Oleh: Amidhan Shaberah, Ketua MUI (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)
KOPI, Jakarta – Etnis Uyghur makin populer di dunia. Terutama di Barat. Mereka dielu-elukan. Karena etnis Islam yang ditekan rejim China? Barat sekarang pro-Islam? Nanti dulu.
Anehnya, etnis Uyghur yang muslim justru tak disukai negara-negara Islam. Saudi Arabia dislike Uyghur. Juga Pakistan. Negara-negara Arab juga tak suka etnis muslim di Tiongkok ini.
Indonesia? De facto, pemerintah Indonesia tak mau campur tangan. Tapi beberapa organisasi Islam sikapnyua berberda. NU tampaknya dislike. Muhammadiyah abu-abu. FPI dan PA 212 Pro-Uyghur seperti Donald Trump.
Jujur, sikap umat Islam Indonesia dilema menghadapi kasus Uyghur yang ditekan rejim China. Mau cenderung ke Uyghur atau ke China? PM Malaysia, Mahathir Mohamad terang-terangan cenderung ke China. Tak mau diajak memprovokasi umat Islam Malaysia untuk membenci China dalam kasus Uyghur. Bagi Mahathir, pemerintah China punya kedaulatan penuh untuk mengatur wilayahnya. Kasus Uyghur murni urusan China. Sikap Malaysia ternyata diikuti oleh sebagian besar negara Islam di dunia.
Ini mungkin perlu diketahui umat Islam dunia. Di Tiongkok, ada 10 etnis yang beragama Islam. Yaitu Bao’an (Bonan), Tatar, Salar, Uzbeks, Kyrgiz, Dongxiang, Tajik, Uyghur, kazakh dan Hui. Mayoritas penduduk beragama Islam di China berasal dari etnis Hui. Sedangkan populasi Uyghur berkisar 10 juta atau 0,7% dari penduduk China. Logikanya, jikarejim Tiongkok antiislam, harusnya semua etnis Muslim yang populasinya besar seperti Hui akan jadi korbannya.
Faktanya? Tidak. Hui dan 8 etnis muslim lainnya tetap hidup aman dan damai saat ini. Mengapa cuma suku Uyghur yang di perangi? Jawabnya: terkait ancaman disintegrasi negara. Hanya etnis Uyghur yang mengusung perjuangan “kemerdekaan” negeri muslim Uyghur.
Jadi, wajar jika RRC pun marah. Seperti marahnya Turki terhadap etnis Kurdi yang berjuang untuk kemerdekaan, terlepas dari Turki. Dengan demikian, kita bisa memahami jika China punya wewenang penuh untuk mengamankan situasi dan menjaga kesatuan wilayahnya. Negeri mana pun yang berdaulat, tak terkecuali, niscaya akan bersikap seperti China menghadapi etnis yang ingin memisahkan diri.
Ingat Indonesia zaman Bung Karno ketika memerangi DI TII (Darul Islam Tentara Islam Indonesia) pimopinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. TNI mengepung pasukan DI TII Kartosuwiryo di Gunung Galunggung Tasikmalaya dan Garut bukan karena Islamnya. Tapi karena DI TII mengumumkan kemerdekaan dan memisahkan diri dari NKRI.
Etnis Uyghur dalam sejarah China modtn telah berkali-kali memberontak. Ia ingin merdeka. Ideologi etnis Uyghur adalah khilafah. Membentuk negara Islam lintas wilayah seperti cita-cita ISIS. Ini berbeda dengan ideologi etnis Hui yang muslimnya mayoritas. Hui nasionalis. Pemerintah China pun mengakomodasinya. Tak dibedakan dengan penduduk China yang atheis, Kristen, Budha, Konghucu, dan lainnya.
Dalam sejarah China juga tercatat bentrok antara mulsim Uyghur dan Hui. Tahun 1933, etnsi Uyghur “memerangi” etnis Hui. Peristiwanya dikenal dengan “Pembantaian Kizil”. Saat itu, etnis Uyghur membuat kerusuhan, mengincar nyawa etnis Hui. Tahun 2009, saat terjadi kerusuhan Xinjiang, etnis Uyghur juga “bentrok” dengan Hui. Sampai sekarang pun, kedua etnis itu masih memendam bara permusuhan.
Dari gambaran itulah sebaiknya melihat kasus Uyghur. Jangan melihat bendera Islamnya. Tapi lihat sudut pandang politiknya. China adalah negeri berdaulat penuh atas wilayahnya. Sebagaimana Indonesia. Dalam sejarah, Indonesia juga pernah memerangi sebuah kelompok pembangkang muslim seperti DI TII.
Dari sini, jangan lihat DI TII dari label islamnya. Tapi lihat sikapnya yang bughat! Memberontak dan melampaui batas.
Trump menyambut wakil etnis Uyghur di Washington dengan mesra. Secara politik kita bisa mengerti, Washington yang “kalah” perang dagang dengan Beijing mendukung Uyghur. Sejatinya AS ingin menundukkan China dengan cara lain. Uyghur dijadikan instrumen untuk menggalang dunia Islam memusuhi China. Sayang, rayuan gombal Trump tak mendapat sambutan dunia Islam. Malaysia, Saudi, Pakistan dan negara-negara Islam lain menolak ajakan Trump.
Indonesia? Jokowi secara politik bersahabat dengan China. Dalam kaitan Uyghur, sikap politik Pemerintahan Jokowi sudah cukup bijak. Masalah Uyghur adalah urusan dalam negeri Tiongkok. Indonesia tidak mau campur tangan.
Ini berbeda dengan kasus Rohingya di Myanmar atau muslim Mindanau di Filipina. Myanmar dan Filipina adalah anggota ASEAN. Sebagai sesama anggota ASEAN, keterlibatan Indonesia untuk ikut menyelesaikan kasus-kasus itu adalah niscaya. Meski semuanya harus dilakukan dengan hati-hati. Karena menyangkut kedaulatan negara merdeka.
Dalam hal Uyghur, kehati-hatian tersebut pastinya lebih besar lagi. Karena China adalah negeri super power ekonomi dan militer. Juga negara mitra dagang yang besar. Sikap hati-hati harus dikedepankan.
Saat ini, sikap netral tampaknya masih diperlukan untuk menjaga hubungan baik dengan China. Tapi jika saatnya memungkinkan, bukan tidak mungkin Indonesia pun ikut memberikan solusi Uyghur. Why not?
Comment