by

Abul Ayyam dan Burung Pipit

Oleh: Syaefudin Simon

KOPI, Bekasi – Abul Ayyam, seorang musafir tua dari Baghdad selalu risau. Kekayaannya yang melimpah ruah ternyata tidak membuatnya bahagia. Malah menjadikannya sibuk, kemrungsung, dan lelah.

Ia pun pergi ke berbagai pelosok negeri dengan tujuan mencari kebahagiaan. Sampai di sebuah oase, Al-Ayyam melihat seekor burung pipit yang sangat indah. Bulunya paduan lurik merah, bergaris hijau, dan biru. Eksotik sekali.

Melihat keindahan sang burung, musafir tua itu tertarik. Ia pun mengejarnya. Burung mungil indah itu tertangkap.

Al-Ayyam terkejut sekali ketika mendengar suara Pipit. Ternyata ia bisa bicara seperti manusia.

“Duhai kakek tua, musafir yang baik. Tolong lepaskan aku. Aku punya anak. Masih kecil kecil. Kalau kakek lepaskan aku, apapun permintaan kakek akan aku penuhi,” kata Si Pipit.

“Baiklah, wahai burung. Aku ingin kau menjawab pertanyaanku. Jika kau bisa menjawabnya, aku akan lepaskan kau,” kata Al-Ayyam.

“Apa pertanyaannmu?”, tanya Pipit.

“Di mana, kapan, dan bagaimana memperoleh kebahagian?”

“Baiklah musafir tua.” Pipit pun menjawab.

Pertama, jangan percaya kepada siapa pun. Kecuali kepada Allah. Kedua, jangan berharap sesuatu yang kamu tidak akan sanggup untuk mendapatkannya. Ketiga, jangan sesali masa lalumu.”

Merasa puas dengan jawabannya, Al-Ayyam pun segera melepaskan Si Pipit.

Cericit cit cit cit cit. Pipit pun bersorak. Ia kegirangan.
Sambil tertawa, Pipit berkata sinis kepada Abul Ayyam.

“Dasar kakek tua bodoh. Kenapa tidak minta telor emas? Jika saja kakek minta telor emas tadi, aku akan memberikannya. Aku adalah satu satunya burung pipit yang bertelor emas.”

Al-Ayyam sangat menyesal karena melepas pipit tadi. Ia pun segera mengejar kembali burung itu. Kali ini, si burung kecil lucu itu bisa menghindari kejaran si kakek. Ia terbang lincah, lalu hinggap di ranting pohon cemara yang tinggi.

Al-Ayyam yang penasaran pada pengakuan pipit bertelor emas itu, lantas berusaha menangkapnya sebisa mungkin. Ia raih ranting pohon cemara yang rapuh dan tinggi itu.

Bruuuk! Kakek tua itu jatuh tersungkur. Ranting cemara yang dipanjatnya patah. Ia pun pingsan.

Aneh. Burung Pipit itu menunggu musafir tua siuman di sampingnya.

Setelah kakek siuman, si burung mendekatinya. Pipit pun kembali mengejeknya.

“Dasar manusia bodoh. Baru beberapa menit aku beri petunjuk meraih kebahagiaan, kau sudah lupa lagi,”

Kakek tua sangat terkejut. Ternyata burung pipit kembali membodohkannya.

“Ingatlah wahai Abul Ayyam. Bukankah kau tadi bertanya bagaimana mendapat kebahagiaan?”
“Ya. Ya, aku ingat itu Pipit.”

Aku sudah katakan: Kakek jangan percaya kepada siapa pun kecuali kepada Allah! Aku ini cuma seekor burung. Mengapa Kakek percaya kepadaku tentang telor emas itu?

Kedua, tadi aku katakana, kakek jangan pernah berharap pada sesuatu yang tak bisa diraih. Kakek tahu ‘kan, ranting pohon cemara tempatku hinggap tadi tinggi dan rapuh. Kakek tak akan sangup meraih ranting itu. Tapi kakek memaksakan diri. Akibatnya kau jatuh dan pingsan.

Ketiga, jangan pernah sesali masa lalumu. Mengapa kakek menyesal? Bukankah apa yang kakek lakukan — melepaskan aku — sudah terjadi?

Usai mengingatkan Al-Ayyam, Pipit pun terbang jauh. Sambil ternganga, Al-Ayyam berteriak keras.

“Siapa engkau wahai burung?

Aku Jibril yang diutus Allah untuk mengingatkan manusia!

Ha? Al-Ayyam pun kembali pingsan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA