by

In Memoriam Malik Fadjar: Tokoh Pendidik dan Aktivis yang Luwes dan Luas

Oleh: Dr. KH. Amidhan Shaberah, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag 1991-1996/Ketua MUI 1995-2015

KOPI, Jakarta – Indonesia berduka. Salah seorang putra terbaik Ibu Pertiwi, Prof. Malik Fadjar wafat Senin (7/9/20). Banyak sekali legacy Pak Malik — pangilan akrab mantan Menag dan Mendiknas — ini yang patut kita teladani.

Abdul Malik Fadjar lahir di Yogyakarta, 22 Februari 1939. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan. Sebagai anak seorang guru yang juga aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivisme dan kepemimpinan ayahnya, Fadjar Martodiharjo, yang di kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan mengayomi.

Darah pendidik mengalir kuat dalam dirinya, terutama sejak ia menjadi guru agama Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang, NTB, 1959. Selanjutnya, perjalanan hidup Pak Malik tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan.

Selepas dari SRN Taliwang, Ia berturut-turut mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963, dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga 1983, dan kemudian menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995.

Selama puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, Ia tak sekadar menjadi seorang pendidik, tapi juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di daerah Yogyakarta dan Magelang. Obsesinya terhadap kemajuan pendidikan terus mewarnai langkah-langkahnya, terutama ketika duduk di kabinet Presiden BJ Habibie dan Presiden Megawati. Alumnus IAIN Malang (1972) dan Florida State University Amerika (1981) — keduanya bidang pendidikan ini — selalu terobsesi bagaimana memajukan pendidikan di tanah air. Bagi Prof. Malik, hanya dengan pendidikanlah, rakyat dan bangsa Indonesia akan terangkat harkatnya di mata dunia.

Pribadi yang Luwes dan Luas

Ketika diangkat menjadi Menteri Agama oleh Presiden BJ Habibie, yang pertama-tama dilakukan oleh Pak Malik adalah sowan ke KH Ilyas Ruhiat, pengasuh Ponpes Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Pak Malik yang tokoh Muhammadiyah itu mampu mengikuti tradisi NU di hadapan kyai besar kaum Nahdhiyyin tersebut. Ia minta doa dari sesepuh NU tersebut dan takzim mendengarkan nasihat-nasihat teduh Kyai Ilyas.

Itulah contoh keluwesan Prof. Malik, untuk menuju kebaikan Indonesia. Gaya hidup Pak Malik yang luwes dan luas, nanti terlihat dalam perjalanan hidupnya, baik sebagai pendidik, pejabat negara maupun aktivis persyarikatan Muhammadiyah.

Kenapa tokoh pertama yang ditemuinya ketika menjabat Menag adalah tokoh NU Kyai Ilyas? Karena NU adalah organisasi Islam yang membangun pendidikan dengan jumlah amat besar di masyarakat akar rumput, di pedesaan dan kampung-kampung. Masyarakat NU adalah cermin sesungguhnya dari mayoritas penduduk Indonesia.

Pak Malik sadar betul, menjadi Menag adalah menjadi “bapak” dari semua organisasi agama di Indonesia. Dan NU, bagaimana pun adalah organisasi agama dengan jumlah massa terbanyak di Indonesia. Di matanya, pondok pesantren — khas lembaga pendidikan kaum Nahdliyyin — yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia harus mendapat perhatian besar pemerintah. Sebab bila pendidikan di pondok pesantren maju, maka pemerataan pendidikan di Indonesia akan terlaksana dengan baik. Ini karena pendidikan di pondok pesantren seperti madrasah, dari ibtidaiyah sampai Aliyah, merupakan batu lompatan untuk “orang-orang desa” menuju pendidikan tinggi untuk merubah masa depannya, sekaligus membangun Indonesia dari bawah.

Bagi orang desa lulusan pondok pesantren, kelanjutan pendidikan madrasah saat itu, identik dengan masuk IAIN. Dan IAIN, dulu, dijuluki sebagai perguruan tinggi negeri untuk menghasilkan da’i, ustad, atau kyai. Gambaran seperti itu, di zaman baheula sangat kuat. Prof. Mukti Ali, Guru Besar IAIN Yogya, sangat risau dengan pandangan tersebut. Makanya Pak Mukti berusaha memecah opini publik itu.

IAIN bukan pendidikan tinggi untuk mencetak da’i dan kyai, kata Prof. Mukti Ali, tapi mencetak akademisi yang handal. Itulah sebabnya, ketika menjadi Menag (1971-1978), Prof Mukti Ali menyekolah banyak karyawan Depag, terutama dosen IAIN, ke luar negeri, ke negara-negara Barat. Tujuannya, agar IAIN tumbuh menjadi perguruan tinggi yang kualitasnya sama dengan perguruan tinggi umum seperti UI dan UGM.

Obsesi Prof. Mukti Ali ini, kemudian diteruskan Prof. Malik Fadjar di era reformasi. Sebelum menjadi menteri agama di Era Presiden BJ Habibie, lalu menteri pendidikan nasional Era Presiden Megawati, Pak Malik sudah membuktikan diri sebagai rektor yang sukses membawa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi universitas swasta yang diperhitungkan di tingkat nasional, bahkan internasional. Berkat kepemimpinan Pak Malik, UMM menjadi universitas swasta terbesar di Indonesia. UMM bisa dikatakan sebagai monumen keberhasilan Pak Malik dalam membesarkan perguruan tinggi swasta Islam. Untuk membesarkan kampus UMM, misalnya, Pak Malik membeli tanah puluhan hektar dengan jaminan rumah pribadinya. Beliau all out untuk membangun UMM.

UMM, mungkin, universitas swasta terdepan yang mampu membangun bisnis untuk menopang pembiayaan pendidikannya, sambil terus memperbaiki kualitas akademisnya. Maka jangan heran jika mahasiswa UMM tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari manca negara. Mahasiswa UMM juga tidak hanya beragama Islam, tapi juga beragama non-Islam. UMM adalah cermin inklusivitas Prof. Malik Fadjar.

Ketika menjadi menteri agama, obsesi Pak Malik untuk mengembangkan pendidikan tinggi Islam makin berkobar. Beliau sadar betul, IAIN adalah “kelanjutan” dari pendidikan pondok pesantren. Pak Malik, seperti halnya Pak Mukti, ingin perguruan tinggi “ndeso” ini menjadi perguruan tinggi “kuto”. Setelah Pak Mukti merombak kurikulum madrasah di bawah naungan Depag agar pendidikan umumnya setara dengan SMA, maka tibalah saatnya, IAIN pun dipersiapkan menjadi universitas. Cita-cita Pak Mukti ini menemukan momentumnya ketika Pak Malik jadi Mendiknas.

Saat itu, Pak Malik, sebagai Mendiknas minta rektor IAIN Ciputat, Azyumardi Azra, untuk segera merealisasikan pergantian IAIN menjadi UIN.

“Mumpung saya jadi menteri pendidikan nasional, sekarang ajukanlah,” kata Prof. Malik kepada Prof Edy — panggilan akrab Azyumardi Azra. Maksudnya, mengajukan surat permohonan agar IAIN menjadi UIN. Berkat kepandaian lobi Pak Malik, Presiden Megawati pun setuju. Maka, jadilah IAIN Ciputat sebagai UIN rintisan. Konsekwensi perubahan nama tersebut sangat besar. Karena UIN harus membangun fakultas-fakultas umum seperti Fakultas Ilmu Sosial-Politik, Fakultas Matematika dan Ilmu Politik engetahuan Alam, Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran, dan lain-lain. Seperti halnya UI dan UGM. Kini, akadamisi di bawah naungan Kementerian Agama itu, kualitasnya tidak kalah dibanding akademisi di bawan naungan Kemendiknas.

Saat ini hampir seluruh IAIN di Indonesia telah berubah menjadi UIN. Anak-anak jebolan ponpes dan madrasah, ketika masuk UIN, pilihannya sudah banyak. Tidak hanya kuliah di Fakultas Syariah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Dakwah, tapi juga kuliah Fakultas Psikologi, Agribisnis, dan Kedokteran.

Menggaungkan obsesi Prof. Malik Fadjar meng-UIN-kan IAIN, Prof. Azyumardi Azra dari UIN Ciputat menyatakan, perubahan bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) merupakan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan. Perubahan bentuk IAIN menjadi UIN mutlak adanya untuk menangkal impor ajaran Islam dari luar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam Wasatiyah (Islam moderat) di Indonesia.

“Integrasi keilmuan Islam dan Sains harus menjadi visi UIN sebagai mandat yang lebih luas (wider mandate) guna menghasilkan umat yang kompeten. Jangan ada lagi dikotomi ilmu Islam dan ilmu umum,” jelas Azra yang pernah mendapat gelar Commander of the Order of British Empire.

Itulah keluasan gagasan Prof. Malik Fadjar, seorang pekerja keras, cerdas, luwes dan luas. Kini, salah seorang putra terbaik Ibu Pertiwi itu sudah pergi meninggalkan kita semua. Tapi cita-cita almarhum untuk mewujudkan “education for all” akan tetap hidup di hati anak-anak bangsa. Selamat Jalan Prof. Abdul Malik Fadjar. Semoga Tuhan meridhai perjalanan hidupmu yang penuh perjuangan untuk memajukan bangsa dan negara.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA