersedia namanya dicantumkan di dalam buku.
Comment