Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan
KOPI, Bekasi – Dalam sebuah blog yang mempersoalkan “intoleransi” terdapat sebuah pertanyaan ngoyoworo yang ditujukan kepada Angie (Angelina Sondakh).
“Angie, kenapa setelah menyembah batu kau jadi berantakan?”.
Pertanyaan itu pun langsung direspon netizen lain: “Dari pada menyembah pemain sirkus, lebih baik menyembah batu”.
Semula saya tidak “ngeh” dengan debat itu. Setelah merenung sejenak, baru saya sadari debat tersebut sangat “menyengat” dalam relasi antaragama.
Yang bertanya — “Engie kenapa setelah menyembah batu kau jadi berantakan?” – maksudnya, kenapa setelah Angie masuk Islam (salat menghadap ka’bah yang di dalamnya ada batu hitam) kok jadi terdakwa korupsi?
Sedangkan komentar baliknya, “dari pada menyembah pemain sirkus lebih baik menyembah batu,” yang dimaksud adalah orang Kristen yang menyembah Yesus. Patung Yesus yang disalib dikomentari sebagai pemain sirkus. Jelas ini komentar provokatif yang seandainya muncul di panggung terbuka, bukan di dunia cyber, bisa memicu pergolakan.
Inilah contoh perdebatan “ngalor-ngidul yang gak karu-karuan” tentang intoleransi beragama. Masing-masing pihak, jika menghina agama lain, maka pihak yang dihina pun, pasti akan menemukan celah untuk mengkik balik.
Orang Islam, misalnya, merasa berkhidmat sujud di depan bangunan berbentuk kubus di Mekah. Sedangkan orang Kristen tergetar hatinya melihat Patung Yesus yang disalib demi menebus dosa umatnya. Sedangkan orang Budha menyembah patung Sidharta Gautama dengan syahdu karena melihat keadamaian abadi di sana.
Dalam kondisi normal, toleran, saling mengerti – sikap mereka “menyembah batu dan patung” ya sudah. Kita kudu menghormati kepercayaannya. Itulah perbedaan Islam, Kristen, dan Budha. Ketiganya agama besar yang lahir di tempat berbeda. Berbeda lingkungan dan budayanya.
Tapi dalam kondisi inteloran, anarkis, lalu muncul – kenapa ente menyembah patung? Yang non Islam akan ngekik balik, kenapa ente menyembah batu? Nah lo! Argumen masing-masing untuk membenarkan penyembahannya, niscaya tertolak. Gak masuk logika keimanan mereka.
Di masyarakat Tionghoa yang sedang merayakan Imlek, penyembahan patung lebih marak lagi. Orang Tionghoa, menghormati Dewa-dewa, para leluhur, orang-orang yang dihormati dengan cara menghormati patung-patung mereka. Karena itu jangan heran, betapa banyak patung di vihara-vihara . Bahkan Gus Du saja dijadikan patung, kemudian “disembah”. Gus Dur adalah tokoh yang dihormati masyarakat Tionghoa Indonesia karena berhasil mendelet UU di Era Orde Baru yang melarang perayaan hari suci mereka.
Saat ini, banyak umat Islam yang merasa murni tauhidnya, melarang perayaan Hari Valentin. Alasannya sederhana. Itu tradisi orang kafir Romawi. Orang yang merayakan Valentin pun bisa mengkik balik – ente merayakan dongeng penyembelihan anak manusia yang bersumber dari tradisi Israiliyat yang tak masuk akal! Hus…jangan berargumen dengan ayat Qur’an. Mereka yang mengkik ente bukan orang Islam.
Kenapa sih tak ambil hikmahnya saja dalam peringatan Hari Valentin? Bukankah itu momen untuk menunjukkan kasih sayang kepada orang yang dicintainya?
Baru saja, istriku bertanya: “Pah ini Hari Valentin. Kenapa Papah gak kirim bunga ke Mamah.”
Oh ya, Mah. Papah sudah pesan buket mawar untuk mamah. Sebentar Papa ambil. Saya langsung pergi ke toko bunga. Beli satu buket mawar, dan minta pedagang menuliskan: “Papah Sayang Mamah. Selamat Hari Valentine.”
Saya lihat betapa senangnya dia mendapat buket mawar Valentin itu. Bukankah membahagiakan istri itu sebuah pahala yang besar? Saya menjalankan sunnah Rasul melalui tradisi Valentine Day.
Andai saya bilang kepada istri, Valentine Day itu tradisi orang kafir – terbayang keruhnya mata dia. Sedih dan kesal terjegal dalil kopar kapir yang ngoyoworo.
Itulah perlunya, manusia membuka cakrawala seluas mungkin. Ambil hikmah dari setiap peristiwa, hikmah dari setiap perbedaan, hikmah dari setiap fenomena alam. Seperti Jalaludin Rumi yang melihat seberkas cahaya pagi…dia langsung berjoged dan berkata. “Aku temukan seberkas CahayaMu Tuhan. Oh indahnya. Ketia Rumi melihat hujan dan ledakan petir, Rumi pun berujar: “Lembutnya air hujan – bukan kerasnya petir — yang menumbuhkan bunga.” Itulah cakrawala orang yang selalu mengambil hikmah.
Cobalah berpikir seperti ini. Thowaf di Ka’bah adalah simbol pergerakan elektron dalam inti atom. Patung Yesus adalah simbol pengorbanan Sang Penebus Dosa umat manusia yang berlumur fitnah dan darah. Patung Sidharta adalah simbol kedamaian abadi manusia yang menyatu dengan Tuhan. Indah bukan?
Comment