by

Cerpen: Fatimah, Gadis Thai

Oleh: Syaefudin Simon

KOPI, Bekasi – Tahun 1992, aku ikut training pertanian dan lingkungan di Thailand. Hampir dua bulan. Setengah bulan kursus dan sisanya studi lapangan.

Aku rada betah di Bangkok dan Chiang Mai. Makanannya enak. Tomyangnya nendang. Pedes. Duriannya enak. Murah. Capcainya juga enak. Khas Thai. Aku suka sarapan sate ketan dan ikan. Makannya sambil nongkrong di pinggir jalan.

Banyak hal menarik di Bangkok. Terutama live shownya. Di Pat Phong, diskotik yg menyajikan live show sangat banyak. Tontonan saru ini ruangannya gelap. Semua wanita pekerja diskotik live show telanjang. Kadang di leher atau pentil susunya ada bohlam kecil. Cahanya menyinari bagian dada pramusaji live show itu.

Salah seorang pramusaji yang telanjang aku ajak ngobrol. Aku tertarik karena wajahnya lain dari yang lain. Matanya tidak sipit. Kulitnya agak sawo matang. Aku panggil dia dengan kode tangan. Lalu aku ajak ngobrol di sudut diskotik. Aku pesan minuman tanpa alkohol untuk berdua. Saat itu aku gak tertarik lihat live show. Menjijikkan. Tapi aku tertarik pada ketelanjangannya yg alami. Bukan ketelanjangan yang seksi. Aku melihatnya seperti lukisan wanita telanjang di candi Borobudur dan Prambanan.

Namamu siapa? Tanyaku dalam bhsa Inggris seadanya.

Fatimah. Jawabnya.

Ha? Fatimah. Aku kaget.

Kamu bisa bahasa Melayu?

Bisa. Aku dari Pattani. Aku orang Melayu. Ujarnya.

Dugaanku benar. Ia bukan etnis Thai asli yg dominan Cinanya. Ia lebih dominan Melayunya.

Kau Islam? Tanyaku penasaran.

Iya. Aku Islam. Jawabnya.

Kenapa kau berada di sini?

Aku ditinggal suami. Aku cari nafkah. Sulit cari pekerjaan di Bangkok. Aku gak punya ketrampilan. Adanya pekerjaan ini.

Kalo orang tuamu tahu kamu kerja di tempat macam ini gimana?

Bisa disembelih. Jawabnya sambil memperagakan tangannya seperti pedang memotong leher.

Fatimah, umurmu berapa?

Tiga puluh tahun.

Aku terdiam. Kenapa Fatimah bisa berada di diskotik telanjang macam ini. Seberapa berat penderitaan hidupnya.

Kamu tinggal di mana di Bangkok?

Fatimah memberikan kartu nama berhuruf Thai setelah masuk ruang khusus diskotik. Jelas aku tak bisa membacanya. Ia bilang tunjukkan saja ke sopir taksi. Nanti diantar sampai rumahnya.

Boleh aku ke rumahmu untuk ngobrol Fatimah?

Boleh. Aku senang kalau kamu mampir ke rumah. Katanya.

Pas Minggu pagi aku datang ke rumahnya. Ternyata tak jauh dari hotel tempatku menginap. Ia mengontrak flat kecil. Di ruang tamu, ada kaligrafi kalimat tauhid. Ada juga foto keluarga Fatimah. Juga dua bocah kecil, anak Fatimah. Flat Fatimah terlihat sangat Islami. Tak ada satu pun gambar patung Budha atau Sri Rama, hiasan khas rumah orang Thai.

Fatimah, jadi kau single parent?

Iya. Sejak dua tahun lalu. Suamiku nikah lagi. Tak mempedulikan aku.

Suamimu muslim?

Ya. Penampilannya sangat muslim. Berjubah. Berjenggot. Pakai songkok putih. Selalu mengutip hadist dan Qur’an.

Kan bagus. Kau mendapat suami yang saleh. Orang beriman.

Bagus apa? Faktanya dia kawin lagi. Meninggalkan aku dan dua anaknya. Baginya poligami itu sunah Rasul. Karena Rasul poligami.

Kenapa suamimu tak memberi nafkah?

Sebelum pergi meninggalkan kami, mungkin menetap di rumah istri muda, ia menyatakan Allah akan menjamin kehidupanku. Suamiku menyatakan telah menitipkan aku kepada Allah. Jadi Allah yang menjamin kehidupanku. Ungkap Fatimah dengan nada sedih.

Kok bisa suamimu punya pandangan seperti itu? Tanyaku.

Suamiku punya mursyid orang Malaysia dan Indonesia. Ia sering ke Jakarta dan Solo. Katanya berguru Islam pada ustad di Indonesia.

Aku tercenung. Ustad mana yang menyatakan sunah poligami dan meninggalkan anak istri? Kasian Fatimah.

Pikiranku menerawang jauh. Aku akui, memang ada orang yang “ngustad” punya pikiran semacam itu di Indonesia. Ustad macam ini biasa mengeksploitasi wanita dgn pandangan keislamannya yang dangkal. Ia memanfaatkan Islam untuk kepentingan seksnya semata. Tak mau menanggung konsekwensi pernikahan. Alasan poligami sunnahllah. Istri yg taat akan mendapat berkah suamilah. Istri tak boleh keluar rumah tanpa muhrimlah. Macam-macam ajaran Islam yang dangkal ia ikuti. Ajaran Islam yang penuh cinta dan tanggungjawab malah dijauhi.

Mungkinkah kamu pulang ke Pattani dan minta suamimu pulang?

Fatimah tak menjawab. Matanya menerawang jauh.

Kamu masih tetap menganut Islam kan?

Ya iyalah. Keluarga besarku Islam. Tak mungkin aku pindah agama Budha seperti mayoritas rakyat Thailand.

Lagi-lagi aku terkejut. Dalam hati, kau memang dilematis Fatimah. Kau perempuan single parent. Kau terpaksa bekerja di diskotik live show yang mengharuskanmu telanjang. Ya Allah, tolonglah Fatimah. Beri dia jalan yang halal untuk mencari nafkah.

Setelah ngobrol panjang, aku pamit. Aku menyarankan sebaiknya pisah aja dengan suami tak bertanggungjawab itu. Kau masih cantik Fatimah, kataku. Pasti banyak pria yg mau menjadi suamimu. Sebelum pulang aku kasih amplop. Ini untuk anakmu di Pattani. Aku kasih alamat dan nomor telponku di Jakarta. Kalau Fatimah ke Jakarta, kontak aku. Aku akan membantumu.

Fatimah terdiam. Ia mengucapkan terimakasih berkali-kali.

Dalam perjalanan pulang, aku gusar, marah, dan jengkel. Kok ada orang berpenampilan Islam — pakai jubah dan berjanggut seperti suami Fatimah — tapi akhlaknya jahiliyah.

Setelah aku mendarat di Cengkareng, aku segera sadar, Fatimah adalah korban ajaran blekok yang kini juga mulai menyebar di Indonesia. Ajaran Islam seperti ini harus disingkirkan. Hanya merendahkan Islam dan menyengsarakan perempuan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA