by

Ekonomi Indonesia di Tengah Covid-19

Oleh: Dr. Amir Uskara, MKes, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, DPR RI

KOPI, Jakarta – Ekonomi tersengal. Corona menggigit. Dolar melabrak. Akankah Indonesia terjungkal?

Saat ini, Indonesia seperti orang jatuh tertimpa tangga. Lalu tangganya dilindas mobil. Kondisinya sakit karena triple krisis. Semua ini membuat Indonesia limbung.

Kasus pertama yang mengguncang perekonomian Indonesia di awal periode kedua Jokowi adalah terkuaknya megaskandal PT Asuransi Jiwasraya. Semula, Jiwasarya tampak seperti aman-aman saja. Lama-lama, bangkai busuk Jiwasraya tercium juga. Dan pemerintah Jokowi terkena imbasnya.

Bayangkan, perusahaan asuransi negara yang berdiri sejak zaman Belanda, 1859, tiba-tiba nyaris bangkrut. Padahal selama ini Asuransi Jiwasraya telah dianggap sebagai flag carrier paling berkibar dalam bisnis perasuransian di Indonesia.

Apa yang terjadi? Hampir-hampir sulit dipercaya. Jiwasraya tak mampu membayar polis 312.345 nasabahnya dan 46.457 peserta JS Saving Plan (JSP).

JSP adalah produk industri keuangan Jiwasraya yang menggiurkan investor karena memberikan keuntungan 9-13 persen pertahun. Luar biasa. Jauh di atas bunga deposito yang berkisar 6-7 persen pertahun. Sampai-sampai banyak orang asing asal Korea Selatan berinvestasi dengan membeli JSP. Hasilnya: Jiwasraya tak mampu membayar uang investor yang jatuh tempo. Akumulasi “permainan Jiwasraya” itu menyebabkan perusahaan asuransi pelat merah tersebut rugi Rp 16 Trilyun.

Dampak lanjutnya, jelas: Jiwasraya tak mampu membayar klaim asuransi yang jatuh tempo. Menurut majalah Parlementaria (edisi 181 tahun 2021), kerugian Jiwasraya akibat rantai krisis itu, total mencapai Rp 27,2 Trilyun sampai November 2019. Karena nilai saham Jiwasraya ambruk.

Anehnya, JSP yang memicu kerugian berantai itu dulu disetujui OJK rezim Muliaman Hadad dan bekerjasama dengan sejumlah bank plat merah dan swasta (BTN, Bank ANZ, Bank QNB, BRI, Bank KEB HANA, Bank Victoria, dan Bank Stanchart Indonesia). Demikian besarnya megakorupsi itu, Arteria Dahlan dari Komisi III DPR RI, menyebut skandal Jiwasraya merupakan kejahatan kemanusiaan dan mengancam kedaulatan negara.

“Penegak hukum harus serius sekali membongkar megaskandal Jiwasraya dan menangkap orang-orang yang bertanggungjawab. Kembalikan hak-hak investor dan nasabah tanpa kompromi. Pemerintah harus segera menyelesaikan kasus ini. Jika tidak, akan merembet panjang dan berdampak sistemik pada sistem keuangan nasional,” ujar Arteria.

Hal yang sama dinyatakan ekonom Faisal Basri. Menurut Faisal Basri, meski share industri asuransi hanya satu persen dalam sistem keuangan nasional, tapi pengaruhnya besar dalam hal kredibilitas Indonesia. Dalam sistem ekonomi terbuka seperti sekarang ini, kredibilitas berpengaruh besar terhadap kinerja pasar modal dan investasi. Jika kredibilitas hancur, banyak uang dan investor kabur dari pasar modal. Dampaknya, mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

Persoalan yang muncul kemudian: Ternyata kerugian itu tak hanya menimpa Jiwasraya. Tapi juga Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Menurut Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD, kerugian Asabri mencapai Rp 10 T. Meski hal itu ditepis manajemen Asabri, isu yang sudah viral itu, sulit diblok. Dampaknya, kredibilitas sistem keuangan nasional terdegradasi.

Untuk mengatasi kasus Jiwasraya, pemerintah menetapkan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT BPUI, Persero) sebagai induk perusahaan asuransi dan penjaminan yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BPUI mewadahi PT Asuransi Jasa Raharja, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) dan semua anak perusahaan tersebut.

Solusi dengan Bahana — bila melihat skenarionya — memang bagus. Minimal bisa meyakinkan investor dan menghilangkan keresahan nasabah. Apakah Bahana nantinya bisa mengatasi kerugian Jiwasraya sungguh-sungguh? Ini yang patut kita pertanyakan. Kita berharap, nantinya Bahana tak hanya sekedar jadi instrumen rekayasa pembukuan (sehingga Jiwasraya kelihatan pulih), tapi juga benar-benar menjadi instrumen yang solutif secara ril. Soalnya bukan rahasia lagi, banyak kasus kerugian di BUMN yang “terselesaikan” dengan rekayasa pembukuan. Ini jangan sampai terjadi di Jawasraya setelah diambil permasalahannya oleh Bahana. Begitu pula kasus Asabri. Hendaknya bisa diselesaikan secara ril. Di mana permasalahannya, siapa yang bertanggungjawab. Semuanya harus diselesaikan secara adil.

Majalah Tempo (edisi 9-15 Maret 2020), misalnya, membeberkan kompleksitas kasus Jiwasraya dari berbagai sisi. Termasuk keterlibatan bisnis kroni yang terlindungi kekuatan politik. Tempo mensinyalir, jika tak ada ketegasan hukum, kasus Jiwasraya solusinya akan semu. Big bosnya tak tersentuh. Sehingga solusinya ngambang. Kita berharap sinyalemen Tempo itu tidak terjadi. Karena ketegasan hukum yang tanpa pandang bulu.

Di tengah-tengah proses penyelamatan industri asuransi milik negara itu, tetiba datang kasus pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Tidak seperti kasus Jiwasraya dan Asabri, pandemi Covid menyeret perekonomian Indonesia ke kubangan derita tanpa bisa dihindarkan. Tiga mitra dagang terbesar Indonesia, Cina, AS, dan Jepang, keteteran ekonominya akibat serangan corona. Ini karena kematian jiwa manusia adalah zeo tolerant, sehingga negara-negara mitra ini fokus menghadapi sengatan Covid mematikan itu.

Dampaknya luar biasa. Perekonomian global mengalami pelambatan. Perekonomian Cina terpukul. Berdasarkan laporan Bloomberg, penjualan mobil Cina turun 80 persen, resto dan ritel ambruk, dan pariwisata hancur. AS dan Jepang juga dilanda resesi. Lalu lintas barang kini nyaris mandeg. Dampak corona, kata Kenneth Rogoff, profesor ekonomi Harvard University, akan segera mengakibatkan resesi global.

Bagaimana Indonesia? Indonesia yang fondasi ekonominya belum kuat, niscaya akan terseret resesi global itu. Dalam kondisi seperti itu, tanda-tanda pelemahan ekonomi nasional mulai terlihat. Nilai dolar mulai naik, bahkan menembus batas psikologis Jakarta. Ini menggambarkan, dunia internasional meragukan kemampuan Indonesia mengatasi krisis Covid-19. Akibat Covid, Menkeu Sri Mulyani memprediksi ekonomi Indonesia — jika kondisi wabah terus meluas– akan mengalami pertumbuhan minus 0,4 persen. Kondisi ini, jika terjadi, benar-benar memilukan.

Tentu saja sebagai bangsa yang punya pengalaman membebaskan diri dari penjajahan teritorial dan penjajahan finansial, Indonesia harus tetap optimis. Indonesia akan bisa mengatasi krisis. Bangsa Indonesia harus bisa mengalahkan krisis Covid dan ekonomi dengan jalan mengerahkan seluruh kemampuan rakyat yang 270 juta jiwa ini untuk membalikkan suasana.

Tanda-tanda penggalangan kerjasama seluruh warga Indonesia untuk mengatasi krisis Covid makin menguat. Kita lihat, yang kuat membantu yang lemah. Yang muda membantu yang tua. Yang kaya membantu yang miskin. Semua warga ramai ramai menyumbangkan tenaga dan harta untuk negara agar mampu mengatasi wabah corona. Ini fenomena menggembirakan. Kembalinya nilai gotong royong yang nyaris hilang di persada nusantara membuat kita yakin, Indonesia akan bisa mengatasi krisis corona. Mari kita ambil hikmah dari krisis Covid ini untuk membangun Indonesia secara lebih adil dan manusiawi dalam semua hal. Semoga!

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA