by

Agus, The Bacots, dan Opick

KOPI, Bekasi – Ramadan tinggal menghitung hari. Grup musik religi sudah antri di tivi.

Tapi tahukah anda, tokoh penting di balik musik reliji yg melejitkan Opick dengan Tombo Ati dan Aa Gym dengan Jagalah Hati yang amat ngetop itu?

Ya, Agus Idwar Jumhadi (AIJ) orangnya. Guswar, panggilan akrab AIJ, adalah orang yg punya obsesi besar: musik dan lagu reliji harus mendapat apresiasi di masyarakat. Setara lagu pop n dangdut.

Sedikit info. Agus pernah sekantor dgnku di Buncit 37, Republika. Belum lama ini, secara kebetulan, aku bertemu dg Agus di kantor MUI, Jakarta. Ia menjabat ketua departemen seni budaya MUI. Agus bertukar buku dgnku. Aku memberi Agus buku karyaku, Pak AR Sang Penyejuk; Agus memberiku buku karyanya, Sukses Berdakwah di Jalur Musik Reliji.

Setelah aku baca buku karya AIJ, aku japri dia. “Gus sebenarnya elo lebih hebat dari Opick.”

“Baru Mas Simon yang tahu dan mengerti hal itu,” katanya sambil menempelkan emoticon wajah tersenyum di WA-ku.

Guswar adalah salah satu tokoh musik reliji — lazim disebut nasyid — pasca Bimbo, Ebiet, dan Kyai Kanjeng. Mulanya, Agus bersama Erwin dan Likman, semuanya mhswa Fisip UI, mendirikan grup musik reliji, nasyid Snada. Selama 10 tahun Snada malang melintang di blantika musik “kolak”.

Musik kolak? Ya, karena — tulis Agus — nasyid hanya ramai di bulan Ramadhan. Bulan penuh kolak.

Tapi jangan nyinyir lo. Snada pernah mendapat Platinum Award dari Blackboard karena CD-nya laku di atas 150 ribu keping tahun 2002.

Prestasi The Bacots lainnya adalah memopulerkan lagu Neo Salawat (salawat dalam berbagai macam bahasa) dan lagu Jagalah Hati karya Aa Gym. Popularitas lagu Jagalah Hati terdongkrak karena popularitas Aa. Dan sebaliknya. Saling mendongkraklah!

Oh ya, kenapa Snada disebut The Bacots? Tulis Agus Idwar dalam bukunya, The Bacots adalah julukan nyinyir musisi Indonesia kepada Snada yang musiknya pakai bacot, cangkem, atau mulut. Musik bacot ini di Barat terkenal dengan sebutan acapella.

Mau tahu kenapa musiknya pakai bacot? Personil Snada dan konsumen terbesarnya adalah orang-orang yang mengharamkan instrumen musik. Snada muncul dari kaum tarbiyah di kampus-kampus, yang kemudian menjadi basis utama PKS.

Dalam bahasa tukang nyinyir di medsos, konsumen Snada mayoritas kaum kadrun yang mengharamkan musik. Mereka, ideologinya mencomot Ikhwanul Muslimin yang anti-Barat. Tapi aneh: musiknya menjiplak acapella yang lahir di Barat.

Jadi kaum islamis pengikut aliran antimusik sebetulnya tidak benar-benar antimusik dan antilagu kafir. Faktanya, mereka menyukai acapella, aliran musik bacot yang lahir dari rahim Kristen di Barat.

Secara harfiah istilah musik a cappella berarti “sesuai gaya kapel”. Kapel (chapel) adalah tempat berdoa orang-orang Kristen. Semacam gereja kecil. Kalau di Cirebon, namanya tajug.

Musik acapella berkembang sebagai musik religi Kristiani. Lagu-lagu Gregorian, misalnya, biasa dinyanyikan tanpa diiringi instrumen musik apapun. Musiknya keluar dari cangkem.

Setelah Snada moncer, Agus justru keluar, ingin mandiri. Lalu Agus menjalin kerjasama dengn berbagai kelompok musik reliji di tanah air. Bahkan dengan nasyid asal Malaysia. Salah satunya dengan nasyid Raihan. Berkat jaringan dan lobi-lobi Agus, Raihan sukses di Indonesia.

Suksesnya Raihan di Indonesia ternyata menarik perhatian musisi Malaysia lain. Teman-teman Raihan seperti Hijaz, Robbani, Brorhers, dan Now See Heart ikut nyerbu Indon. Kacau!

Berhasilkah nasyid Malay yang menyerbu Indon tersebut? Lumayan. Karena mereka cukup profesional.

Musisi bacot dari Negeri Jiran basis pendengarnya hampir sama dengan Snada. Dari kalangan jamaah Darul Arqom yang juga mengharamkan musik. Bedanya, kalau di Indonesia nasyid lahir dari gerakan tarbiyah PKS; di Malaysia lahir dari musisi profesional yang tobat dan hijrah ke nasyid.

Berikutnya, nasyid Malay tidak berideologi; basisnya budaya Melayu. Karena itu musik, lirik, dan performennya juga khas Melayu. Sedangkan nasyid Indon mengusung ideologi Ikhwanul Muslimin. Maklum personilnya orang-orang tarbiyah binaan PKS. Karena itu lirik lagunya amat berbau harokah (gerakan) dan perjuangan Palestina.

Tahun 2002, Agus hijrah dari Snada ke Nadahijrah Forte Entertainment (NFE) — sebuah perusahaan rekaman seatap dengan PT Aquarius Musikindo (PTAM). Oleh NFE, Agus diberi tugas mengelola divisi nasyid.

Ngajak Opick

Di NFE inilah Agus kenal Opick. Seorang rocker gondrong dan nyentrik yang hobi pakai celana bolong-bolong. Kalau salat, kata Guswar, Opick menutupi bolong-bolong celananya pakai sapu tangan.

Saat itu, Opick sudah merilis enam album di PTAM. Hampir semua album Opick, kualitas musik dan liriknya oke. Bagus. Bahkan album keenam Opick, videoklipnya dibuat Rizal Mantovani, sineas ternama. Tapi apa yang terjadi?

Gagal. Semua album Opick njeblog di pasar. Padahal musiknya bagus. Liriknya bagus. Tapi di pasar tidak bagus. PTAM nyaris memutus kontrak dengan Opick. Dalam kondisi seperti itulah, Agus menawari Opick untuk menyanyi di album kompilasi tausiyah dan zikir yang tengah digarapnya.

Kebetulan, ujar Agus, dari sepuluh materi di album itu, kurang satu. Guswar minta Opick menyanyi satu lagu saja, melengkapi materi yang kurang tadi.

Awalnya Opick gak yakin. Mosok rocker nyanyi di album dakwah? Agus terus mendesak. Opick pun setuju. Agus memilih lagu Tombo Ati — konon karya Sunan Kalijaga — untuk pelengkap ambum tadi.

Tombo Ati sebetulnya sudah dinyanyikan Emha Ainun Najib di group Kyai Kanjeng. Tapi, musik Kyai Kanjeng, kata Agus, kurang akrab di telinga anak muda. Jadi harus diperbarui. Guswar pun menyerahkan kepada Opick untuk menggarap musiknya.

Ternyata, album tersebut meledak di pasar. Laku seperti kacang goreng. Unggulannya justru lagu Tombo Ati. Enam album Opick yang gagal di pasar tertutupi album tadi. Lebih dari 1,5 juta keping CD terjual. Belum bajakannya. Sejak itulah Opick jadi legend. Setiap bikin album reliji, pasti laku.

“Yang ngatur kostum Opick juga saya. Saya ingin kostum Opick seperti Sunan Kalijaga di film,” ujar alumnus Fisip UI tersebut.

Opick, pendatang baru musik reliji ini pun disambut karpet merah komunitas nasyid Indonesia. Sejak itu, nasyid tidak alergi lagi dengan instrumen musik. Opick pun dijuluki Mualaf Nasyid. Tapi mualaf yang membawa perubahan positif. Dari musik bacot menjadi musik not.

Sejak itulah nasyid, ungkap Agus, tidak lagi menjadi musik kolak. Lagu-lagu nasyid mendapat apresiasi luas setelah diiringi musik modern.

Dampaknya, dakwah Islam makin luas jangkauannya. “Cita-cita saya untuk menyukseskan dakwah lewat jalur musik terwujud,” kenang Guswar.

Keberhasilan Opick ternyata menarik penyanyi pop terkenal seperti Arman Maulana Gigi dan Pasha Ungu. Kedua penyanyi pop ini pun membuat album reliji. Dan berhasil, meski kostumnya nonjubah. Non-Arab.

Gambaran di atas menunjukkan musik reliji sudah diterima publik modern. Dampaknya, simbol keislaman tradisional berbau Arab tak penting lagi. Publik tidak lagi terpaku pada busananya, tapi lebih mengapresiasi musik dan liriknya.


Met Ramadan. Semoga ibadah puasa membawa berkah dan rahmah untuk kita semua. Dan Allah melenyapkan corona di seluruh dunia. Amin.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA