by

Janji Capai Energi Hijau di 2060, Optimiskah?

Oleh: Geni Rina Sunaryo

KOPI, Jakarta – Pembentukan Organisasi Persiapan Pembangunan Pembangkit Nuklir atau NEPIO (Nuclear Energy Program Implementation Organization), disampaikan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), harus dipimpin langsung oleh presiden. Karena seluruh konsekuensi harus ditanggung oleh negara.

Waduh! Semakin menciutkan nyali untuk mewujudkan Net Zero Emisi Karbon (NZE) pada tahun 2060, dimana kontribusi pembangkit hijau yang bisa beroperasi penuh selama 24 jam, nuklir, pada besaran 35 GW.

Pertanyaan berlanjut pada, Apa mungkin Seluruh pembangkit yang tidak hijau bisa dipensiunkan di negeri ini dengan mudah? Bagaimana negosiasi dengan pengusaha dibalik pembangkit berbahan baku fossil?

Komitmen dunia terkait NZE, memberi tekanan tersendiri, bagi pemerintah Indonesia untuk peran serta mensukseskannya. Indonesia mempunyai peta jalan yang dibuat oleh kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dimana pada tahun 2060, pembangkit nuklir, mempunyai peran besar dalam menopang kesuksesan komitmen NZE. Dimana pada tahun 2049, sebesar GW, disamping pembangkit hijau lain berbasis energi terbarukan seperti surya, angin dan air.

Hal ini sebagai imbas rencana mempensiunkan pembangkit berbasis batubara secara bertahap. Dimana saat ini kontribusinya sekitar 60%.

Dari peta jalan sebelumnya, pemenuhan kenaikan penyediaan energi listrik sebesar 23% pada tahun 2025, sudah dipastikan tidak akan tercapai. Jangan sampai, rencana yang baru berbasis NZE, yang lebih berat tantangannya – menjadi pengalaman kegagalan kedua.

Pencapaian NZE, butuh dukungan terselesaikannya perundangan terkait Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Yang tentunya tidak mudah, karena harus bernegosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan.

Lalu apa faktor utama kesuksesan menerapkan peta jalan berbasis NZE tersebut?

Ada TIGA parameter prioritas. Pertama adalah DANA pendukung. Kedua adalah KETERSEDIAAN TEKNOLOGI, dimana termasuk Sumber Daya Manusia (SDM). Dan keTIGA adalah PEMBERANTASAN BUDAYA KORUPSI. Meski ada beberapa faktor lain yang juga dapat dipertimbangkan.

Pendanaan menjadi faktor penting, dan strategi yang diterapkan pemerintah adalah investasi asing, baik dengan metoda Build Own Operation (BOO) ataupun yang lainnya. Meski Indonesia mengkiblat pada Non Blok, tetapi tetap saja startegi politis negara, yang dikelola oleh kementerian luar negeri, sangat memegang peran dalam penandatanganan kerjasama dengan suatu negara yang berniat berinvestasi.

Selain itu, faktor kedua terkait ketersediaan teknologi yang matang untuk PLTN juga penting.

Kita tahu beberapa negara besar dan telah mengoperasikan PLTN serta membuat sendiri, seperti Rusia, Amerika, dan negara eropa lainnya, menjadi rujukan teknologi. Kematangan teknologi yang ditawarkan, ada berbagai macam tentunya, meski seluruhnya masih berbasis pada uranium sebagai bahan dasar dari pembuatan bahan bakarnya.

Persyaratan kematangan teknologi ini telah diatur oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) – yang mensyaratkan “harus ada fasilitas PLTN yang sudah beroperasi dengan selamat, paling tidak selama tiga tahun”, untuk meyakinkan bahwa jenis teknologi tersebut “dijamin” keselamatannya – untuk jenis PLTN komersial.

Istilah Komersial disini, juga mengatur pada “siapa yang behak mengoperasikannya”, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN). Oleh karena itu, investor asing diwajibkan bekerjasama dengan PLN dalam membangun dan mengoperasikan PLTN komersial di Indonesia.

Sedangkan PLTN yang “non komersial”, diperuntukkan guna pengembangan SDM, adalah otoritas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Yang pada saat ini jumlah SDM terkait PLTN sekitar kurang dari 200 personil, dimana rerata usianya antara 30~65 tahun. Bisa dibayangkan, pada tahun 2049 sudah banyak yang pension. Sehingga, untuk pengoperasian PLTN sebanyak 3 GW, maka SDM yang harus dimotivasi dan dan dididik mulai saat ini adalah yang masih duduk di taman kanak kanak. Oleh karena itu, membentuk sistim tukar pengalaman dari senior ke junior, menjadi tantangan tersendiri.

Oleh karena itu, berbagi pengalaman dan ilmu kepada generasi yang lebih muda, menjadi wajib, agar minat untuk berkiprah dalam Science, Technology, Engineering and Mathematic (STEM) dapat terangkat secara jumlah.

Mengapa? Karena dunia ini butuh banyak jumlah SDM yang dapat menjaga ketersediaan energi, khususnya yang kategori hijau, untuk menjaga lingkungan yang sehat bagi kehidupan manusia, agar dapat hidup lebih lama di bumi ini.

Padahal, potret SDM STEM, selain Information Technology (IT), jumlahnya sangat sedikit, dan semakin lama semakin menurun.

Rendahnya jumlah industri yang relatif masih minim, menjadi faktor yang sangat berperan. Juga, jika pelaksanaan pembangun PLTN, sesuai peta jalan, tidak serius, maka minat generasi muda untuk berkiprah di STEM terus menurun. Kemudian, siapa yang akan mengoperasikan PLTN di 2049? Padahal, operasi PLTN, mayoritas didukung oleh SDM STEM.

Oleh karena itu, usaha dalam meningkatkan minat generasi pelanjut untuk berkiprah di STEM harus giat dilakukan. Dan ini juga tidak mudah, perlu panutan, contoh dan terobosan metoda yang dapat menumbuhkan minat.

Usaha meningkatkan kualitas SDM, dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam kegiatan membuat Basic dan Detail desain RDE-10MW, dimana desain konsepnya didapat dari kerjasama dengan Rosatom Rusia. Berkat kegiatan ini, nama Indonesia masuk dalam buku International Atomic Energy Agency (IAEA) Advanced Reactor Information System (ARIS), sebagai salah satu negara pendesain PLTN. Selain keberhasilan mendapatkan dokumen paten, simulator PLTN, dan puluhan tulisan ilmiah terbit internasional, telah mengangkat martabat bangsa.

Jika, bisa dilanjutkan dengan terbangunnya fasilitas, pekerjaan validasi data terhadap unjuk kerja yang nyata, bisa dilakukan. Kepuasan kerja meningkat, kualitas SDM negeripun terangkat.

Oleh karena itu, upaya dalam mewujudkan mimpi membangun dan mengoperasikan PLTN non komersial mandiri, tak pernah pupus, meski tantangannya besar.

Lalu tipe PLTN seperti apa yang cocok untuk Indonesia? Land base (berdiri diatas tanah) dan non land base atau terapung.

Mengapa terapung? Memudahkan infrastruktur penyediaan Grid, yang sangat cocok untuk negeri dengan jumlah pulau yang terisolasi lebih dari tujuh belas ribu.

Makanya, tipe PLTN terapung seperti Akademi Lomonosov Rusia yang telah beroperasi selama 2 tahun, juga menjadi incaran teknologi. Jika hubungan politis mendukung, tipe ini bisa menjadi rujukan PLTN terapung komersial negeri ini.

Kesuksesan NZE perlu pengawalan serius, agar Indonesia tidak gagal lagi dalam pemenuhan energi bersih.

Penulis: Dr. Geni Rina Sunaryo, Ahli Nuklir BATAN, Alumni Tokyo University, Jepang

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA