by

In Memoriam KH Ahmad Syafii Mufid: Tokoh Toleransi Beragama Itu Pergi di Malam Natal

Oleh: Syaefudin Simon
Simon Syaefudin

KOPI, Jakarta – Jumat siang, di hari Natal yang cerah, saya bersiap salat Jumat. Tetiba, hape saya bergetar. Ada pesan WA. Ternyata WA dari Prof. Dr. Marzani Anwar, ahli peneliti utama kantor Litbang Kemenang yang baru saja memasuki usia pensiun.

“Simon, Pak Syafii Mufid telah pergi untuk selamanya Kamis malam.” Tulis Prof. Marzani. Usai membaca WA, saya langsung lemas.

” Ya Allah, orang baik itu telah Engkau panggil menghadapMu. Semoga Engkau menempatkannya di surga,” batin saya menerawang jauh, ke saat-saat indah bersama Kyai Ahmad Syafii Mufid, pria kelahiran Demak 4 Juli 1950 ini.

Saya kehilangan sahabat, guru, pembimbing spiritual, dan kyai yang luar biasa berjasa dalam hidup saya dan sangat berjasa untuk bangsa dan umat beragama di Indonesia.

Secara pribadi, KH Ahmad Syafii sangat berjasa dalam ‘menyelamatkan” hidup saya. Ketika saya mengalami depresi, beliaulah yang selalu menjadi tumpuan curhat saya dan beliau pula yang selalu mengajak saya refreshing mendatangi berbagai komunitas umat beragama di Indonesia. Karena Pak Syafii — demikian saya biasa memanggilnya — tahu saya senang menulis, beliau selalu mengajak saya mengobrol tentang dunia tulis menulis. Bahkan memberikan projek-projek terkait dunia penulisan kepada saya agar sibuk dan fokus menulis sehingga melupakan beban pikiran yang membuat saya depresi. Alhamdulillah, berkat nasehat dan bimbingan spiritualnya, saya sehat kembali.

Kyai Syafii tahu betul ampuhnya resep “writing ia healing”. Apalagi untuk saya yang hobi menulis. Saya dekat dengan tokoh “Mummadinu” ini sejak tahun 1996 saat saya masih aktif sebagai wartawan harian Republika.

Ya, Kyai Syafii saya kategorikan sebagai orang Muhammadinu. Orang Muhammadiyah yang latar belakang kehidupannya NU. Ia santri ponpes Mranggen, Demak. Berbeda dengan Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara yang “Nuhammadiyah” — orang NU berlatarbelakang Muhammadiyah yang kini aktif menggali sejarah para wali di Nusantara. Menurut Dr. Muslim Abdurrahman, Muhamadiyah dan NU itu sama enak seperti kacang kering dan kacang rebus. Pak Syafii di masa kecil dan remaja suka makan kacang rebus. Setelah dewasa senang kacang goreng. Sama sama enak.

Sebelum meninggal, Kyai Syafii pernah punya ide dan mengajak saya untuk menulis “emas-emas” yang terserak di kampung-kampung yang membesarkan Muhammadiyah. Beliau mengambil contoh mertuanya di Banyumas. Seorang pegawai negeri kecil di kampung tapi mampu mendirikan rumah sakit Muhammadiyah dan lembaga pendidikan berkualitas di daerahnya.

“Semua yang dilakukan mertua, demi pengabdian kepada umat. Tanpa pamrih sedikit pun untuk pribadi,” pujinya kepada sang mertua sambil mengacungkan jempol tanda kagum kepada kader-kader Muhammadiyah yang berserakan seperti emas di kampung-kampung. Emas-emas Muhammadiyah seperti mertua, kata Pak Syafii, banyak sekali di Muhammadiyah. Saya mengajak Simon menulis Emas-Emas Muhammadiyah ini karena kamu sudah menulis manusia berhati emas KH AR Fachrudin dari Yogya dalam buku Pak AR Sang Penyejuk.

Pak AR sebetulnya salah satu emas dari kampung Clangap, Puwanggan, Yogya, dan besar di Bleberan, Kulon Progo. Beliau kebetulan terungkit takdir menjadi Ketua PP Muhammadiyah tanpa ambisi dan pamrih pribadi sedikit pun. Jiwa Muhammadiyah seharusnya seperti Pak AR, ujar Pak Syafii. Mertua saya mengikuti teladan Pak AR tersebut. Ungkpnya.

Pak Syafii adalah santri tulen (karenanya menguasai khazanah kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren) dari Ponpes Mranggen. Beliau berkembang dalam tradisi NU sebelum masuk IAIN Semarang dan kemudian tertarik pada Muhammadiyah. Perjalanan hidupnya mirip Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekjen Muhammadiyah sekarang — juga dari IAIN Semarang — yang dulunya orang pesantren dan NU tulen. Bila Prof. Abdul Mu’ti aktif dalam struktur organisasi Muhammadiyah, Kyai Syafii aktif mengembangkan toleransi umat beragama. Khususnya di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta. FKUB Jakarta itu, meski statusnya cabang provinsi, tapi fungsinya seperti FKUB pusat, jelas Pak Syafii. Beliau sangat berterimakasih kepada mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang amat peduli dengan FKUB.

Salah satu kesibukan Pak Syafii sebelum dan setelah pensiun dari Badan Litbang Kemenag adalah menggaungkan toleransi umat beragama. Sebagai ketua FKUB, beliau prihatin menyaksikan tajamnya konflik antaragama di Indonesia dan munculnya kelompok radikal dalam kehidupan beragama.

Beliau rajin berkumpul dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh dari semua agama yang ada di Indonesia, terutama yang berada di Jakarta. Tiap bulan Ramadhan, misalnya, Pak Syafii rajin mengajak saya buka bersama di gereja, vihhara, klenteng, dan tempat-tempat suci agama nonIslam. Kyai Syafii sering diundang ceramah dan seminar dengan tema toleransi umat beragama baik di Indonesia maupun manca negara.

Saya punya beberapa sarung dan buku hadiah dari Gereja, Vihara, dan Klenteng karena menemani Kyai Syafii ceramah agama di tempat-tempat ibadah umat nonIslam. Dari kunjungan ke tempat-tempat ibadah umat nonIslam itu saya baru tahu kalau salah satu Vihara di Jakarta “punya pesantren Islam” di Sukabumi.

Lihat Simon, betapa baiknya orang-orang Budha terhadap umat Islam. Mereka banyak membantu pesantren dan sekolah sekolah Islam di Jawa Barat. Mereka membantu karena “dharma” kemanusiaan. Tanpa sedikit pun punya pamrih dan berniat ‘membudhakan” orang Islam. Bagi orang Budha, kata Pak Syafii, agama adalah dharma. Dharma untuk kebaikan semua manusia. Dalam acara buka bersama di sebuah Vihara di Jakarta, saya amat terkesan dengan doa seorang biku: “Semoga semua makhluk hidup berbahagia.” Sebuah doa yang universal, menghargai setiap jiwa, apa pun bentuknya. Identik seperti firman Tuhan, bahwa Islam diturunkan untuk merahmati (menyintai) seluruh alam.

Bagi orang Budha, Muhammad dan Isa Al-Masih adalah sosok suci dan tercerahkan sehingga menjadi penerang dan teladan umat manusia. Seperti halnya Sidharta Gautama, Sang Maha Guru Budha.

Lalu kenapa umat beragama terpecah belah dan saling bermusuhan? “Mereka yang bermusuhan, mereka yang anarkis, mereka yang egois dan mau menang sendiri, adalah mereka yang belum menghayati makna iman dan makna keberadaan Tuhan. Beragamanya masih di pinggiran,” kata Pak Syafii yang tertarik dengan sejarah-sejarah agama setelah mengambil sekolah pascasarjana antropologi di Universitas Indonesia Jakarta dan Leiden Belanda itu. Pak Syafii yang produktif menulis buku ini, sangat fasih bila mengutip hikmah yang tercecer dari ajaran-ajaran agama lokal yang ada di Indonesia. Beliau mengagumi gurunya, Prof. Koentjaraningrat, antropolog UI yang membuka matanya untuk memahami agama-agama lokal di Nusantara.

Pak Syafii adalah santri, kyai, dan intelektual Islam lintas agama. Beliau sangat mengagumi Gus Dur dan Djohan Effendi karena kemampuan kedua tokoh ini dalam membuka kesadaran publik terhadap eksistensi agama lokal dan mengembangkan toleransi umat beragama.

Tak hanya berteori. Pak Syafii juga menapak di bumi. Beliau berhasil membentuk “komunitas masyarakat madani’ di sekitar tempat tinggalnya di Bekasi. Beliau sendiri yang tiap Minggu memberikan pengajian bertema toleransi dan sufisme modern kepada masyarakat sekitar kompleks perumahannya. Tentu saja prinsip-prinsip masyarakat madani diterapkan di komunitas itu. Seperti demokrasi, toleransi, dan humaniti.

Setelah pensiun, Pak Syafii makin sibuk. Beliau mendirikan pondok pesantren Kyai Demak di Purwakarta. Pondok Kyai Demak didesain Pak Syafii untuk mendidik santri entrepreneur atau kewiraswastaan. Kenapa? Toleransi, ujar Pak Syafii, akan tumbuh bagus di masyarakat entrepreneur. Kaum radikal tidak akan bisa mengelola entrepreneurship atau dunia bisnis. Karena landasannya egoisme. Padahal pengembangan dunia bisnis butuh jaringan, persahabatan, dan komunikasi yang luas. Entrepreneurship, jelas santri Al Azhar Mesir ini, adalah pendidikan deradikalisasi paling efektif.

Untuk menuntaskan obsesinya membangun ponpes entrepreneur Kyai Demak, Pak Syafii sudah menjual hampir semua asetnya — seperti tanah, ruko, salon, dan apartemen miliknya di Kota Bekasi. Semuanya untuk biaya pembangunan ponpes Kyai Demak.

“Aset saya tinggal rumah satu-satunya di Bekasi dan sedang saya tawarkan kepada orang yang berminat membelinya. Uangnya untuk membangun pondok pesantren Kyai Demak. Saya siap tinggal di gubug kecil demi keberhasilan pesantren,” ujarnya. Pondok Kyai Demak ini legacy saya untuk umat demi pengembangan Islam yang toleran, jelas Pak Syafii, dosen luar biasa sekolah Pascasarjana UI ini.

Sayang dalam berjihad membangun toleransi umat beragama melalui ponpes Kyai Demak, Allah memanggilnya. Beliau pulang dalam sepi. Terenggut pandemi. Beliau dimakamkan di Purwakarta dengan iringan para malaikat. Sampai tulisan ini saya buat, pers cetak dan digital belum memberitakannya. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Mari kita berdoa dan mengirimkan Al- Fatiha untuk Kyai Ahmad Syafii Mufid, pejuang toleransi! Agar hidupnya bahagia di alam abadi yang surgawi.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA