KOPI, Jakarta – Peristiwa Sebelas Maret 2022 atau populer disebut PERSEMAR-22 tak ayal telah menjadi peristiwa hukum yang cukup pelik bagi para praktisi hukum di negeri ini. Bagaimana tidak, kasus yang dipicu oleh kejadian perobohan papan bunga di Mapolres Lampung Timur itu akhirnya menempatkan Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut berada dalam dilema hukum yang amat sulit dalam memutuskan perkaranya. Untuk diketahui, putusan hukum yang semestinya diambil Majelis Hakim wajib mencerminkan perwujudan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Berdasarkan data dan fakta persidangan, semua pihak dapat dengan jelas melihat dan mengetahui bahwa kasus hukum yang melibatkan Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, bersama dua rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso, sebagai pesakitan itu bukanlah murni peristiwa pidana. Proses rekayasa penyidik atas kasus ini amat sangat kental, sehingga memunculkan pertanyaan ada apakah gerangan dengan PERSEMAR-22 dan/atau Wilson Lalengke?
Lebih dari 71 kejanggalan, ketidaksesuaian informasi, dan kebohongan ditemukan dalam berkas-berkas dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para saksi, baik saksi pelapor, saksi fakta, maupun saksi korban, dan ahli. Tidak hanya itu, penyidik juga telah dengan jelas melakukan pemalsuan dokumen berita acara pengambilan sumpah 7 orang saksi, yakni 2 orang saksi korban (Yulis binti Yusuf dan Wiwik Sutinah binti Slamet), 4 saksi fakta (Hengki Saputra bin Khairul, Zainuddin bin Zainal Arifin, Amuri bin Samsudin, dan Sahroni bin Hasbunah), serta 1 ahli psikologi atas nama Octa Reny Setiawati. Lebih gila lagi, setidaknya 3 buah dari dokumen sumpah palsu tersebut ternyata dipalsukan tanda tangan saksi yang diperiksa, yakni tanda tangan Yulis binti Yusuf, Wiwik Sutinah binti Slamet, dan Amuri bin Samsudin.
Baca juga: Terkait Kasus Papan Bunga, Ditemukan 71 Kejanggalan dan Kebohongan Keterangan dalam BAP
Dua penyidik yang dihadirkan di persidangan dalam kapasitas sebagai saksi verbalisan, IPDA Hendra Abdurahman, S.Sos, MH, dan IPDA Meidy Hariyanto, SH, MH, dengan terang-terangan telah memberikan keterangan yang tidak benar alias bohong terkait peraturan dan/atau Standard Operational Procedure (SOP) dalam penanganan perkara ini di tingkat penyidikan. Hendra Abdurahman dan Meidy Hariyanto juga terindikasi telah menjelma menjadi polisi siluman, yakni seseorang yang dapat hadir dan beraktivitas di dua tempat berbeda di saat yang sama. Sebagai contoh, Hendra Abdurahman dapat melakukan penyidikan terhadap saksi Ismail Agus bin Abdul Gani pada hari Sabtu, 12 Maret 2022, pukul 14.40 wib di Mapolres Lampung Timur, padahal pada saat yang sama Hendra Abdurahman sedang bersama Wilson Lalengke dalam perjalanan dari Mapolda Lampung dan tiba di Mapolres Lampung Timur sekitar pukul 18.00 wib.
Ahli pidana Dr. Eddy Rifai, SH, MH, yang dihadirkan di persidangan untuk memberikan penjelasan tentang delik dan seluk-beluk pasal pidana yang disangkakan kepada ketiga pesakitan yang disidangkan di PN Sukadana, Lampung Timur, terindikasi kuat tidak netral. Dalam perdebatan antara Eddy Rifai dengan PH dan Wilson Lalengke, terungkap fakta bahwa Eddy Rifai adalah ‘utusan’ organisasi wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan Dewan Pers yang selama ini diketahui berseteru dengan organisasi PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) pimpinan Wilson Lalengke. Dalam kapasitas sebagai perwakilan PWI dan Dewan Pers itu, sangat jelas Eddy Rifai tidak dapat bersifat obyektif dalam memberikan pendapat hukumnya sebagaimana layaknya seorang ahli dalam bidang tertentu di pengadilan.
Eddy Rifai misalnya dengan beringas menyerang Wilson Lalengke di persidangan dengan mengatakan bahwa Wilson Lalengke tidak berhak bertanya kepada polisi Syarifudin (saksi pelapor – red) karena Wilson Lalengke bukan atasan polisi tersebut. Lebih sadis lagi, karena PPWI tidak terdaftar di Dewan Pers dan Wilson Lalengke tidak UKW, sehingga tidak masuk kategori wartawan yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dus, Eddy Rifai dengan pongahnya mengatakan bahwa selain anggota PWI, tidak boleh menyandang predikat sebagai wartawan.
Baca juga: Geger…!!! Diduga Keras PWI dan Dewan Pers di Balik Kriminalisasi Ketum PPWI
Tuntutan 10 bulan penjara dari JPU untuk Wilson Lalengke (Edi Suryadi dan Sunarso masing-masing 8 bulan penjara) menunjukkan dengan jelas bahwa 5 orang Jaksa yang menangani kasus ini tidak yakin benar atas dakwaannya terhadap para terdakwa. Sebagaimana diketahui, Wilson Lalengke dan kawan-kawannya didakwakan melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHPidana tentang kekerasan terhadap barang dan manusia dengan ancaman pidana penjara 5 tahun 6 bulan, subsider Pasal 406 ayat (1) KUHPidana tentang pengrusakan dengan ancaman penjara 2 tahun 8 bulan. Khusus bagi Wilson Lalengke, dia juga diberikan hadiah dakwaan tambahan pelanggaran Pasal 335 ayat (1) ke-1 tentang kekerasan disertai ancaman dengan ancaman penjara 1 tahun.
Secara faktual di persidangan, seluruh dakwaan berdasarkan pasal-pasal yang dituduhkan JPU kepada terdakwa tidak dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Dari 5 alat bukti yang disodorkan JPU di pengadilan, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, semuanya memberikan informasi yang sulit diterima akal sehat untuk kemudian dijadikan dasar mengambil keputusan hukum.
Keterangan saksi dan ahli, sebagaimana dijelaskan di atas tadi, sudah terang-benderang sulit dipercaya dan tentu harus dikesampingkan. Surat dan atau dokumen yang dihadirkan di persidangan berupa kwitansi pembayaran sewa papan bunga yang keseluruhannya berkisar Rp. 1 juta, hanya dapat bermakna bagi pelanggaran tindak pidana ringan (Tipiring). Papan bunga yang diklaim rusak sempat dihadirkan ke persidangan, dan semua pihak dapat melihatnya, yang ternyata tidak rusak sebagaimana definisi kerusakan, yakni sudah tidak dapat dipakai lagi.
Alat bukti petunjuk yang ditampilkan di persidangan berupa video rekaman CCTV dan video dari kamera salah satu wartawan yang berada di lokasi kejadian, menggambarkan peristiwa perobohan papan bunga di halaman Mapolres dan papan bunga kiriman Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua yang diletakkan di depan pagar Mapolres Lampung Timur. Kedua rekaman video tersebut, oleh Tim PH Wilson Lalengke dan ahli pidana Eddy Rifai ditolak keabsahannya karena tidak melalui proses uji digital forensik sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari fakta-fakta tersebut di atas, Tim PH Wilson Lalengke yang diketuai Advokat Ujang Kosasih, S.H. meminta kepada Majelis Hakim agar membebaskan kliennya dari segala tuntutan hukum. Tim Penasehat Hukum yang terdiri atas Advokat Ujang Kosasih, S.H.; Advokat Heryanrico Silitonga, S.H., C.T.A., C.L.A.; Advokat Daniel Minggu, S.H.; Advokat Tengku Muhammad Luqmanul Hakim Ashiddiqy, S.H., M.H.; Advokat Tondi Madingin A.N. Situmeang, S.H., M.H.; dan Advokat Mochamad Ansory, S.H., menilai bahwa jikapun PERSEMAR-22 itu akan dilihat sebagai peristiwa hukum, namun hanya dalam kategori tindak pidana ringan atau Tipiring dengan ancaman maksimal 3 bulan penjara atau denda sebesar maksimal Rp. 2,5 juta. Itupun dengan syarat kasus tidak direkayasa, keterangan saksi dan ahli layak dipercaya dan unsur-unsur pidana terpenuhi.
Dalam kondisi demikian itulah, Majelis Hakim diperhadapkan dengan pilihan yang sulit. Apalagi jika diingat bahwa awal mula kasus ini adalah persoalan pemberitaan tentang dugaan perselingkuhan oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua ‘yang tidak beradat’ bernama Mas Rio yang bergelar Rajo Puting Ratu dengan seorang perempuan berinisial DS, yang ditayangkan oleh media resolusitv.com. Pemberitaan itu kemudian berlanjut ke upaya penyuapan wartawan Muhammad Indra oleh Mas Rio, yang oleh Polres Lampung Timur diputar-balikkan menjadi perkara pemerasan wartawan terhadap tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua tersebut.
Keputusan Majelis Hakim yang akan diambil atas kasus ini akan mencerminkan posisi para hakim yang memeriksa perkara tersebut. Mereka sedang diuji dalam tiga perkara: independensi, profesionalitas, dan hati nurani. Dari tiga kriteria inilah publik akan menilai Majelis Hakim. Apakah mereka mampu memutuskan perkara tanpa terikat terhadap sesuatu pihak, terutama Polres dan Kejari Lampung Timur maupun pihak berkepentingan lainnya? Mampukah para Majelis Hakim bekerja secara profesional, mendasarkan hasil putusannya pada aturan hukum yang berlaku, antara lain KUHAP, KUHPidana, dan perundang-undangan terkait? Dan, adakah nurani termulia dari Majelis Hakim bekerja dengan sebaik-baiknya untuk menghadirkan ‘Keadilan Tuhan’ kepada Wilson Lalengke dan kawan-kawannya?
Kini, Wilson Lalengke bersama Edi Suryadi dan Sunarso telah ditahan selama lebih dari 3 bulan, tepatnya 3 bulan 15 hari per hari ini, Selasa, 28 Juni 2022. Penggunaan kewenangan hukum secara brutal dan sewenang-wenang oleh Polres Lampung Timur yang diaminkan oleh Kejaksaan Negeri Lampung Timur telah membuat alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu terzolimi, dikriminalisasi dengan sadis.
Adakah putusan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Diah Astuti, S.H., M.H., dibantu dua Hakim Anggota, Ratna Widianing Putri, S.H. dan Zelika Permatasari, S.H. mampu menghadirkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam kasus PERSEMAR-22 itu? Kita tunggu suara Majelis Hakim pada sidang pembacaan putusan Majelis Hakim yang akan berlangsung pada hari Senin, 4 Juli 2022, pas lewat satu hari dari ulang tahun Wilson Lalengke, yang jatuh pada tanggal 3 Juli 2022. (Tim PPWI Media Group)
Comment