Oleh: Mochammad Ronaldy Aji Saputra, Guru Madrasah Aliyah Negeri Sumenep
KOPI, Sumenep – 22 Oktober 1945 merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu merupakan keputusan ulama dari seluruh Jawa dan Madura yang menghasilkan seruan untuk mempertahankan kemerdekaan atau dikenal dengan Resolusi Jihad. Keputusan ini merupakan hasil musyawarah ulama yang dilaksanakan pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari di Jalan Bubutan VI-2 Surabaya (Sekarang jadi Kantor PCNU Kota Surabaya).
Resolusi Jihad merupakan momen terpenting karena memiliki dampak besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dampaknya yaitu terlibatnya kaum santri yang berasal dari pondok pesantren turut serta berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa jihad (perang suci) menghadapi penjajah hukumnya fardhu ain. Hal ini terbukti dengan adanya Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang turut andil dalam Pertempuran 10 November 1945. Jika kita melihat film Sang Kyai (2013) secara fiksional digambarkan pemuda dari santri NU yang bernama Harun menembak mati perwira sekutu Brigjen Mallaby yang membuat amarah Sekutu untuk menggempur Kota Surabaya dari darat, laut dan udara.
Laskar Hizbullah dan Sabilillah terdiri atas kyai dan santri yang berasal dari seluruh pondok pesantren di Jawa dan Madura. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur.
Peristiwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi peristiwa yang penting dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 sehingga tanggal 22 Oktober diperingati sebagai hari Santri Nasional. Alasan penetapan tersebut merupakan penghargaan negara kepada para santri dan ulama yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pandemi Covid 19 telah mewabah di Indonesia. Pada masa pandemi ini, salah satu kata kunci untuk mengambil pelajaran dari makna hari santri adalah ikhtiar, doa dan tawakal. Ikhtiar merupakan usaha untuk mencapai sesuatu. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para kyai dan santri berjihad mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk kantung-kantung pertahanan dan barisan laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk menghadapi penjajah. Pada masa pandemi ini tidak akan menjadikan hilangnya untuk tholabul ilmi (menuntut ilmu) bagi para santri. Memenuhi protokol kesehatan dan instruksi ulama atau kyai dalam menuntut ilmu dengan penuh ikhtiar merupakan bagian dari merealisasikan resolusi jihad pada masa pandemi.
Pada masa pandemi Covid 19 kita bisa belajar dari para pendahulu yaitu berdoa dan bersikap tawakal (berserah diri). Ikhtiar tanpa doa merupakan sebuah kesombongan dan doa tanpa usaha adalah kebohongan. Ketika melihat masa perang kemerdekaan menghadapi penjajah, para santri diberikan doa oleh kyainya. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren menuliskan para prajurit dan laskar berbondong-bondong ke Parakan dengan satu tujuan yaitu berharap doa dari Kiai Subeki. Kiai Subeki memberikan doa ‘Bismi Allahi, Ya Hafidzu, Allahu Akbar!. Setelah mendapatkan doa, prajurit dan laskar memiliki kebulatan hati dalam menghadapi penjajah dengan penuh tawakal. Begitu juga dalam menghadapi pandemi ini, santri biasanya diberikan ijazah amalan doa oleh kyainya seperti sholawat tibbil qulub, ratib al haddad dan sholawat li khomsatun agar dijauhkan dari wabah penyakit. Dengan doa tersebut senantiasa kita memiliki kebulatan hati dalam menghadapi pandemi dan senantiasa memasrahkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian masa pandemi yang menghalangi tidak akan menjadikan hilangnya nilai-nilai santri dari suatu momentum khususnya Hari Santri. Sebab ikhtiar, doa dan tawakal menghadapi pandemi adalah bagian dari aktualisasi nilai-nilai santri.
Comment