Oleh: Syaefudin Simon
KOPI, Jakarta – Konon, murid Imam Ghazali, (penulis kitab legendaris Ihya Ulumuddin) bermimpi, gurunya ada di sorga. Si murid pun bertanya: Guru, amal ibadah apakah yang membuat Syekh masuk sorga?
Apa karena ibadah Syekh? Apakah karena kitab Ikhya Ulumudin yang Syekh tulis? Apa karena tasawuf Syekh?
Bukan. Bukan itu semua. Kata Imam Ghazali.
Jadi apa? Tanya sang murid.
Imam Ghazali pun cerita. Suatu ketika, saat mau menulis sebuah kitab, aku lihat lalat sedang minum cairan tinta milikku. Aku diamkan. Aku tunggu sampai lalat itu kenyang.
Setelah lalat itu kenyang dan terbang, baru aku mulai menulis. Itulah amalanku yang paling dihargai Allah yg menyebabkan masuk sorga!
Sang murid pun terkejut. Wow!
Selama ini si murid tahunya Imam Ghazali adalah seorang ahli ibadah yang sangat terkenal. Ulama penulis kitab tasawuf yang amat dikagumi dunia. Seorang alim yang ilmunya sangat luas. Guru besar yang meninggalkan jabatannya untuk uzlah (menjauh dari keramaian) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sampai hari ini, kitab-kitab karya Imam Ghazali masih dibaca orang. Hujjatul Islam yang lahir di abad ke-11 Masehi di Thus, Khorasan, Iran ini dianggap sebagai “penyambung” lidah Nabi yang menghidupkan agama. Buku-buku karyanya menjadi “monumen tasawuf” Islam hingga kini.
Tak tahunya, amalan yang membuatnya masuk sorga hanya “cairan tinta” yang diminum lalat dan Imam Ghazali ikhlas membiarkan binatang kotor itu mengisi perutnya.
Contoh kecil jalan menuju sorga ini mungkin lepas dari perhatian kita. Banyak orang lupa, bahwa puasa yang dilakukan umat Islam selama Ramadhan ini, intinya, pelajaran untuk ikhlas beramal. Ikhlas bersedekah. Ikhlas berderma. Sehingga berderma kepada seekor lalat pun asalkan ikhlas nilainya tinggi sekali di mata Allah.
Makna Puasa
Lapar karena puasa, akan meningkatkan rasa ikhlas untuk bersedekah dan berinfak. Kepada siapa pun yang membutuhkannya. Jangankan kepada manusia, berderma kepada lalat pun jika itu dilakukan dengan ikhlas, nilainya sorga di timbangan Allah. Itulah esensi pelajaran dari puasa.
Alquran menyebutkan, salat orang Islam sia-sia, bahkan menyebabkannya masuk neraka Weil, jika membiarkan anak yatim kelaparan. Allah tegas menyatakan, orang tak peduli dengan anak yatim, agamanya palsu.
Apalagi seorang pemimpin muslim yang melanggar konstitusi sehingga menyebabkan harga-harga sembako naik tidak terjangkau oleh rakyatnya. Pemimpin yang zalim konstitusi seperti ini pastilah akan terlempar di neraka Weil. Agamanya palsu. Ibadahnya muspro. Allah akan membakarnya di neraka.
Semoga pemimpin semacam ini cepat tersadar, apa yang dilakukannya sama dengan menghancurkan semesta. Sehingga ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar, yang adil, yang diridhoi Allah. Pada titik inilah kita seharusnya merenungi makna puasa di bulan Ramadhan.
Saat ini kita melihat Ramadhan menjadi bulan takzil war, bulan kemewahan hidangan, bulan berburu pakaian anyar. Bulan lobi politik kotor dan bulan pamer kekuasaan inkonstitusional. Nadzubillah.
Lalu di mana esensi puasa jika yang muncul hanya busa-busa hedonis destruktif macam itu?
Ya Allah, jauhkan kami dari segala nafsu maruk hedonis pangan, papan, dan kekuasaan yang menyesatkan itu. Berikan cahaya ikhlas, cinta, dan kasih di bulan Ramadhan ini agar kami bisa bermanfaat untuk sesama makhluk di alam raya, sesuai kehendakMU. (*)
Penulis adalah wartawan senior, mantan Redaktur Harian Republika, anggota PPWI Bekasi
Comment