by

Radiasi, Kanker, PLTN dan Antisipasi Kegelapan Energi

KOPI, Jakarta – Kanker menjadi penyebab kematian rangking DUA di Indonesia!! Setelah jantung.

Wow banget. Terkesiapkan? Tentunya iya. Apa saja yang menyebabkan ini? Gaya hidup yang sudah berubah total ataukah memang karena kemajuan teknologi kedokteran terkait penanganan kanker yang semakin canggih? Apalagi ditambah kemajuan teknologi, yang membuat dunia media sosial, semakin semarak? Sehingga beritanya mudah muncul ke permukaan.

Jawabnya : Kombinasi! Menurut pernyataan ahli ongkologi Indonesia Prof. Soehartati, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ditambah satu lagi penyebab, yaitu beredarnya informasi yang kurang tepat terkait pengobatan kanker, pungkasnya pada webinar Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) – Perempuan Bicara Nuklir #02, 6 Agustus 2020 yang lalu. Obat Herbal. Dimana masyarakat cenderung lebih happy mengkonsumsinya. Entah mungkin karena murah atau apa, tapi itu kenyatannya. Dan pastinya hanya akan membuat semakin buruk kanker yang dideritanya. Yang akhirnya berujung pada kematian.

Kanker memang menjadi momok yang sangat mencemaskan. Terutama kaum hawa, terkait kanker payudara. Seringnya tersadar, karena efek yang mulai terasa, setelah stadiumnya mendekati 4. Tertinggi. Pastinya langsung jatuhlah mental penderita. Rasanya sudah seperti di vonis mati. Ditengah kondisi stress dan pasrah, biasanya sangat mudah terkena rayuan. Maka masuklah nasihat yang menyesatkan terkait pengobatannya. Herbal. Akhirnya, pasien cenderung lari ke alternatif itu. Malah mempercepat kematian. Selain herbal, kadang ada yang ke dukun lho. Wow…dukun bisa apa? Tapi inilah potret masyarakat Indonesia.

Mengapa sih harus enggan ke dokter? Takut biaya mahal? Kan ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang membantu meringankan biaya. Sudah terjamin. Atau ada penyebab lain? Takut Radiasi? Mungkin iya. Hmm…yuk kita kupas info radiasi agar menjadi jelas.

Takut Radiasi?

Pergi ke dokter untuk berobat kanker, memang selalu dikaitkan dengan radiasi. Salah satunya. Walaupun terapi kanker di rumah sakit, dapat menggunakan bahan kimia (kemoterapi), selain radiasi. Kedua cara ini berdampingan. Dan, percaya saja mana yang terbaik pada dokter, ahlinya.

Mengapa di kemoterapi mau, tetapi di radiasi menolak? Padahal terapi radiasi itu sangat fokus langsung pada sel kankernya saja. Kemoterapi, tidak. Babat habis, tidak pilih kasih, mana sel kanker mana sel sehat. Semua kena. Terapi radiasi tidak. Besarnya dosis yang diberikan, juga jauh lebih kecil dari radiasi matahari, dan juga rontgen. Tidak takutkan jika di rontgen. Paparan radiasi dari rongent, banyaknya itu sama dengan matahari, 0,4 mSv per tahun. Jadi, amanlah. Apalagi terapi radiasi untuk kanker, yang jauh lebih kecil paparan dosisnya.

Di Indonesia sendiri sudah lumayan banyak fasilitas radiasi guna terapi kanker. Salah satu alat junjungan Indonesia untuk membunuh kanker, adalah Linear Energy Transfer (LINAC). Sudah cukup tersebar dan terdistribusi di seluruh Indonesia. Jumlahnya fantastik lho, 70 an.

Balik ke cerita radiasi. Mengapa masyarakat masih takut dengan radiasi. Karena yang terpatri di ingatan sebagian besar masyarakat, radiasi adalah bom nuklir. Dan akan mengakibatkan, ledakan besar, mutasi gen yang dapat membuat mandul, berbahaya dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Pernyataan ini dikuatkan oleh hasil survey singkat yang dilakukan oleh dokter Ayu Rosemeilia Dewi dari rumah sakit kanker Darmais, pada sejumlah responden. Walaupun Sebagian responden, sudah paham manfaat positif dari radiasi. Seperti untuk pembangkit listrik, bisa menghasilkan beras yang pulen, menghasilkan bibit padi yang bisa panen 3 kali setahun dan lain sebagainya. Tapi fobia ketakutan bom atom masih mendominasi dan melekat di masyarakat.

Isu bom atom dengan radiasinya memang dipakai dan menjadi senjata utama oleh kelompok anti Nuklir untuk menolak PLTN. Tapi, coba lihat, efek negatifnya, berimbas pada ketakutan masyarakat terhadap manfaat positif radiasi untuk pengobatan kanker. Akhirnya mereka menolak untuk di terapi menggunakan radiasi, dan berujung pada jumlah korban meninggal karena kanker semakin meningkat. Sekarang menempati posisi kedua di data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebagian penyebabnya karena takut radiasi. Padahal, jika mau saja, kemungkinan tertolong untuk hidup lebih lama menjadi lebih besar.

Radiasi BUKAN penyebab Kanker

Ada bukti lain bahwa radiasi bukan penyebab kanker. Hasil pemantauan kesehatan 3 kejadian akbar terkait Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Three Miles Islan (TMI), Chernobyl dan Fukushima. Hanya 200 korban jiwa selama 60 tahun beroperasinya PLTN didunia, yang berjumlah 450 an. Bukan karena kanker. Sebagian besar karena penyakit diabetes, tekanan darah tinggi dan lainnya. Penyakit biasa yang diderita.

Kalau kita bandingkan jumlah korban jiwa, maka kejadian PLTN menempati urutan terendah. Hanya 3 korban per tahun. Bila kita bandingkan dengan kejadian lain, seperti kecelakaan mengemudi yang memakan korban 410.000 kali lebih banyak dari PLTN. Kecelakaan kerja, 690.000 kali lebih besar. Dan akibat polusi udara, 1.230.000 kali jauh lebih rakus memakan korbannya per tahun, di dunia. Jadi PLTN benar benar telah di desain amat sangat aman dan sangat memperhatikan kesehatan manusia. Bebas polusi. PLTN tidak menyebabkan korban jiwa karena polusinya. Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan PLTN, baik dari polusinya maupun dan radiasinya.

Isu kecelakaan PLTN yang dapat menyebabkan kanker tiroidpun perlu diluruskan. Mengapa kanker Tiroid? Karena kanker tiroid adalah jenis kanker yang paling digembar gemborkan sebagai primadona jahat, jika terjadi kecelakaan PLTN. Sekarang berita ini sudah basi. Sudah menjadi hoax. Kemajuan teknologi kedokteran dalam menangani kanker tiroid hanya menyisakan kegagalan 1%. Jadi 99% pasti akan sembuh.

Jadi mengapa harus masih takut radiasi? Jangan ragu berobat kanker menggunakan terapi radiasi di rumah sakit.

Jika kita bicara radiasi, keseharian kita sudah bermandikan radiasi. Dari matahari. Dimana paparan radiasi matahari adalah 2000 kali lebih besar dari PLTN. Dan kita tidak bisa hidup tanpa matahari. Jadi, radiasi matahari membuat kita sehat.

Radiasi matahari yang kita terima dalam keseharian kita untuk hidup, baru bisa tersaingi jumlahnya oleh PLTN setelah kita membangun 2000 unit dengan skala 1000 megawatt. Itupun, total paparan radiasinya, masih seper sepuluh (1/10), tepatnya 1/12,5 dari besaran yang diijinkan menurut standar normal untuk kesehatan. Super aman kan.

Jadi, sudah basi menggunakan isu radiasi untuk menggemboskan pembangunan PLTN di Indonesia. Atau meletakkan di rencana pembangunan bangsa ini dengan kata kata bahwa Nuklir adalah opsi terakhir untuk pembangkit listrik di Indonesia. Selain radiasi memang bukan penyebab kanker yang bisa menelan korban jiwa, stok batu bara Indonesia akan habis dalam 10 hingga 15 tahun kedepan. Berbasis data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Yang disampaikan oleh Doktor Evita Legowo pada webinar Perempuan Bicara Nuklir #01, 23 Juli 2020 yang lalu.

Kemudian bagaimana dengan listrik Indonesia pada saat itu, jika batubara habis? 60% listrik Indonesia berasal dari batubara. Sisanya minyak bumi, gas dan air. Indonesia sendiri sudah peng impor minyak dan Gas sejak lama. Bisa dibayangkan imbas buruk dari Pandemi Energi, jika tidak segera dibangun pembangkit yang berkapasitas besar dan bersih polusi di Indonesia.

Mengapa harus bersih dari polusi gas rumah kaca? Kita perlu hidup sehat, dengan udara bersih. 1 Megawatt pembangkit berbasis batubara menghasilkan 6000 ton polusi gas rumah kaca. Wow… Lihat lagi deh perbandingan korban jiwa akibat polusi udara, yang mencapai 1,2 juta lebih banyak dibandingkan dengan korban PLTN. Tapi memang tidak begitu dirasakan di kota besar.

Wacana membersihkan kota besar dari polusi dengan menghimbau untuk beralih ke mobil listrik, adalah ide cemerlang. Tetapi, dari mana listrik untuk menge chargenya? Membangun Pembangkit batubara lagikah? Bisa dibayangkan polusi udara di daerah sekitar pembangkit batubara.

Atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT)? Semoga sudah pada paham bahwa nuklir itu masuk dalam definisi energi Baru. Sedangkan energi terbarukan itu adalah energi yang tidak akan pernah habis, seperti matahari dan angin.

Kedengarannya memang keren. Matahari kan tidak akan pernah habis. Tapi, secara efektif, hanya bisa 4 jam dalam sehari. Belum jika musim hujan. Padahal kebutuhan listrik itu 24 jam sehari. Owalah… Sudah gitu, harga listriknya masih mahal sekali. Karena memang pasar energi surya masih sedikit. Jadi harga panel surya juga masih sangat tinggi. Berbeda dengan di China, mereka sudah produksi sendiri dan skalanya bisa sampai 1000 megawatt. Sedangkan di Indonesia hanya 40 megawatt, 1/4 nya Cina saja. Inilah yang membuat harga listrik dari energi surya di Indonesia, menjadi 50 kali lebih mahal daripada di China. Makanya proyek EBT yang di elu elukan akan menutupi kebutuhan energi Indonesia, masih jauh dari keberhasilan.

Bagaimana dengan angin? Kadang bertiup, seringnya tidak. Pastinya, EBT tidak bisa menangkis pandemi energi di 10 tahun mendatang kalau tidak cepat dibangun PLTN di Indonesia. Jangan katakan bahwa hampir 90% Indonesia sudah benderang. Ini hanya berbasis pada kuota rumah tangga, dan kapasitas supplai listrik yang sangat minimal. 450 watt. Atau mungkin lebih kecil. Yang tinggal dikota besar seperti jabodetabek, tidak akan merasakan krisis listrik. Tapi saudara kita yang di perbatasan Kalimantan contohnya, masih gelap. Impor listrik dari Malaysia. Bisa dibayangkan jika, nantinya menjadi ibukota negara, maka harus mandiri dalam supplai energi listriknya. Tidak boleh ada pandemi energi.

Menjadi negara INDUSTRI

Belajar dari pandemi korona ini. Sudah saat nya Indonesia tidak bergantung pada negara lain. Apalagi meng import listrik dari Malaysia untuk ibukota negara yang baru. Harus segera bangkit menjadi negara industri. Melebihi swa sembada pangan. Tapi sampai swa sembada papan dan energi. Paling tidak bisa menutupi kebutuhan keseharian masyarakatnya sendiri.

Bukan memenuhi kebutuhannya dengan cara hanya membeli dari negara lain. Akan lemah. Mudah digoyang stabilitasnya. Salah satu contoh konkrit swa sembada pangan, mari gunakan bibit unggul yang bisa panen 3 kali setahun. Menggunakan bibit dari hasil penelitian dan pengembangan anak bangsa. Yang saat ini masih terlindas dengan kebijakan impor beras. Ujungnya, kantong petani tidak pernah menjadi tebal.

Hilangkan pola pikir, mengapa harus memproduksi sendiri, jika beli saja sudah murah. Di krisis imbas pandemi korona seperti ini, sudah terbukti dan terasa, bahwa harga bisa mendadak menjadi mahal. Karena kebutuhan yang meningkat, tetapi barangnya langka. Harus di impor. Wadow…

Kemandirian Bangsa

Sudah saatnya, mengangkat kemandirian bangsa, terutama kemandirian energi. Gurita bisnis batubara, minyak dan gas, berkenan menyisakan waktunya untuk berpikir menolong Indonesia mulai saat ini. Membangun pembangkit yang kapasitas besar dan bersih polusi. Karena energi adalah pelumas seluruh gerak industri dan kehidupan. Mencegah terjadinya pandemi energi, akan jauh lebih murah dan bisa menolong bangsa ini secara dini. Dibandingkan dengan memadamkan pandemi itu sendiri.

Pemadaman pastinya akan jatuh korban terlebih dahulu, karena krisis sudah terjadi.

Tanpa lisrik, tidak bisa nge charge HP, memasak, menyeterika, menjahit, pabrik pabrik akan berhenti beroperasi dan lain sebagainya. Rumah sakit akan lumpuh. Tentunya pasien terancam pengobatannya. Korban jiwa akan meningkat. Berujung pada keguncangan kesehatan dan perekonomian. Kalau sudah demikian, pastinya akan ricuh. Kriminalitas akan naik. Karena orang butuh bertahan hidup. Inilah krisis yang jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan krisis karena pandemi korona.

Kesimpulan yang bisa ditarik, Jangan pernah membodohi masyarakat lagi dengan isu radiasi, untuk menjadi anti PLTN. Sudah terbukti berimbas pada penangan kanker. Semua negara maju dan besar, adalah negara yang berbasis pada industri yang mandiri. Dan, tidak ada yang pernah tidak mempunyai PLTN.

Mari kita jadikan negara ini kaya dan sehat. Seperti hal nya Jepang. Masyarakatnya, sebagian besar hidup tidak kekurangan, tapi tidak berlebih. Negaranya yang kaya. Fasilitas umumnya, seperti rumah sakit dan transportasi publik, super canggih. Berpangku pada hasil teknologinya sendiri. Karena pola pikirnya adalah menghasilkan suatu produk terbaik, berbasis dari kemampuan teknologinya sendiri, dan bisa dijual.

Tipiskan berpikir hanya menjadi negara peng impor. Mari kita bangun bangsa ini menjadi bangsa yang kuat industri dalam negerinya. Untuk itu, suplai lah dengan energi yang cukup untuk mendukungnya. Hanya PLTN yang bisa menopang ini semua. The only, PLTN yang bisa mencegah terjadi krisis energi listrik di 10 tahun mendatang.

Sekarang atau tidak sama sekali, yang berarti menantang Pandemi Energi dan keruntuhan bangsa!

Salam sehat…..

Penulis : DR Geni Rina Sunaryo, Alumnus Tokyo University, Japan.

#radiasi
#kanker
#PLTN
#pandemi_energi

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA