by

Kartini 2020: Kepo Nuklir!

KOPI, Jakarta – Perempuan adalah ‘Tiang Negara’.

Bisa dibayangkan, jika tiangnya rapuh, apa yang akan terjadi dengan negara yang di sangga_nya. Pasti akan ambruk! Perjuangan hidup perempuan tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi lebih kepada untuk anak anak dan keluarga. Untuk apa? Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih ‘Bahagia’ dan sejahtera kelak. Perjuangan hidup yang lemah dari seorang perempuan, akan membuat suatu keluarga menjadi porak poranda. Banyaknya keluarga yang porak poranda, akan membentuk suatu bangsa yang berantakan dan lemah.

Memikirkan nasib anak anak adalah juga memikirkan nasib generasi penerus bangsa. Menanamkan cita cita pada anak, untuk kelak menjadi seorang dokterkah, ahli hukumkah, pengacarakah, insinyurkah, pedagang sayurkah, pedagang rotikah – harus ada di pola pikir seorang ibu lebih dahulu.

Oleh karena itu, menciptakan idola kepada kaum ibu, menjadi suatu yang sangat penting. Dan ini wajib. Inilah yang dilakukan Ibu Kartini saat itu. Hanya berbeda versi. Beliau memperjuangkan untuk bisa membaca. Jaman sekarang, menerapkan kemampuan bacanya. Dan ini, tidak semata menjadi jauh lebih mudah. Butuh keberanian dan motivasi tinggi dalam memperjuangkannya. Tetapi, saat ini, media baca sudah didukung oleh teknologi media sosial yang sangat canggih. Harusnya segala informasi mudah didapat. Hanya dengan menggunakan Hp., bisa meraih bacaan elektronik. Bisa bertukar informasi. Melalui Whatsapp, Line, Facebook, Instagram, twitter dan lain sebagainya. Yang paling penting yang dibutuhkan adalah “kemauan membaca”. Membaca berita apa? Berita yang baik. Bukan berita sampah, yang hanya membuat resah dan tidak nyaman.

Memberitakan suatu berita yang baik itu wajib. Berita yang memotivasi, dan membangun bangsa menjadi lebih baik. Kegiatan suci ini wajib dilakukan kaum perempuan Indonesia. Inilah hakekat emansipasi perempuan Indonesia masa kini.

Topik Emansipasi harus tidak mengenal perbedaan agama dan suku. Contohnya, pemberitaan terkait bagaimana mengentaskan kemiskinan rasa kemanusiaan, bagaimana menggalakkan ‘social distancing’ – jaga jarak dalam mengantisipasi Pandemi Covid-19, juga tak kalah menarik mengangkat topik cerita “Heroisme” seorang dokter, seorang insinyur, bankir, guru dan lain sebagainya. Berita berita ini harus sering ditampilkan untung membakar motivasi membangun bangsa.

Pemberitaan positif ini akan sangat membantu terciptanya patron patron idola yang bagus untuk kaum ibu. Misalnya, cerita kecerdasan Margaret Tatcher – perdana Menteri perempuan pertama Inggris. Disebut sebagai wanita besi yang membawa Inggris menjadi hebat. Juga dengan Korea dan Jepang, kaum perempuannya dikenal dengan sebagai kaum yang hebat dalam mendidik anak anaknya. Sehingga, hingga kini, diyakini bahwa karena kaum ibunya yang super hebat, maka Korea dan Jepang bisa menjadi negara yang teratas industrinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kaum perempuan sangat lekat sebagai kaum “Pembentuk Karakter Bangsa”.

Ibu Kartini adalah salah satu patron idola kaum perempuan yang membentuk karakter bangsa Indonesia. Beliau pantang menyerah. Dan akhirnya, prestasi beliau telah membawa kaum perempuan Indonesia menjadi seperti sekarang ini. Dapat menghirup Pendidikan setinggi mungkin yang bisa diraih. Ada yang jadi dokter, insinyur, bankir, ahli hokum, guru dan lain sebagainya hingga tingkatan Doktor – yang sangat membanggakan.

Ibu Kartini lahir pada 21 April 1879, pada jaman dimana perempuan tidak berkesempatan untuk bersekolah. Jaman dimana perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan pasangan hidupnya. Jaman dimana Poligami menjadi suatu martabat lelaki. Perempuan tidak paham apa yang harus dicitakan. ‘Nerimo’, ‘sopan’ dan ‘hidup sederhana’ dipaksa harus dipunyai. Semua diatur oleh aturan budaya saat itu. Ingin jadi dokter, insinyur, perawat, dan lainnya tidak pernah terdengar pada saat itu. Sebab, menulis dan membaca saja tidak bisa. Tidak diberi kesempatan belajar. Bisa dibayangkan, bagaimana lemahnya perempuan saat itu. Bagaimana rapuhnya tiang negara. Yang diketahui hanya berdiam dirumah. Tetapi berkat perjuangan Ibu Kartini, semua berubah. Hingga kita bisa menjadi seperti sekarang.

Perjuangan Ibu Kartini sudah berselang 116 tahun yang lalu, sejak wafatnya beliau pada 17 September 1904, di usianya yang ke 25 tahun. Bayangkan! Seratus tahun-an adalah waktu yang dibutuhkan untuk merubah suatu bangsa!

Menjadi KEPO Nuklir? So PASTI.

Mengenang Ibu Kartini, tak lepas dari slogan terkini sebagai Emansipasi Perempuan. Perempuan berasal dari kata per ‘empu’ an, artinya kaum yang mempunyai kemampuan. ‘Multitalent’, punya banyak kemampuan. Bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai diri sendiri, sebagai ibu dari anaknya, sebagai istri, dan sebagai pemimpin kaumnya. Kaum perempuan Indonesia sekarang mempunyai tuntutan yang berbeda. Selalu ingin mengaktualisasi apa yang telah dipelajarinya. Salah satunya nuklir.

Mengapa? Banyak ahli nuklir perempuan di Indonesia. Dan pertanyaan yang selalu mengganggu adalah ‘Mengapa PLTU-Uranium atau PLTN di anak tirikan?’. Padahal Bauran Energi. Satu saja Indonesia punya PLTN, maka martabat Indonesia akan meningkat. Indonesia akan di cap menjadi negara yang menguasai teknologi kelas tinggi. Mampukah? Jawabannya adalah ‘MAMPU’! Negara sudah meng investasikan biaya yang tinggi untuk mengirim putra putri terbaiknya belajar ke luar negeri Jepang, Amerika, Korea, Perancis dan Amerika untuk menguasai ilmu nuklir. Kenapa harus takut!

PLTU-Uranium atau PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) adalah “RENJANA”. ‘Keinginan yang begitu kuat’. Sekarang menjadi Obsesi kelompok Perempuan Nuklir Indonesia. Tujuannya untuk mengangkat Bangsanya menjadi kuat Ketahanan Energinya. Menjadikan Indonesia menguasai teknologi tinggi suatu pembangkit energi listrik yang bersih polusi. Satu saja Cukup sebagai ‘Start Up’. Dengan mempunyai PLTN, maka investasi negara menyekolahkan SDMnya ke luar negeri tidak mubazir. Tidak harus yang komersial. Yang Non komersialpun akan mengangkat nama bangsa. Bisa dikelola oleh Lembaga Negara yang diberi kewenangan untuk itu. Listriknya bisa dipakai untuk melistriki kegiatan LitBang. Dan ini sebagai pembuktian bahwa SDM Indonesia mampu mengelola PLTN. Ilmu yang dipelajari tidak sebatas diatas ‘kertas’, tetapi langsung di implementasikan. Pembelajaran dari pengoperasian PLTN akan memberikan ‘cap’ tersendiri dari SDM Indonesia. SDM yang ‘laku jual’ di level teknologi tinggi PLTN.

Indonesia sudah menginjak menjadi negara yang men desain sendiri PLTNnya. Tipe generasi ke empat, tipe yang dianggap paling ‘selamat’ dari sisi desain. Dimana kejadian Fukushima tidak akan terjadi di tipe ini. Disebut sebagai Reaktor Daya Eksperimental (RDE). Jenis reaktor ini awalnya diciptakan oleh Jerman, kemudian saat ini dibangun di China dan akan menjadi PLTN pertama generasi ke-4 tipe pendingin gas di dunia. Kegiatan RDE terganjal implementasinya dari sisi pendanaan. Entah apa cerita indah politis yang dilukis oleh para pemberi kebijakan pendanaan. Sebegitu gencarnya meng anak tirikan PLTN, hingga non komersialpun dilibas. Kiat meningkatkan intelektual SDM perempuan nuklir Indonesiapun terganjal. Banyak SDM perempuan yang terlibat di kegiatan RDE.

Mengapa sebegitu gencarnya ketidak adilan Pembauran Energi ini di bumi tercinta ini? Mempunyai PLTN tidak akan mengusung PLTU Batubara. Keduanya sama sama PLTU. Keduanya mempunyai bahan dasar yang ada di Indonesia, Batubara dan Uranium. Jadi, tidak perlu ada yang di anak tirikan.

Negara maju seperti Jepang sudah mengurangi prosentasi penggunaan batubara sebagai bahan dasar PLTU nya. Karena tingkat polusinya tinggi, 6000 ton per MW per tahunnya. Dan perlu dipahami bahwa ketersediaan Batubara Indonesia akan habis dalam 80 tahun kedepan. Pembangunan PLTU Batubara di daerah Jepara, akan menjadi area pembangkit terbesar di asia, 4664 MW. Mengalahkan Paiton yang hanya 4000 MW. Mengapa tidak terbersit diselipkan satu PLTN di Jepara? Studi tapak sudah dilakukan sejak tahun 1965, dan terhenti pada saat 1998 – krisis moneter. Padahal rencana di 2000 an sudah beroperasi PLTN. Melihat gencarnya pembangunan PLTU Batubara di Jepara, tidakkah menjadi pembuktian adanya peng anak tirian PLTN. Investasi awal PLTN mungkin bisa hampir tiga kali lipat. Tetapi jika dihitung nilai ekonomi dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat, PLTN akan menjadi lebih murah dan sehat. Juga, dari sisi ketahanan negara, akan secara otomatis memberikan prestise yang lebih kuat.

Sedangkan mengubah budaya pembangkit, menjadi bersih dan sehat, seperti hal nya perjuangan Ibu Kartini – memerlukan waktu 100 tahunan untuk menjadi ‘terbiasa’ dan ‘stabil’. Oleh karena itu, jika tidak dimulai dari sekarang, maka Pandemik Energi akan terjadi pada 80 tahun mendatang. Dimana persediaan batubara Indonesia akan habis.

Cerita diatas adalah ‘Renjana’ Nuklir. Atau keinginan yang kuat terhadap Nuklir. Menciptakan terbentuknya “Emansipasi ENERGI Nuklir”. Kata Emansipasi sendiri artinya adalah memperjuangkan sesuatu yang dirasa paling ‘tertindas’. Nuklir. Tertindas bukan karena tidak layak, tetapi karena fobia ‘takut’ dan ‘mahal’.

Mengapa harus takut? Jepang yang mempunyai pengalaman di Bom Atom saja tidak takut. Jepang saat ini dalam upaya meng-operasikan kembali seluruh PLTN nya.

Mahal? Listrik hasil PLTN tidak mahal. Coba saja dihitung, mana yang lebih berisiko – PLTU Batubara atau PLTU Uranium? Polusi yang dikeluarkan PLTU Batubara sangat tinggi, membuat gangguan pernafasan dan kematian dini. PLTU Uranium (PLTN) bersih polusi. PLTN sangat mendukung menciptakan lingkup hidup sehat. Katanya ‘Bauran Energi’, kok masih meng-anak tirikan Uranium?

Jangan terlena dengan pemenuhan energi saat ini. Kondisi pengkondisian informasi publik terkait energi listrik yang menyatakan bahwa tinggal 5,2 juta penduduk saja yang belum terlistriki. Atau sekitar 2% penduduk Indonesia. Tetapi bagaimana dengan kesehatan udara yang tempat kita hidup? Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 10%, dimana rerata dunia tidak lebih dari 3%. Ini menunjukkan bahwa memang perlu adanya evaluasi kesehatan pernafasan dari penduduk Indonesia secara umum. Tingkat kontribusi polusi udara berasal dari PLTU Batubara total per tahun sebesar 168 juta ton, dan akan segera menjadi dua kali lipatnya dalam waktu dekat. Betapa akan sangat mencekik.

Inilah saatnya, adanya keadilan di sektor Energi. Berikan kesempatan Uranium unjuk kemampuan. Berikan juga Nuklir kesempatan menjadi HERO kelistrikan Indonesia. Batubara dan Uranium adalah saudara sekandung yang di kandung Ibu Pertiwi ini.

Siapa yang membuat ketidak adilan anak sekandung ini?

Batubara dan Uranium bukan saudara tiri. Oleh karena itu patut diperjuangkan kesetaraan hak-nya.

Bukan menjadi suatu hal yang tabu memperjuangkan persamaan hak Uranium atas Batubara. Oleh karena itu, Emansipasi Perempuan Indonesia masa kini menjadi KEPO Nuklir adalah suatu hal yang wajar!

Jadikan Indonesia suatu Bangsa yang DISEGANI di dunia. Bangsa yang menguasai Teknologi Tinggi. Jangan terbelenggu pada pemikiran kepentingan yang Oligarki. Sentuhlah hatinurani kita. Anak cucu dan cicit tidak akan berteriak saat ini. Tetapi langsung akan merasakan akibat Pandemi Energi yang lebih memilukan dibandingkan Pandemi Covid-19, di 80 tahun mendatang.

(#Kartini_Indonesia2020 #KepoNuklir)

Ditulis oleh : Dr. Geni Rina Sunaryo, Alumnus Tokyo University, Jepang

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA