by

Cerpen: Reinkarnasi

Simon Syaefudin
Oleh: Syaefudin Simon

KOPI, Bekasi – Pintu kantor Laboratorium Kimia Lingkungan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Pasar Jumat, Jakarta, terkuak. Shally masuk ruangan. Bergaun batik abstrak warna kuning muda dengan kacamata coklat, Shally tampak cantik sekali. Ia tersenyum. Bibirnya merekah seperti bunga mawar yang tengah mekar.

Aku pun menahan napas. Heran aku. Setiap Shally datang ke ruangan Lab Kimia di gedung tua Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Kompleks BATAN Pasar Jumat, jantungku berdegup keras. Seperti ada bidadari dari surga masuk ke ruangan.

Shally memang bunga di BATAN Pasar Jumat. Bunga yang tak pernah henti menebarkan wangi. Bunga yang tak pernah berhenti mekar. Setiap pria di BATAN gelisah kalau memandang Shally. Gelisah karena takut tersambar seyumnya. Jika itu terjadi, pria tak akan bisa tidur semalaman. Wajah cantiknya akan terus menggodanya. Sampai sulit tidur.

“Mas Andy, tolong bikinkan akun di Detik.com. Aku ingin punya blog pribadi,” Shally tiba-tiba minta bantuanku.

“Oke Shally, aku buatkan akun. Tapi minta fotonya yang bagus!”

“Ya Mas Andy, nanti aku kirim tiga foto. Tunggu sebentar!”

Ternyata benar dugaanku. Foto Shally semuanya cantik. Blas seperti aslinya. Dalam hati, Shally memang wanita yang smart dalam segala hal. Cantik, pinter, dan fashionable.

Kupasang foto itu untuk latar akun Shally. Aku pilih foto tercantik. Yang bergaun hijau, kacamata coklat, dengan selendang merah jambu. Cuaantiikk dan uaangguun. Aku pun langsung membuat akun Shally di google.

Kutulis Jenny untuk usernamenya. Jenny masih mirip Shally, batinku. Shally adalah singkatan Shahana Elliyana. Nama asli gadis cantik asal Bogor itu. Aku pikir, username Jenny mudah kuingat. Hanya lima huruf.

Tapi, begitu kuunggah foto Shally di blog, ternyata laptopku diam. Tutsnya mati. Kuketuk berkali-kali, tak ngefek. Ternyata, panah mouse juga tak bergerak. Laptop tiba-tiba mati.

“Kok begini, ada apa laptopku? Padahal, biasanya tak pernah rewel,” batinku. Ada yang aneh.

Laptop aku hidupkan lagi. Ternyata gak bisa nyala. Tapi kenapa listriknya hidup? Kuperiksa lagi laptop itu. Kuketuk-ketuk berkali-kali. Tapi laptop tetap diam.

“Andy, maaf, aku tak bisa mengunggah wajah Shally!”

Aku kaget. Dari mana suara itu?

“Andy, jangan kaget. Ini aku. Ini Sophie di laptop kesayanganmu. Di CPU laptopmu, aku berada.”

“Ha? Laptop bisa bicara?,” aku kaget bukan main.

“Ya, di CPU laptop ada aku, Sophie, kekasih abadimu. Kenapa Andy mengunggah foto Shally? Aku cemburu!”

“Astagfirullah. Mengapa kau cemburu? Sophie, ketahuilah, Shally hanya teman kantorku. Kursinya di belakang mejaku. Aku memang dekat dengan Shally. Aku memang mengagumi kecantikan Shally. Tapi hanya sebatas sahabat. Cintaku hanya untukmu, Sophie.”

“Apa kata-katamu bisa dipercaya?,” laptop itu bicara makin keras. Layarnya bergetar. Cahayanya berkejap-kejap. Ada gambar silaut wajah Sophie di layar laptop. Matanya tajam. Bibirnya tertutup. Ia kelihatan cemberut. Mungkin cemburu.

“Sophie, percayalah aku tak punya perasaan apa-apa terhadap Shally. Aku selalu menyintaimu, Sophie. Jika pun aku mengagumi Shally, itu pun sekedar kagum. Kagum seorang pria kepada wanita cantik. Tapi hatiku tetap untukmu Sophie.”

“Tapi kenapa jantungmu berdegup keras kalau menatap dada Shally,” kata laptop.

“Sophie tak bisa dibohongi, Andy!”

“Ya Allah. Kok Sophie tahu juga!,” batinku.

“Baiklah, aku janji. Aku tak akan lagi memandang wajah Shally. Juga tak akan menatap dada Shally. Aku akan memberitahu jantungku agar jangan deg-degan lagi kalau melihat kecantikan Shally,” kubilang terus terang pada laptop.

“Aku akan mensetting ulang jantungku untuk berhenti berdegup jika ada Shally.”

“OK. Tapi apa kapasitas hardisk di jantungmu cukup untuk setting ulang?”

“Cukup. Kapasitasnya 1000 Terabytes.”

“Baik. Andy sungguh-sugguh berjanji untuk hanya menyintai Sophie?,” kata ruh Sophie di laptop tadi.

“Ya. Aku janji. Pasti. Tak ada cinta lain kecuali Sophie. Dari dulu sampai kapan pun, aku tak berubah. Hanya kau Sophie wanita yang aku cintai” kataku.

Getar laptop mulai berkurang. Kejap-kejap di layar makin pelan.

“Maukah Andy berjanji hanya menyintaiku. Dan cintamu hanya untuk Sophie seorang?,” ujar Laptop.

“Pasti. Bukankah sejak kita kenalan di Yogya aku sudah menyatakannya?”

Aku makin gemes pada Sophie yang berada di CPU laptop itu.

“Sumpah. Demi langit dan bumi. Demi yang menciptakan aku dan Sophie. Aku hanya menyintaimu. Percayalah kepada Andy.”

Getaran laptop berhenti. Kejap-kejap di layar hilang. Silaut wajah Sophie di layar makin cerah. Bibirnya tersenyum. Matanya bersinar kembali. Tak lama kemudian laptop normal. Akun google dengan username Jenny pun muncul.

“Alhamdulillah, Sophie masih percaya padaku. Aku lega.”

Aku pun langsung mengelus-elus laptop Lenovo touchscreen itu. Laptop Lenovo kecil itu memang kesayanganku. Laptop itu pemberian Sophie ketika aku ulang tahun ke-45. Rupanya, Sophie tak hanya memberi hadiah laptop. Tapi juga ruhnya setelah ia meninggal. Laptop itu harus kujaga baik-baik. Seperti menjaga hatiku agar tetap menyintai Sophie.

Meski berakhir happy ending, aku jadi ingat film Unfriended yang pernah aku tonton bersama Sophie sepuluh tahun lalu. Jika di dalam film Unfriended, ruh Laura muncul di WAG teman-temannya yang mempermulakannya hingga ia bunuh diri, ruh Sophie muncul di laptopku karena cemburu.

Jika ruh Laura mengancam akan membunuh teman-temannya yang mengaplod gambarnya yang memalukan, ruh Sophie muncul hanya untuk menegaskan apakah aku masih memelihara cinta sucinya.

Luar biasa. Di era cybernet, ruh manusia yang sudah berubah menjadi mahluk astral, ternyata bisa berkomunikasi dengan manusia. Cinta suci tampaknya menjadi connecting tool-nya antara aku dan Sophie. Sedangkan Laura, kebencian dan dendam menjadi connecing tool-nya.

XXXXX

Sophie adalah adik kelasku di FMIPA UGM dulu. Usianya dua tahun di bawahku. Pertama kali aku berkenalan dengannya adalah ketika aku menjadi ketua panitia seminar Chemistry for Life di Balairung, UGM. Sophie aku jadikan sekertarisku.

Seminar itu sukses mendatangkan ratusan undangan dari berbagai perusahaan dan industri kimia dalam dan luar negeri. Kelincahan Sophie dalam menghandel semua kebutuhan software dan hardware seminar membuatku tertarik. Aku mulai naksir Sophie yang lincah dan pinter itu.

Usai seminar aku makin dekat dengan Sophie. Aku sering main ke kosnya di Asrama Putri UGM, Ratnaningsih, Sagan. Aku kebetulan tinggal dekat asramanya, di Jalan Cikditiro, sehingga memudahkan aku untuk menemui Sophie any time.

Hobby aku dan Shophie kebetulan hampir sama. Senang dengan hal-hal yang berbau spiritual. Aku dan Shophie dulu sering ikut pengajian dokter Rusdi Lamsudin yang menggabungkan ilmu kedokteran dengan ilmu tasawuf. Aku dan Sophie juga sering ke rumah Pak Damardjati Supadjar, dosen Filsafat UGM, yang ahli spiritual Jawa.

Pak Damar pernah bilang bahwa Shofie telah menemukan soulamte-nya. Sophie saat itu kaget. Ia penasaran.

“Pak Damar, soulmate-ku siapa?”

Pak Damar hanya tersenyum. Rasa penasaran Sophie makin menjadi-jadi. Ia pernah membaca buku, bahwa bila seseorang dalam pernikahannya bertemu dengan soulmate-nya, rumah tangganya akan abadi. Sang suami niscaya akan setia sampai mati. Bahkan setia seumur hidup. Jika salah satunya meninggal, maka yang masih hidup tak akan menikah lagi sampai akhir hayatnya. Kematian adalah kebahagiannya karena akan bertemu dengan soulmate-nya.

“Pak Damar soulmate-ku siapa?” Sophie terus bertanya.

“Mau tahu, serius?”

“Ya, Pak Damar.”

“Soulmate-nya adalah orang yang selalu memujamu. Ia selalu ada di sampingmu!”

“Siapa?”

“Kok masih tanya?. Siapa yang di sampingmu?”

“Pak Damar!”

Pak Damar tertawa. “Sophie-Sophie! Gak usah malulah menyebut masmu itu yang selalu ada di sampingmu.”

Pak Damar tersenyum mendengar Sophie yang berlagak telmi.

“Jadi Mas Andy, soulmate-ku?”

“Siapa lagi,” kata Pak Damar

Sambil melirik manja Sophie mencubitku. Aku pun mengelus rambut Sophie yang hitam sebahu itu. Wajah Sophie tampak bercahaya. Hidung bangirnya berkedut-kedut. Bibi tipisnya yang merah muda menyuguhkan senyuman yang sangat indah. Bagaikan senyuman bintang film India Aishwarya Rai.

Sophie memang gadis tercantik di FMIPA UGM sepanjang masa. Sophie mematahkan mitos teman-teman di UGM, bahwa gadis cantik tak akan pilih FMIPA. Biasanya di fakultas ekonomi, fisipol, dan kedokteran gigi. Tapi Sophie pilih FMIPA Kimia.

Pernah aku tanya, apa alasannya memilih jurusan kimia? Sophie menjawab, karena mengidolakan Marie Curie, ahli kimia Prancis kelahiran Polandia. Marie Curie adalah, satu-satunya wanita pemenang Nobel dua kali. Nobel Fisika 1903 dan Nobel Kimia 1911.

“Andy. Sophie. Kau berdua dulu adalah suami istri. Sepuluh ribu tahun lalu kau tinggal di Lembah Sungai Volga, Rusia. Kau adalah keluarga bahagia dengan dua anak. Nama anakmu Tatyana dan Nadira. Perempuan semua,” kata Pak Damar tiba-tiba

Aku dan Sophie kaget. Sejauh itu Pak Damar mengetahui masa laluku dan Sophie. Aku terdiam. Tapi Sophie terus penasaran.

Sophie yang mengaku masih keturunan Raja Kediri, selalu ingin tahu masa lalunya. Ia memang seneng kalau menceritakan nenek moyangnya yang masih keturunan Raja Airlangga.

Sementara aku sendiri tak terlalu menyukai cerita-cerita masa laluku. Aku tak peduli siapa nenek moyangku. Meski ada seorang indigo bernama Suwarno Pragolapati — yang kemampuan mata batinnya mirip Roy Kiyoshi, pengasuh Progam Reality Show Karma di ANTV — pernah menyatakan aku masih keturunan Sunan Kalijaga, Cirebon, tapi aku tak peduli.

Apalah arti keturunan kalau tanpa kemauan belajar dan kerja keras. Aku penganut prinsip hidup Edison, penemu listrik itu.

“Kesuksesan dan keberhasilan adalah 99 persen kerja keras dan keringat. Sisanya, nasib,” kata Edison.

Edison tak percaya takdir muncul begitu saja tanpa kerja keras. Prinsip hidup Edison hampir sama dengan Stephen Hawking. Tuhan tidak akan campur tangan pada mekanisme hukum alam. Dengan bersandar pada prinsip seperti itulah, akhirnya Edison menemukan listrik. Sebuah hasil dari kerja keras. Itulah idolaku. Edison.

Ini berbeda dengan Sophie. Ia percaya betul bahwa masa lalu, darah nenek moyang, dan reinkarnasi sangat menentukan keberhasilan hidup seseorang. Karena itulah, sejak Pak Damar memberitahu bahwa aku adalah soulmate-nya, Sophie sangat menyayangi aku.

Aku yang anak orang miskin — ayahku guru SD dengan 10 adik — dan kuliah di Yogya dengan mengajar di bimbingan tes dan menulis di koran, sering dibelikan baju dan sepatu oleh Sophie. Sophie adalah anak orang kaya. Bapaknya tentara, pangkatnya kolonel Infanteri Angkatan Darat. Tinggal di Surabaya, di kompleks TNI AD.

“Mas Andy, aku senang sekali dengan Pak Damar. Beliau ternyata bisa melacak masa lalu kita. Kata Pak Damar, kita pernah hidup bahagia berkeluarga di Lembah Sungai Volga. Kapan-kapan kalau kita sudah selesai kuliah, menikah, nanti pergi ke Rusia yok. Melacak tempat tinggal kita di lembah Sungai Volga.”

“Jangan-jangan dulu, kau Marie Curie yang kau kagumi itu,” ledekku.

Sophie tersenyum. “Boleh jadi Mas Andy. Aku dulu Marie Curie. Aku adalah reinkarnasinya. Aku memang sangat mengaguminya. Cantik dan pinter. Satu-satunya wanita yang dapat hadiah nobel dua kali di dunia. Marie Curie luar biasa.” Kata Shofie dengan mata berbinar.

Kalau Sophie sudah mengenang masa lalunya, itu pertanda ngobrolnya tak akan berhenti. Bisa berjam-jam. Ia akan penasaran terus. Jika sudah begitu, aku hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan Sophie. Kalau ngobrolnya di teras asrama Ratnaningsih, kebetulan sudah malam dan hanya berdua, Sophie langsung merapatkan duduknya ke dekatku, lalu memegang tanganku.

“Suami masa laluku sayang,” ucapnya. Aku hanya tersenyum. Sebegitunya obsesi Sophie terhadap masa lalunya. Terawangan Pak Damar benar-benar diyakini kebenarannya oleh Sophie. Aku sendiri tak terlalu peduli, benar atau tidak kata-kata Pak Damar. Yang penting Sophie makin sayang padaku.

Kalau aku dan Sophie sudah jalan berdua, teman-temannya di asrama Ratnaningsih banyak yang berkomentar lucu. Fitri, Evi, dan Alin teman seasrama Sophie suka ngledek – “wah serasi banget yo. Kayak pasangan bule. Mas Andy hidungnya mancung. Sophie juga mancung. Kulitnya juga sama-sama putih. Kayak orang Spanyol.”

Kalau sudah diledek begitu, aku dan Sophie hanya tersenyum. Ia pun makin manja menggandeng tanganku.

Singkat cerita aku lulus. Lalu, bekerja di Jakarta. Di kantor perusahaan perminyakan asing, divisi laboratorium, sesuai bidang studiku. Karena pekerjaan yang sangat sibuk, menyita waktu, aku sering kecapaian. Jarang menulis surat untuk Sophie. Waktu itu belum ada HP OS Android. Belum ada internet. Surat adalah andalan utama untuk komunikasi.

Suatu ketika aku mendapat tugas dari kantorku, PT. British Petroleum, untuk meneliti kandungan sulfur oksida dari gas hasil eksplorasi di Papua. Aku pun pergi ke sebuah lokasi terpencil dengan perangkat laboratorium. Lokasinya di Tangguh, jauh dari kota besar.

Jarak tempatku bekerja ratusan kilometer dari Kota Jayapura. Jauh sekali. Sehingga sulit untuk sekedar mengirim dan menerima surat. Kalau pun berkirim surat ke Sophie, lama sekali sampainya. Sepuluh tahun aku di Papua.
Selama itu, jarang sekali mengirim surat ke Sophie. Waktu Sophie wisuda, aku juga tak bisa datang ke Yogya. Padahal, Sophie sudah memberitahuku.

Setelah Sophie bekerja di Jakarta, ia pun sangat sibuk. Sophie bekerja di perusahaan kimia Jerman, PT Merck. Karena beban kerjanya yang tinggi, Sophie jarang kirim surat ke aku. Lama, kelamaan komunikasiku dengan Sophie patah-patah. Sampai akhirnya terputus sama sekali.

Aku waktu itu sebetulnya tetap setia kepada Sophie. Cuma memang jarang kirim surat. Sementara Sophie karena usianya sudah diatas 25 tahun, dipaksa orang tuanya untuk menikah. Maklumlah orang tua, kalau anak gadisnya sudah berusia di atas 25 tahu dan belum nikah, perasaannya was-was terus.

Sophie saat itu menghadapi dilema. Di satu sisi, masih mengharapkan aku segera kembali dari Papua, lalu melamarnya. Di sisi lain, orang tuanya mendesak terus untuk menikah. Dalam kondisi bingung karena aku masih lama tinggal di Papua, Sophie akhirnya memutuskan nikah dengan teman sekantornya — Wisnu Pratama dari Purwokerto. Ia menerima alamaran Wisnu demi membahagiakan orang tuanya.

Sudah sepuluh tahun lebih aku di Papua. Aku terpaksa berhenti bekerja di perusahaan migas Inggris itu karena jenuh. Aku ingin ke Jakarta lagi. Aku tak ingin lagi bekerja di bidang kimia. Apalagi di laboratorium.

Aku rindu menulis. Menjadi penulis adalah obsesiku sejak SMA, meski aku kuliah di jurusan kimia FMIPA. Sementara Sophie, aku tahu hobinya menyanyi. Suaranya bagus. Waktu kuliah, ia sempat menjadi penyanyi di Group Band Kampus UGM. Suara Sophie mirip Teti Kadi. Jernih dan enak didengar dalam nada tinggi.

Aku lama mencari-cari di mana Sphie berada. Apakah masih bekerja di perusahaan kimia Jerman? Aku tak tahu. Lima tahun aku mencari Sophie. Tak ketemu-temu. Sampai akhirnya, ketika muncul HP OS Android dan bermunculan WAG, aku mendapatkan nomor telponnya. Temanku Rani, memberikan nomor telpon Sophie.

“Hallo, ini Sophie?,” kataku di Hp.

“Ya, siapa ini?,” balas Sophie. Ia lupa suaraku. Maklum, setelah lama di Papua, suarakau agak gember dikit. Mungkin karena sering berteriak di lapangan. Bising dengan suara mesin pengeboran migas.

“Aku Andy. Mosok lupa?”

“Oh ya..ya. Mas Andy. Apakabar. Kapan pulang dari Papua?”

“Lima tahun lalu. Aku lama mencarimu. Rani memberikan nomor telponmu kepadaku.”

“Sophie, aku sampai sekarang belum nikah lo. Aku tetap menunggumu. Meski aku jauh dan jarang kirim surat, hatiku tetap untukmu.”

“Oh ya? Terimakasih. Aku juga kangen denganmu Mas Andy. Tapi aku sudah menikah.”

“Aku suka kalau kamu bahagia. Bahagiamu bahagiaku.”

“Terimakasih. Bagaimana kalau kita ketemu Jumat akhir pekan di Mall Kelapa Gading? Kebetulan Jumat depan ada meeting di Kelapa Gading. Usai meeting, aku tunggu di Bengawan Solo Coffee jam lima sore.” Suara Sophie renyah. Tampaknya ia senang aku sudah di Jakarta.

“Sampai jumpa lusa di Bengawan Solo. Aku masih meeting Mas Andy.”

Aku hitung, sejak berpisah dari Yogya, sudah 15 tahun aku tak bertemu Sophie. Kayak apa wajahnya sekarang? Rasanya lama sekali menunggu dua hari. Aku akan bertemu soulmate-ku.

Aku menduga, Sophie tak bahagia dengan suaminya. Karena suaminya bukan soulmate-nya. Aku ingat terawangan Pak Damar dulu bahwa soulmate Sophie adalah aku. Dulu, aku tak begitu peduli pada ramalan Pak Damar. Tapi entah bagaimana, aku merasakan terawangan batin dosen filsafat itu benar.

XXXXX

Panas mentari yang menyengat Jumat siang itu, tak aku pedulikan. Usai salat Jumat aku sudah siap-siap. Aku memakai baju coklat muda, warna kesayanganku dan Sophie waktu di Yogya.

Aku naik taksi dari rumahku di Bekasi menuju Kelapa Gading. Aku sengaja berangkat jam dua siang, takut terjebak kemacetan di Pulau Gadung. Benar juga, taksi baru sampai di Kelapa Gading jam empat sore. Dua jam perjalanannya, meski jarak Bekasi dan Kelapa Gading hanya 20 kilometer.

Setelah istirahat sebentar di depan kolam ikan Mall Kelapa Gading, menunggu jam lima sore, aku langsung ke Bengawan Solo Coffee. Aku mencai-cari Sophie, di dalam cafe. Ternyata tak aku temukan.

“Mas Andy ya. Aku Sophie,” tiba-tiba seorang wanita cantik berbusana hijau muda dengan celana jeans biru ketat, menyapaku. Aku terkesiap. Nyaris lupa wajah Sophie, kalau ia tak menyapaku. Di usia, 38 tahun, Sophie ternyata masih cantik. Aku sendiri 40 tahun, dua tahun lebih tua darinya.

“Ayo Mas Andy, duduk. Aku sudah siapkan tempatnya.”

Sophie sudah menyiapkan tempat duduk di sebuah sudut cafe. Hanya satu meja, dua tempat duduk. Ia rupanya sudah minta ke pelayan cafe untuk menyiapkan meja dengan dua kursi saja di sudut yang bercahaya remang-remang.

“Aduh Sophie, aku lama sekali mencarimu. Dari ujung dunia ke ujung dunia yang lain. Bahkan aku berdoa agar mimpi bertemu kamu dan dapat alamatmu,” kataku.

“Aku menunggumu Sophie, gadis atau janda. Aku tak bisa melupakanmu.”

Sophie tersenyum. “Aku juga Mas Andy. Lama mencarimu. Kontak kita terputus setelah Mas Andy ke Papua.”

“Ya, wilayah kerjaku sangat terpencil. Jauh dari mana-mana. Beban kerjaku sangat berat, sehingga kecapaian. Tak sempat bikin surat. Makan pun kadang tak sempat. Makan di sela-sela kerja yang padat.”

“Ya sudah, lupakan itu. Toh kita sudah bertemu. Aku senang sekali bisa bertemu Mas Andy.”

“Bagimana keluargamu?”

“Ya begitulah Mas Andy. Pak Damar benar, soulmate-ku Mas Andy. Aku tak bahagia. Suamiku bukan idolaku. Terlalu banyak perbedaan pendapat antara aku dan Mas Wisnu.”

“Terus, bagaimana? Kalau bukan idolamu, apakah kau sudah berusaha menjadikan dia idolamu? Kan bisa direkayasa seperti membuat zat kimia baru melalui reaksi radiasi.”

Sophie yang orang kimia pasti mengerti maksudku. Radiasi gamma bisa merubah struktur molekul suatu zat sehingga sifat zat tersebut berubah total meski unsur-unsurnya sama.

“Sulit Mas Andy. Sudah sepuluh tahun aku menikah. Tak ada kecocokan. Makin lama makin jauh saja perbedaannya. Mungkin itu pula yang menyebabkan aku belum punya anak.”

“Waktu Mas Andy telpon aku sedang mengurus peceraian melalui pengacara dari Ratih Jussac Law-Firm. Ketika janji mau bertemu Mas Andy, aku sengaja minta pengacara agar mengurus surat peceraian lebih cepat. Agar ketika bertemu dengan Mas Andy, statusku sudah janda. Sudah tak punya suami.”

Ha? Aku kaget sekali. Kok sebegitunya persiapan Sophie untuk bertemu denganku. Ternyata, Sophie tetap masih mengharapkan aku untuk hidup bersamanya.

“Kita bisa mengobrol sampai cafe ini tutup. Suamiku sudah tak serumah denganku.”

“Oke siap. Aku sih masih bebas. Masih sendirian.”

Aku dan Sophie ngobrol macam-macam tentang pengalaman hidup masing-masing. Tentang pernyataan Pak Damar, tentang teman-teman di fakultas, tentang pekerjaan. Seru ngobrolnya. Berbincang tentang kenangan masa lalu memang mengasikkan.

Sophie membawa tiga album foto di tasnya. Ia menunjukkan foto-foto seminar kimia Chemistry for Life yang ada gambarku dan gambarnya. Sophie juga menunjukkan foto-foto bareng temannya di Asrama Ratnaningsih. Ada foto Ovi, Lin, Dian, Vian, Ratih, dan Nunu waktu muda. Lucu-lucu. Mereka masih imut. Tapi di antara foto-foto itu, Sophie yang tercantik.

Jam 22.00 malam cafe Bengawan Solo Coffee tutup. Aku mengantar Sophie ke tempat parkir.

“Mas Andy kan gak bawa mobil. Ikut aku saja ya. Kita jalan-jalan.”

“Oke, aku juga ingin jalan-jalan malam hari denganmu Sophie.”

Aku pun masuk ke dalam sedan BMW hitam milik Sophie. AC-nya dingin sekali. Aku duduk di sampingnya. Tanpa izin, aku mengelus rambut Sophie. Ia kaget. Tapi diam, tak menolaknya. Kucium pipinya. Ia pun diam.
“Sophie aku tak berubah. Aku tetap menyintaimu. Sampai kapan pun.”

Sophie tersenyum. Ia mengemudian mobilnya dengan tenang. Sophie menolak tawaranku agar aku yang mengemudikan mobilnya.

“Kita ke Kemayoran yok. Makan seafood,” ajak Sophie.

“Oke.”

XXXXX

Sejak pertemuan di Bengawan Solo Coffie, aku dan Sophie terus berkomunikasi. Kadang menelpon langsung, SMS, kadang melalui WA. Pendeknya, dari bangun pagi sampai mau tidur malam, kalau ada waktu, aku dan Sophie terus berkomunikasi.

Kata-kata sayang dan cintaku mulai akrab di telingaku dan Sophie. Tak terasa sudah empat bulan aku dan Shofie memadu kasih seperti remaja. Suasana indah di bawah naungan Dewi Parwati sungguh mempesona. Dewi cinta itu seakan selalu bersama kami. Kami seperti berada di usia 20-an lagi, ketika sedang memadu kasih di Kampus Biru.

“Sayangku, bagaimana kalau kita menikah saja. Aku kan sudah resmi menjanda,” tulis Sophie di WA, japri.

“Itu yang aku mau Sophie. Bagaimana besok Minggu saja, kita menikah secara sederhana. Saksinya teman-teman kita saja. Kyai Farid Mustofa dan Kyai Fauzi Rahman, temanku, pasti mau jadi saksi. Sekalian khutbah nikahnya, Kyai Fauzi Rahman. Kalau perlu teman-temanmu yang di Jakarta seperti Dian, Ovi, Fitri, Happy, Lin, Vian, dan Sherly diundang.”

Tak butuh persiapan lama, pernikahan sederhana pun berlangsung khidmat. Sesuai rencana. Farid Mustofa menyampaikan khotbah nikah dengan gaya pesantren. Fauzi Rahman jadi saksi.

Malam pertama aku dengan Sophie luar biasa. Meski usianya 38 tahun dan janda, tubuh Sophie masih kencang. Tidak kalah dengan gadis 20-an tahun. Kulitnya putih mulus. Berbagai gaya permainan seks yang ia pelajari di Google ia praktikkan. Sampai aku kewalahan. Sophie mengaku mempelajari gaya bercinta khusus untuk menikmati bulan madu denganku. Gaya tersebut belum pernah ia praktikkan dengan suaminya dulu. Ia mengaku tak bergairah dengan Wisnu.

“Baru kali ini aku multiorgasme sampai tujuh kali semalam,” bisik Sophie manja.

“Mas Andy memang pria hebat. Aku makin sayang,” pujinya. Ia pun menciumku gemas. Lalu ngajak itu lagi. Seperti tak ada bosannya. Aku hanya tersenyum bila Sophie sudah timbul manjanya, kemudian merengek minta kenikmatan sorgawi.

“Sophie, kelak kalau di sorga, bidadariku cukup satu saja. Kau. Aku tak butuh 70 bidadari. Satu sudah cukup,” ujarku sambil mengelus rambutnya.

“Iya sayang, aku juga gak mau jadi gendak di Harem orang Arab. Cukup dengan Mas Andy saja.” Sophie tersenyum sambil merebahkan badannya yang setengah telanjang di pangkuanku. “Sekarang ini aku sudah berada di sorga,” tambahnya manja.

#

Sepekan setelah menikmati manisnya romantisme di rumah, Sophie mengajak bulan madu ke India. Selain bulan madu di negeri dongeng itu, tujuan lainnya, berkunjung ke Ashram Krishna Shakti di Agra. Sophie ingin mendalami meditasi khusus yang bisa membuat ruhnya bisa berjalan-jalan di dunia astral. Sophie terobsesi untuk menemukan jejak reinkarnasinya seperti dikatakan Pak Damar.

Sophie sengaja pilih kota Agra karena sekalian ingin melihat Taj Mahal. Sejak masih kuliah di Yogya, keinginan Sophie untuk belajar meditasi dan berkunjung ke Taj Mahal kuat sekali. Ia pernah bilang kepadaku, Taj Mahal adalah simbol soulmate antara Raja Shah Jahan dan Mumtaz Mahal.

“Mas Andy kita harus ke Taj Mahal untuk merayakan pertemuan soulmate kita,” kata Sophie suatu kali di Yogya usai Pak Damar memberitahu bahwa aku adalah soulmate-nya. Aku hanya mesem. Ada ada saja.

Di Agra, Sophie serius sekali belajar meditasi khusus untuk melepas sukma. Gurunya Sri Rama Valmiki, seorang yogi dan spiritualis yang sudah sangat terkenal di India. Sri Rama Valmiki banyak muridnya karena ia menguasai tujuh bahasa asing dengan lancar. Inggris, Perancis, Arab, China, Portugis, Belanda, dan Indonesia.

Sebetulnya, apa yang ingin dipelajari Sophie, sudah ada di Jawa. Namanya, topo rogo sukmo. Tapi Sophie memilih belajar ilmu rogo sukmo di Agra agar sekalian bisa melihat Taj Mahal. Sophie ingin sekali melihat jejak masa lalunya melalui ilmu rogo sukmo itu.

“Mas Andy, benar apa kata Pak Damar. Kita dulu suami istri yang tinggal di sebuah desa kecil di lembah Sungai Volga. Aku sudah melacak jejak keluarga kita di sana,” kata Sophie usai meditasi di Ashram Krishna Shakti di bawah bimbingan Yogi Sri Rama. Sejak itu Sophie makin yakin bahwa cintanya dengan Andy akan abadi. Tak akan terganggu apa pun.

Sepulang bulan madu di Agra, Sophie makin rajin meditasi rogo jiwo. Jika di India saat topo rogo sukmo dibimbing Sri Rama Valmiki, di Jakarta ia ingin meditasi sendiri tanpa guru yogi. Beberapa kali Sophie berhasil.

Sophie menceritakan, berajalan-jalan ke seluruh dunia dengan meditasi rogo sukmo. Bukan hanya ke lembah Sungai Volga. Tapi juga ke puncak Himalaya, Gurun Sahara, dan Antartika.

“Sophie, pernah bertemu siapa saja di alam astral,?” tanyaku. Aku bertanya hal itu karena aku tidak bisa melakukan meditasi rogo sukmo.

Aku tak serius mendalami meditasi. Aku tak ikut belajar meditasi rogo sukmo. Niatku hanya menemani Sophie. Makanya, aku kepo, apa yang Sophie dapatkan di alam astral.

“Bertemu macam-macam orang yang aneh. Ada orang yang hidup mewah, bahagia, dengan rumah bagus dan luas sekali. Ada yang sangat menderita, kesakitan karena tubuhnya bernanah penuh ulat. Mungkin yang pertama, itu ruhnya orang baik. Yang kedua ruhnya orang jahat.”

“Pernah bertemu ruh suci di alam astral?” Aku benar-benar penasaran. Ingin tahu siapa saja ruh suci yang ada di alam astral.

“Pernah. Namanya Khidir. Orang menyebutnya Nabi Khidir. Beliau adalah nabinya alam ruh. Nabi Khidir sangat dihormati di alam astral.”

“Aku pernah minta nasehat kepada Kanjeng Nabi Khidir agar selamat hidup di alam wadag dunia,” kata Sophie.

“Apa kata Nabi Khidir?” Lagi-lagi aku penasaran. Ingin mendengar nasehat nabi gaib yang pernah menemani Nabi Musa naik perahu di laut itu.

“Nabi Khidir minta agar manusia menyintai Tuhan. Pesannya, manusia boleh mencari harta sebanyak-banyaknya. Tapi carilah harta dengan halal, jangan mengambil hak orang lain, dan jadikan harta itu ladang amal. Maksudnya, gunakan harta itu untuk membantu orang lain, agar lepas dari kemiskinan dan kebodohan.”

“Terus apa lagi?”

“Kalau ingin selamat, manusia harus selalu berhubungan dengan Tuhan. Jangan pernah melupakan Tuhan sedetik pun. Itu pesan Nabi Khidir.”

“Caranya bagaimana?,” aku terus mencecarnya. Sophie pun tak bosan menjawabnya.

“Kata Nabi Khidir, bacalah kitab suci sesibuk apa pun, meski hanya satu kalimat, atau satu kata seperti asmaul husna. Setiap kata dalam asmaul husna adalah nama Tuhan Yang Maha Mulia. Dan nama Tuhan itu adalah password untuk … connecting to Allah. Tapi kalau ada waktu banyak, bacalah kitab suci dari ayat ke ayat, lalu renungkan maknanya. Dan ikuti pesan Tuhan dalam kitab suci itu.”

“Bagus sekali pesan beliau, Sophie. Itu benar-benar Nabi Khidir.”. Ujarku. Sophie tersenyum. Manis sekali.

“Ada pesan penting lain dari Nabi Khidir?”

“Ada. Kata Nabi Khidir kitab suci terbesar itu jagad raya. Bacalah hukum-hukum alam di jagad raya. Tuhan sangat menyukai manusia yang membaca dan menelaah ayat-ayat kauniyah dari kitab suci yang menyimpan milyaran ayat itu.” Jelas Sophie menjelaskan pesan Nabi Khidir. Aku senang sekali mendengan penjelasan istriku yang cantik, seksi, dan mistikus itu.

“Kalau begitu Edison, Newton, dan Einstein sangat dicintai Allah?”. Tanyaku penasaran.

“Betul, Nabi Khidir menyatakan para ilmuan adalah kekasih-kekasih Allah yang dijamin masuk sorga.” Jelas Sophie setelah mendengar wejangan Nabi Khidir di alam ruh.
Thanks Sophie atas ilmu yang kau dapat di sana — kataku sambil mencium keningnya.

Pada suatu hari, di bulan Ramadhan, Sophie berniat mengarungi dunia astral sejauh mungkin. Ia bertekad ingin menemui nenek moyangnya yang keturunan Raja Kediri. Sophie ingin sekali bertemu dengan Raja Airlangga. Ia sering membayangkan, Airlangga memeluk dirinya. Seperti pelukan kakek kepada cucunya.

Sophie memulai meditasi Rogo Sukmo habis salat Ashar. Harapannya, pas waktu Maghrib, selesai. Sekalian buka puasa.

Aku sendiri mempersiapkan masakan untuk buka puasa. Aku masak rawon, masakan favorit Sophie. Untuk aku sendiri, aku masak empal gentong. Dua masakan ini, minimal tiap bulan, wajib ada dalam lemari makan.

Aku membiarkan Sophie di kamar melakukan meditasi rogo jiwo. Aku sabar menunggunya di ruang makan. Sambil membaca Catatan Pinggir Tempo.

Ternyata, sampai Maghrib, Sophie belum muncul di meja makan. Aku tunggu 10 menit. Mungkin ia sedang shalat Magrib. Ternyata belum juga muncul di ruang makan. Aku penasaran, masuk kamar tempat meditasinya.

Sophie tampak duduk tenang. Tapi ketika aku dekati, ia diam. Aku panggil namanya, tak menyahut. Penasaran, kulihat wajahnya. Matanya tertutup. Mulutnya terkatup. Ia diam.

Kusenggol tubuhnya, ia diam. Penasaran, aku panggil namanya agak keras. Sophie tetap diam. Aku curiga. Kupeluk tubuhnya. Ia tetap diam.

Aku langsung menjerit. Sophie. Sophie. Jangan diam saja. Ia tetap diam. Lalu kupegang denyut di pergelangan tangannya. Ternyata tak ada denyut. Ku pegang dadanya. Tak ada detak jantung lagi.

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” tangisku meledak. Sophie telah pergi untuk selamanya.
Aku pun merebahkan tuibuhnya di kasur. Kedua tangannya aku silangkan di atas dadanya.Wajahnya aku usap. Lalu kucium. Bibirnya tampak tersenyum.

“Sayangku Sophie, meski kau telah pergi. Tapi aku tetap menyintaimu. Aku akan selalu ada di sampingmu,” tangisku lirih. Air mataku menetes.

Aku ingat guru meditasi Sophie, Sri Rama Valmiki di Agra pernah memberitahuku, agar hati-hati dalam meditasi rogo sukmo. Jika terlalu lama, bisa-bisa ruhnya tak bisa kembali. Sebab, darahnya sudah berhenti mengalir. Jika kondisinya seperti itu, maka tamatlah hidupnya.

Aku langsung menelpon guru Sri Rama Valmiki di Agra. Aku menjelaskan bahwa Sophie meninggal saat meditasi.

“Aku sudah tahu. Ruhnya sudah datang kepadaku. Sophie berjanji, ruhnya akan selalu berada di dekatmu, Andy. Tak usah khawatir. Yang mati hanya jasadnya. Ruhnya abadi dan akan selalu bersamamu. Ruh Sophie hanya left body. Ia masih hidup,” kata Sri Rama dengan nada lembut.

Sophie telah pergi untuk selamanya. Tapi ruhnya tetap bersamaku. Kemunculan ruhnya di CPU laptopku adalah yang pertama kali sejak ia meninggal. Sejak itu, ruh Sophie sering muncul di hape, di laptop, dan di dekstop kantor yang menyimpan file-file tulisanku. Ruh Sophie tahu betul di mana saja file tulisan-tulisanku.

Kini, aku suka dengan kemunculan ruh Sophie di manapun. Karena ia selalu mengingatkan agar aku rajin ibadah, rajin shalat malam, banyak membaca kitab suci, banyak beramal, dan banyak bersedekah untuk membantu fakir miskin.

“I love you Sophie,” kutulis kalimat itu di laptopku pada suatu malam, usai salat tahajud.

Tiba-tiba di layar laptopku muncul tulisan: “I love you too, my Dilan.”

Ha? My Dilan? Aku tersenyum. Lucu. Rupanya ruh Sophie tahu popularitas film Dilan 1990. Luar biasa. Sophie di alam astral ternyata mengikuti perkembangan film Indonesia zaman now. Ah Sophie, kau memang selalu menarik hatiku. (*)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA