by

SBY’s Effect, Elektabilitas Anis-Imin Turun

Oleh: Denny JA

KOPI, Jakarta – Pemilu itu seperti lomba lari maraton. Kita belum tahu siapa yang juara sampai mereka tiba di garis finish. Per hari ini, pemilu presiden belumlah sampai di garis finish. Bahkan kampanye pun belum dimulai.

Itu respon kita membaca berita yang banyak hari-hari ini bahwa elektabilitas Anies Baswedan justru menurun, setelah ia deklarasi pasangan capres-cawapres pertama dengan Muhaimin Iskandar. Kita mulai dengan data ini. Ini survei LSI Denny JA di bulan September 2023. Prabowo masih unggul sementara di angka 39,8%. Di bawahnya sedikit lebih rendah, elektabilitas Ganjar di angka 37,9%.

Lalu di bawahnya lagi, Anies Baswedan di angka 14,5%. Dukungan kepada Anies masih sangat-sangatlah jauh dibandingkan kepada Ganjar apalagi kepada Prabowo. Selisihnya lebih dari 20%.

Perbandingan dukungan kepada Anies Baswedan di bulan September (2023) dan bulan Agustus juga menurun. Bulan Agustus deklarasi bersama Muhaimin belumlah dinyatakan. Deklarasi pasangan ini terjadi pada tanggal 2 September 2023.

Sebelum deklarasi, dukungan kepada Anies sebesar 19,7%. Lalu setelah deklarasi, dukungan itu justru menurun menuju 14,5%. Turunnya cukup banyak 5%.

Apakah gerangan penyebab penurunan ini? LSI Denny JA menyimpulkan adanya “SBY’s Effect.” Di sana hadir kemarahan SBY yang besar kepada Anies.

Kritik SBY kepada Anies yang beredar sangat masif telah ikut serta menurunkan elektabilitas Anies. SBY mengatakan bahwa: “Sekarang saja (Anies) tidak Shiddiq, tidak amanah, bagaimana nanti jika menjadi pemimpin.”

Itu kemarahan yang datang dari hati, oleh presiden dua periode, yang pernah menjadi superstar di zamannya, dengan menang pilpres satu putaran saja, dengan dukungan tertinggi dalam sejarah pilpres langsung.

Kita tahu elektabiltas itu memiliki tiga pondasi. Pertama adalah track record sang Capres di masa lalu, apa yang sudah dia kerjakan. Kedua, aneka program utama yang akan ia sampaikan, yang ia akan berikan kepada rakyat banyak.

Dan ketiga adalah personality Sang Capres. Jika personalitynya yang diserang seperti sekarang ini, Anies dianggap tidak amanah, apalagi yang menyerang adalah tokoh berpengaruh, disiarkan sangat masif pula, maka itu besar efeknya.

Namun sekali lagi, pemilu presiden belum selesai. Dan Anies masih punya potensi menjadi kuda hitam untuk menyusul di tikungan terakhir.

Bukankah itu sudah terjadi juga di Pilkada DKI di tahun 2017? Saat itu Anies juga selalu buncit. Tapi Anies kemudian di babak akhir dari pilkada DKI itu justru menjadi pemenang pertamanya.

Masih ada harapan buat Anies dan pendukungnya. Bahwa ia masih berpotensi menjadi kuda hitam juga kali ini. Tapi tentu saja medan perangnya lebih sulit. Indonesia, dari Aceh hingga Papua, jauh lebih luas dan lebih kompleks dibandingkan DKI Jakarta.

Sekaligus, juga ini menjadi warning bagi Prabowo dan Ganjar, agar mereka tidak membuat blunder. Ini agar posisi mereka tak lagi terkejar. (*)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA