Lalu apa kaitan NU dengan pesantren? Gus Sholah menjelaskan dengan amat inspiratif. NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Pengertiannya: Pesantren didirikan oleh warga NU. Bukan oleh organisasi NU.
Itulah sebabnya, jumlah pesantren di Indonesia banyak sekali. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang fasilitasnya sangat modern, dan ada yang fasilitasnya sangat tradisional. Uniknya, masing-masing pesantren bersifat distinktif. Tergantung di mana lokasinya dan siapa pendiri dan kyai sepuhnya. Rasanya sulit membandingkan pendidikan di pesantren NU yang distinktif dengan pendidikan di ‘pesantren’ Muhamammadiyah yang mempunyai standar baku. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Ajaran NU yang menoleransi perbedaan paham inilah yang menjelaskan kenapa pondok pesantren NU terus berkembang pesat di seluruh nusantara. Menurut catatan Gus Sholah, jumlah ponpes NU saat ini, awal tahun 2020, mencapai 28.000. Padahal tahun 1999 baru 10.000 ponpes. Ini artinya perkembangan ponpes NU mencapai 13,3 persen pertahun. Menariknya, dari jumlah tersebut, mayoritasnya adalah ponpes kecil, pendirinya warga NU, dan 90 persen lebih berada di Jawa.
Apa arti semua itu? Partisipasi NU, terutama warganya, dalam membangun pendidikan nasional, sangat besar. Sayangnya, perhatian pemerintah tak seimbang dibanding partisipasi masyarakat tersebut. Ponpes-ponpes NU banyak yang berdiri di tengah masyarakat marjinal dengan fasilitas sangat sederhana. Ponpes-ponpes itu dapat berjalan hanya karena adanya guru-guru yang mengajar dengan ikhlas. Tak sedikit yang honornya hanya 100.000 perbulan, bahkan kadang tak dibayar sama sekali.
Melihat kondisi seperti itulah, Gus Sholah rajin mengumandangkan pentingnya pembangunan ekonomi umat, terutama ekonomi pedesaan yang termajinalkan. Selama ini, warga NU yang jumlahnya 95 jutaan, ujar Gus Sholah, hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Umat NU, kata pimpinan ponpes Tebuireng, Jombang ini — hanya mendapat janji-janji menggiurkan saat ada kepentingan politik seperti Pemilu, Pilkada, dan Pilpres. Tapi setelah itu, mereka ditinggalkan. Janji pun tinggal janji. Kosong.
Karena itu, NU harus mandiri. Harus kuat, tegas Gus Sholah. Caranya mengembangkan teknokrasi dan teknologi. Masyarakat NU yang sebagian besar kelas menengah bawah harus dididik mandiri dengan mengembangkan teknologi lokal dan kompatibel dengan sumber daya alam setempat. Masyarakat kecil harus diajak berfikir logis, praktis, dan ekonomis. Sehingga mampu memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Ingat keberhasilan pembangunan suatu bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak konglomeratnya. Tapi seberapa banyak orang miskin yang terangkat dari kubang kemelaratannya. Bila ini menjadi perhatian kita semua, niscaya Indonesia akan tumbuh menjadi negara kuat dan punya ketahanan nasional yang tinggi.
Comment