by

Menyikapi Musibah

Oleh: Hanafi Tasra

KOPI, Jakarta – Bencana kembali menerpa negeri kita. Kali ini, giliran Cianjur Jawa Barat diguncang oleh gempa berkekuatan sangat dahsyat yang meluluh-lantakkan bangunan rumah dan gedung, merusak infrastruktur jalan dan jembatan serta merenggut ratusan nyawa manusia.

Selaku orang beriman, kita sudah barang tentu tidak akan bingung menghadapi dampak dari fenomena alam (sunnatullah) ini, karena kita sudah mendapatkan bimbingan tentang bagaimana caranya bersikap dikala musibah menimpa, yakni dengan cara bersabar.

Namun mesti diakui, terkadang kata sabar itu, mudah untuk diucapkan, tetapi sulit untuk diamalkan.
Buktinya, ketika orang lain ditimpa musibah, kita dengan tenang memberi nasehat kepadanya agar bersabar. Tetapi bilamana musibah itu mengenai diri kita sendiri, amat sulit bagi kita menerapkan sikap sabar yang sempurna itu. Mengapa? Boleh jadi disebabkan keterbatasan kita dalam memahami esensi musibah dengan segala seluk beluknya.

Agar kita lebih pandai menyikapi musibah yang datang, maka ada baiknya beberapa hal dibawah ini, diketahui lebih dulu.

Pertama, bahwa musibah itu, akan menimpa semua orang, siapapun dia. Yang membedakan diantara masing-masing orang, hanyalah kadarnya, bentuknya, atau lokasinya saja. (Lihat QS.2:155).
Dengan memahami ayat ini, kita akan senantiasa siap secara mental menghadapi setiap musibah.

Kedua, yang perlu kita sadari juga bahwa musibah itu datang secara tiba-tiba. Bahkan ia datang dari penyebab-penyebab yang tidak diduga. Suatu waktu, ia datang di malam hari, ketika orang sedang tidur nyenyak. Di waktu lain, boleh jadi terjadinya di pagi hari, dan seterusnya. Adapun sumber penyebabnya, adakalanya dari laut, sungai dan danau. Tapi adakalanya dari gunung, angin, tanah, api dan lain sebagainya. (Lihat QS Al A’raf (7): 97,98).

Al Quran, seakan-akan mengingatkan kita, agar selalu dalam waspada bencana. Jangan sampai beranggapan, karena jauh dari laut, akan aman dari bahaya tsunami, atau karena jauh dari gunung, akan aman dari letusannya.

Kita bisa ambil ‘ibrah dari danau Situgintung di Selatan Jakarta beberapa tahun yang lalu, yang sepintas kelihatan tenang, tetapi nyatanya menimbulkan bencana besar, yang tidak pernah dibayangkan dari semula.

Ketiga, bencana itu terjadi, akibat perbuatan manusia. Itulah pemicu yang mengundang datangnya bencana. Namun demikian, perbuatan manusia itu terbagi dalam dua kategori: Perbuatan yang bernuansa maksiat dan perbuatan yang bersifat kelemahan pengetahuan dan teknis semata.

Di sebuah masyarakat , dimana perbuatan maksiat, semacam kemusyrikan, perzinaan, perjudian, korupsi, dan kezaliman berlangsung secara massif dan merajalela, maka cepat atau lambat, tapi pasti, akan mengundang hadirnya bencana. (Lihat QS Al A’raf (7): 96).

Begitu juga, kelemahan pengetahuan dan teknis manusia dalam menjalani kehidupan, dapat mengundang bencana juga. Mereka yang tidak mempunyai pengetahuan tentang seismologi, yang mendiami kawasan rawan gempa, maka ketika terjadi gempa, mereka adalah yang paling menderita, lantaran disain bangunan perumahan mereka tidak akomodatif terhadap guncangan gempa. Ini semata kelemahan yang tidak disengaja, yang tidak berkaitan dengan kemaksiatan. (Lihat QS Asy Syura (42): 30).
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika ada yang berpikir bahwa Allah itu kejam, suka menzalimi manusia.

Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya, akan tetapi manusia lah yang menzalimi dirinya sendiri.
Pemahaman seperti ini, akan mendorong kita untuk senantiasa berprasangka baik (husnu zhan) kepada Allah Ta’ala.

Bahwa Allah Yang Menciptakan musibah, ya. Karena semua yang ada, adalah ciptaan Allah. Manakala Allah tidak Menciptakan, niscaya tidak akan ada yang namanya musibah atau bencana itu.
Namun perlu diketahui, sekalipun secara konsep ia ciptaan Allah, dalam implementasinya, ia hadir atas undangan manusia.

Analoginya begini, jika sebuah pabrik memproduksi senjata tajam untuk tujuan yang bermanfaat, lalu disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk melukai orang lain, layakkah jika ada orang yang menyalahkan pabrik pembuat senjata tajam itu? Tentu tidak. Karena kesalahan ada pada pengguna sajam itu.

Begitulah semestinya kita melihat bencana dan kaitannya dengan Allah Ta’ala sebagai Maha Pencipta segalanya.

Keempat, semua musibah terjadi atas izin dari Allah. Oleh itu, sebagai mukmin kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita. Dan kita meyakini pula bahwa, Allah akan memberi petunjuk/bimbingan kepada orang beriman dikala mendapat musibah. (Lihat QS At Taghabun (64): 11).

Bimbingan yang diberikan Allah bisa berupa kesabaran, kerelaan, keistiqamahan, dan bisa juga berupa kemampuan menemukan solusi untuk mengatasi persoalan di lapangan.

Kelima, setiap musibah yang menimpa manusia di muka bumi ini, memunculkan tiga status:
1. Sebagai ujian. Khusus bagi yang beriman secara benar, agar kualitas imannya lebih meningkat lagi. Andaipun mereka tewas dalam musibah itu, mereka menjadi syuhada’ (Lihat QS Al ‘Ankabut (29): 1,2)
2. Sebagai Peringatan. Bagi mereka yang beriman, tetapi masih bercampur dengan kemaksiatan, agar mereka menyadari, dan kembali ke jalan yang benar (Lihat QS Ar Rum (30): 41).
3. Sebagai azab dunia. Bagi mereka yang full Kafir, untuk memberi kehinaan kepada mereka dalam kehidupan dunia. (Lihat QS As Sajdah (32): 21).

Demikianlah, dengan memahami hal ihwal musibah sebagai dampak dari fenomena alam gempa bumi ini, maka kita akan mampu memaknai peristiwa ini secara positif, tanpa sedikitpun keluhan dan resistensi. Dengan ungkapan lain, bahwa bencana alam dalam bentuk apapun, tidak lagi dianggap sebagai pembawa derita, tetapi sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan hamba-Nya. Dan menjadikan musibah ini sebagai pembawa berkah, yang dengannya, kualitas diri dan masyarakat semakin meningkat. Begitupun kualitas manajerial dan kualitas persatuan serta solidaritas semakin meninggi pula.

Dan yang lebih penting lagi, meningkatnya kesadaran akan eksistensi diri kita dihadapan Allah Ta’ala. Betapa sangat kecilnya diri kita. Lemah, dan tak berdaya apa apa.

Hanya Allah saja Yang Maha Besar, Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui segalanya.
Satu kalimat yang pantas kita ucapkan untuk mengakhiri tulisan ini, ialah: Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

Tulisan Opini Oleh: Hanafi Tasra
Bogor, 7 Jmd. Akhir 1444 / 1 Desember 2022

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA