by

Fatin dan Click of Civilization

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan Senior
Simon Syaefudin

KOPI, Bekasi – Masih ingat Fatin Sidqia Lubis yang pernah menjuarai X Factor Indonesia (XFI) Mei 2013? Sampai hari ini, aku masih sering ngeklik YouTube lagu “Grenade” yang pernah dinyanyikannya di acara XFI tersebut.

Dengan wajah dan gaya yg lugu, Fatin mampu mempesona semua juri XFI saat itu seperti Ahmad Dhani, Rosa, Bebi Romeo, dan Mulan Jamilah. “Fatin, kamu jangan pemalu gitu. Ahmad Dhani suka dengan suaramu,” kata musisi dan komposer top itu.

Dhani benar. Fatin akhirnya membetot perhatian publik. Tak hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Dan ajang XFI itu akhirnya berujung dengan kejutan X: Fatin Shidqia Lubis, gadis belia berjilbab, 16 tahun, yang pemalu, lugu, dan imut itu menang. Sampai hari ini, Fatin tercatat sebagai pemenang XFI termuda di Indonesia.

Dalam pengumpulan SMS, Fatin berhasil mengungguli perolehan SMS Novita Dewi, seorang penyanyi yang matang dengan teknik vokal dan penampilan yang prima. Tapi, tampaknya pemirsa lebih kesengsem melihat gaya Fatin yang lugu, imut, dan asli sehingga SMS membanjir ke arah gadis berjilbab itu. Tepat apa kata musisi Ahmad Dhani: banyak orang yang vokalnya bagus, gayanya bagus, tapi sedikit yang unik dan membuat orang terperangah.

Itulah yang ada dalam diri Fatin sehingga dia pantas menjadi juara XFI pertama. Apa yang menarik dalam diri Fatin selain suaranya yang unik?

Ia mempertahankan jilbabnya di tengah kompetisi tarik suara yang menampilkan kultur pop Barat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslimah. Seorang wanita berjilbab dan dididik agama secara ketat oleh keluarganya, ternyata mampu mengembangkan inklusivitas kultural Islam sehingga menembus sekat-sekat yang memisahkan budaya Islam dan Barat.

Ketika Fatin menyanyikan lagu “Grenade”-nya Bruno Mars dan kemudian menjadi perbincangan masyarakat cyber di YouTube, jagat musik internasional pun geger. Jutaan orang, dari Barat dan Timur, terkagum kagum dengan suara si imut Fatin. Fatin membawakan lagu “Grenade”—pinjam ungkapan musisi Ahmad Dhani—lebih bagus dari penyanyi aslinya, Bruno Mars.

Barangkali itulah yang menyebabkan George Levendis melalui akun Facebook dan Twitter-nya @HellasGL menulis: ”Fatin making an impact in XF Indonesia!”. George Levendis adalah sahabat Simon Cowell (pendiri ajang X-Factor).

George juga seorang eksekutif di perusahaan rekaman dan Syco TV, yang merupakan milik bersama antara Simon Cowell dan Sony Music Entertainment.

Berbagai pujian juga muncul ketika Fatin menyanyikan lagu “Stay” milik Rihanna dengan gaya yang unik. Rihanna menyanyikannya dengan gaya pop plus busana minimnya yang seksi, sedangkan Fatin menyanyikannya dengan gaya pop plus busana muslimahnya yang elegan.

Jagat musik pop pun tercengang, sampai-sampai wartawan Prancis menyatakan: fenomena Fatin sangat unik karena dia memakai busana religius yang tak pernah dipakai penyanyi mana pun di ajang kompetisi dunia selevel X Factor.

Sebuah pertanyaan menarik, apakah fenomena Fatin menunjukkan dunia Islam sedang mengalami perubahan?

Jawabnya: selain akidah Islamiyah, rukun Islam, dan rukun iman, Islam sejak dulu mengalami perubahan kultural yang terus menerus. Pinjam kata-kata almarhum budayawan Kuntowijoyo: Budaya Islam telah berubah dan akan terus berubah karena Islam sangat fleksibel. Kunto menggambarkan perubahan besar itu dari kelahiran Islam di Makkah, kemudian besar di India, Eropa, dan akan mengalami kejayaan di Indonesia. Seterusnya, akan jaya di seantero dunia.

Bayangkan, ketika Islam masuk ke Jawa, Wali Songo menciptakan atribut-atribut kultural yang sama sekali berbeda dengan Islam Arab dan Islam Eropa. Wali Songo mem-blending budaya Arab, India, dan budaya lokal untuk memasarkan Islam di Jawa. Hasilnya: Islam berhasil menembus ”pasar” masyarakat Jawa pinggiran, masyarakat Jawa pedalaman, sampai masyarakat priyayi Jawa di keraton- keraton yang dikeramatkan dan eksklusif.

Islamisasi Jawa yang terus berkembang sampai hari ini tampaknya sulit dipahami para ilmuwan Barat, bahkan tak berhasil diidentifikasi oleh ilmuwan sekaliber Clifford Geertz. Geertz dalam buku monumentalnya, Religion of Java, misalnya, mengategorikan orang Jawa dalam tiga kelompok—santri, priyayi, dan abangan. Masing-masing terpisahkan karena mempunyai karakter-karakter yang tak bisa saling menyatu. Padahal, orang Jawa masa kini, dengan tuntutan modernitasnya, termasuk dalam menjalankan Islam, masih tetap menghormati budaya-budaya nenek moyangnya.

Geertz mungkin akan kaget jika melihat ada gamelan dan keris di rumah tokoh-tokoh Islam modernis. Sebab simbol-simbol seperti itu khas priyayi Jawa.

Di PDIP, partai yang selama ini diidentifikasi sebagai partai abangan, ada lembaga Baitul Hikmah yang di dalamnya duduk tokoh-tokoh modernis Muhammadiyah. Dalam Pemilu 2014, PDIP bahkan secara berani mendudukkan tokoh Islam modernis sekaligus sufistis dan Syiah, Jalaluddin Rakhmat, untuk anggota DPRI. Di sanalah letak ”X” dunia Islam Indonesia: mampu mengasimilasikan berbagai budaya dengan mulus dan akomodatif.

Di masa lalu, Sunan Bonang, misalnya, menciptakan tembang “Ilir-Ilir” dan “Tombo Ati” yang sangat etnik. Kedua tembang ini dulu menjadi ”lagu wajib” santri kampung di pedalaman Jawa untuk menunggu kedatangan imam salat waktu magrib, isya, dan subuh.

Tembang ciptaan Sunan Bonang ini di kemudian hari direvitalisasi oleh Emha Ainun Najib dan dipopulerkan oleh penyanyi Opick. Sehingga kini nyaris menjadi ”lagu wajib” dalam acara-acara pengajian di Ibu Kota, sinetron religi, dan gelar budaya Islam di seantero Indonesia.

Dari perspektif inilah, kita melihat fenomena Fatin. Gadis berjilbab itu berhasil menyanyikan lagu “Grenade” dengan apik sehingga pemilik lagu aslinya, Bruno Mars, mengacungkan jempol. Ketika Fatin menyanyikan lagu ikon pop Rihanna dengan sangat bagus, tak hanya pencinta musik yang gempar, tapi juga masyarakat awam. Fatin berhasil mengawinkan ikon pop dan ikon muslim dengan jilbabnya— sesuatu yang nyaris tak mungkin terjadi di dunia Timur Tengah dan dunia Barat.

Tapi, di Indonesia, melalui Fatin, dunia muslim mampu menembus tembok-tembok kultural Barat yang keras dan kuat. Orang semacam Huntington niscaya akan terkejut jika melihat Fatin yang berjilbab menyanyikan lagunya Rihanna dengan elegan tanpa kehilangan modernitasnya. Ini artinya, batasan dunia Islam dan dunia Barat yang ”ditembok” secara amat kuat oleh Huntington menjadi runtuh dalam panggung X-Factor. Semua itu bukti bahwa generasi baru Islam tidak tunduk pada batasan-batasan kultural yang oleh Huntington diramalkan akan mengalami benturan (clash of civilization). Huntington mungkin tak pernah memprediksi jika seorang muslimah yang tinggal di negeri sejuta masjid mampu menyanyikan lagu-lagu yang dianggap sebagai simbol kultur pop Barat tersebut.

Dalam konteks inilah kemenangan Fatin menjadi amat berarti bagi Islam kultural. Bukan sekadar jilbab dan keunikan suara Fatin yang membuat orang kesengsem, tapi secara kultural penampilan Fatin telah berhasil meruntuhkan tembok-tembok identitas yang selama ini dibangun para fanatikus dunia Barat dan fanatikus dunia Islam.

Tepat sekali bila ajang XFI ditutup dengan lagu “We are The World”-nya, Michael Jackson, karena memang begitulah yang seharusnya terjadi pada umat manusia. Akhirnya umat Islam harus selalu optimistis dengan dinamika kultural yang terus berubah. Jika saat ini panggung peradaban sedang dikuasai Barat, kata Kunto, percayalah pada masa depan panggung itu akan kembali dikuasai Timur.

Yang dimaksud Timur oleh Kunto adalah Indonesia dengan kultur Islamnya yang unik yang merupakan blend dari berbagai kultur di dunia, dari Timur Tengah, Eropa, Hindustan, China, Jawa, dan kultur-kultur lokal lainnya.

Itulah ”Xislam Factor Indonesia” masa depan. Fatin sudah memulai langkah pertamanya di tahun 2013. Kini, di tahun 2021, dari Indonesia muncul penyanyi muda berjilbab Vanny Vabiola yang suaranya di YouTube dipuji lebih bagus dari Celin Dion; Alif Bata yang petikan gitarnya dikagumi gitaris empat benua. Didi Kempot yang lagu-lagi etnik Jawanya menembus Eropa dan Amerika. Dan terakhir, Puja Syarma yang lantunan lagu-lagu Arab dan Indianya mempesona publik Arab dan Hindustan.

Di masa depan, niscaya makin banyak lagi generasi muda Islam yang akan menambah X Factor inklusivitas Islam. Sehingga ramalan Huntington tentang Clash of Civilization antara Barat dan Islam tidak terbukti. Kelak, alih-alih terjadi Clash of Civilization antara Islam dan Barat, yang terjadi adalah Click of Civilization. Islam dan Barat akan menyatu dengan “click” tauhid yang sama: Beriman kepada Tuhan Yang Maha Cinta. Cinta pada Kemanusiaan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA