KOPI, Semarang, Jawa Tengah – Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) Pembahasan Penanganan Konflik Komoditas Batubara di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/11/2022) yang lalu. Acara ini dihadiri oleh para pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan IUP (Izin Usaha Penambangan) Batubara dari berbagai wilayah di Indonesia, serta Koordinator Hubungan Komersial, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batubara – Ayi Ruhiat Sukartin, Koordinator Pengendalian Penggunaan Kawasan hutan Wilayah I- Direktorat Jenderal Planologi dan Lingkungan Kawasan Hutan – KLHK, dan Koordinator Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan – Ditjen Ketenagalistrikan KESDM.
Dalam pembukaannya, Ayi Ruhiat menjelaskan bahwa pemerintah terus berupaya membina dan mengawasi kegiatan pertambangan batubara oleh pemegang PKP2B maupun IUP. Namun, seringkali muncul rintangan dan hambatan saat pelaksanaannya, seperti persoalan lahan untuk kegiatan pertambangan. Ayi Ruhiat menjelaskan bahwa mengenai hal ini, Undang-Undang Minerba No. 3/2020 sudah mengakomodir dalam Pasal 136 ayat 1 yang mengatur ketentuan lahan pertambangan. Pemegang IUP atau IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebelum melakukan kegiatan operasi produksi.
Hal ini dikuatkan dengan Pasal 175 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menjelaskan terkait kompensasi pada ayat (1).
Masalah umum terkait pembebasan lahan, terutama di komoditas batubara, cukup beragam, seperti persoalan ganti rugi di kawasan hutan di mana perusahaan memiliki Perijinan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), umumnya terkait besaran nilai kompensasi tanam tumbuh atau adanya alas hak pengusahaan seperti surat keterangan tanah/garap yang diterbitkan oleh pemerintah desa/camat. Isu lainnya adalah klaim kepemilikan tanah seperti tanah ulayat/kerajaan/kesultanan di wilayah IUP.
Kasus tumpang tindih lahan juga kerap terjadi, seperti beberapa izin usaha perusahan/kelompok/perorangan lain yang lahan usahanya beririsan satu sama lain, surat tanah ganda di objek yang sama, bahkan ada dugaan pemalsuan surat. Tidak kalah meresahkan adalah oknum menggarap lahan yang sudah dibebaskan atau area yang belum dimanfaatkan untuk operasional tambang.
Ditjen Minerba telah beberapa kali memfasilitasi terkait penyelesaian masalah lahan tersebut. Namun pengaduan masyarakat terus meningkat, sehingga perumusan acuan standar dan regulasi dalam penyelesaian permasalahan lahan untuk kegiatan pertambangan khususnya komoditas batubara diperlukan. Hal ini merupakan bagian upaya sinergi pemerintah dan badan usaha agar dapat meminimalkan potensi dan dampak permasalahan lahan, seperti terganggunya kegiatan operasional pertambangan batubara hingga ke jalur hukum.
Dalam memfasilitasi perselisihan, Ditjen Minerba tidak menerbitkan keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih, karena bukan merupakan lembaga peradilan (judikatif) yang berwenang menerbitkan putusan hukum yang berkekuatan hukum. Ayi Ruhiat berharap, “Permasalahan lahan dengan perusahaan diharapkan dapat diselesaikan secara musyawarah atau melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) sampai disepakati penyelesaian yang bersifat win-win solution”.
Pertemuan ini menghadirkan empat narasumber: Buana Sjahboeddin (Sekretariat Ditjen Minerba), Arif Pratisto (Direktorat Rencana dan Penggunaan Kawasan Hutan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Bayu Nugroho (Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan – Direktur Jenderal Ketenagalistrikan), dan Dimar Wahyu Anggara (Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batubara).
Perancang Perundang-undangan Muda Sekretariat Ditjen Minerba, Buana Sjahboeddin, menjelaskan penyelesaian hak atas tanah antara pemehang IUP, IUPK atau SIPB dengan pemegang hak atas tanah dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Jika tidak tercapai mufakat, maka pemerintah pusat melakukan mediasi yang dikoordinasikan oleh menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pertanahan, dengan melibatkan pemerintah daerah. Pada proses ini, pemerintah pusat memberi rekomendasi dalam proses mediasi terhadap penyelesaian hak atas tanah.
Dimar Wahyu Anggara menjelaskan bahwa Ditjen Minerba melakuka penataan IUP sejak 2011 melalui proses Clear and Clean (C&C). Izin yang tumpang tindih sama komoditas tambang dan/atau tidak lengkap secara administrasi, tidak memperoleh status C&C. IUP dapat memperoleh pelayanan pemerintah dengan memenuhi tiga aspek, yaitu tidak tumpang tindih IUP, memenuhi kewajiban PNBP, dan memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan. Ditjen Minerba hanya mendaftarkan IUP yang sesuai ketentuan. Jika IUP tidak memenuhi ketentuan, tidak dapat memperoleh peyanan perizinan (pembayaran PNBP, perpanjangan/peningkatan izin, persetujuan RKAB, ekspor, melakukan perjanjian jual beli dengan izin lain yang terdaftar, dll.).
Koordinator Pokja Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK), Arif Pratisto, menguraikan bahwa pemerintah telah melakukan penyederhanaan dan percepatan proses penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor di luar kehutanan, dengan terbitnya Peraturan Menteri LKH Nomor P.27/2018 jo P.7.2019. Penyederhanaan meliputi penghapusan tahapan persetujuan prinsip, percepatan pemrosesan ijin yang semula 180 hari kerja menjadi 34 hari kerja, tanpa melalui proses persetujuan prinsip, peniadaan rekomendasi gubernur untuk permohonan PPKH atas IUP yang diterbitkan gubernur. Perpanjangan jangka waktu PPKH Eksplorasi diberikan sesuai izin di bidangnya. Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan PPKH untuk kegiatan eksplorasi lanjutan. Surat persetujuan kegiatan survei menjadi lebih mudah karena tidak mensyaratkan IPPKH Eksplorasi. (Syarif Aldhin/Esti.R)
Comment