by

Kasus Radikalisme di BUMN

Loading…

KOPI, Jakarta – Pelanggan Telkom meradang! Pasalnya, provider internet terbesar di Indonesia itu dituduh “menghidupi” Hizbu Tahrir Indonesia (HTI). Padahal, HTI telah dilarang pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kemudian MA menolak “kasasi” HTI Mei 2019 lalu, sehingga mempertegas pelarangan pemerintah di atas. Dengan demikian, secara yuridis formil, keberadaan HTI dilarang di Indonesia. Tapi apa yang terjadi?

Sebagian BUMN diduga menghidupi tokoh anti-Pancasila. Setidaknya itulah komen netizens di media sosial. Netizens tampaknya baru menyadari kedekatan Telkomsel dengan HTI tersebut belakangan ini. Gara-garanya, ada spanduk “Kajian Islam” di pasang di Gedung Telkomsel dengan pembicara Felix Siauw.

Netizens sudah tahu, Felix Siauw melalui berbagai wawancara dan ceramahnya (yang bisa dilihat di Youtube) adalah seorang tokoh HTI. Ia rajin mengumandangkan perlunya pembentukan khilafah di Indonesia dan tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara.

Akibat spanduk kajian Islam Felix tersebut, netizens pun bereaksi keras. Mereka tak hanya menyebarkan tagar #TelkomProRadikalis, tapi sampai memutuskan layanan IndiHome. Ini sebagai bentuk protes karena Telkom terus mengundang ulama radikal untuk mengisi ceramah di Masjid Al Muta’arof, di Menara Multimedia TELKOM, Jakarta.

Menurut pelacakan netizens, Telkom sejak dua tahun lalu (2017), saat HTI dilarang pemerintah, masih terus mengundang pembicara radikal yang tidak Pro-Pancasila dan NKRI. Beberapa “ulama” yang juga sering diundang Telkom, jelas-jelas pro HTI dan khilafah. Padahal Pemerintah sendiri sudah menolak kasasi HTI. Mahkamah Agung sendiri sudah mengesahkan pembubaran HTI dengan alasan, mereka ingin mendirikan negara khilafah yang bertentangan dengan demokrasi Pancasila.

Telkom merupakan salah satu BUMN yang 52,09% sahamnya saat ini dimiliki Pemerintah Indonesia. Sisanya 47,91% dimiliki oleh publik, Bank of New York, dan investor dalam negeri. Telkom juga menjadi pemegang saham mayoritas di 13 anak perusahaan, seperti PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), Telkom Akses, Telkom Metra, dan lain-lain.

Jadi, Telkom adalah sebuah perusahaan milik negara dan memakai uang negara untuk operasionalnya. Telkom juga sahamnya dimiliki publik. Karena itu publik ingin BUMN ini beroperasi di bawah payung hukum dan konstitusi NKRI.

Tapi apa kenyataannya? Oknum tertentu di Telkom terus mengundang pembicara macam Ustad Tengku, Haikal Hassan, Felix Siauw dan Weemar Aditya untuk mengisi ceramah di masjid besarnya. Ustad-ustad garis keras dan pro HTI ini ternyata sering diundang untuk mengisi ceramah atau kajian Islam di sana.

Nah, setelah ditelusuri, ternyata, mengutip Seword, ada hubungannya dengan keberadaan Ketua Majlis Ta’lim Telkom (MTT). Siapa Ketua Majelis Taklim Telkom? Wawan Budi Setiawan.

Wawan adalah Ketua Umum MTT untuk periode 2017-2020 berdasar hasil Munas yang telah diselenggarakan sebelumnya. Dan kalau kita melacak jejak digitalnya di medsos, Wawan adalah tokoh Islam garis teras dan pendukung HTI. Itu baru kasus “jejak HTI” di Telkom. Belum di BUMN lain.

Fajrul Rachman, salah seorang komisaris di PT Adhi Karya dalam sebuah diskusi tentang radikalisme Islam di BUMN di Jakarta belum lama ini mengungkapkan, bahwa masjid-masjid BUMN tampaknya sudah banyak disusupi kaum radikal. Fajrul mengisahkan bagaimana seorang karyawan kontrak di Adhi Karya, Pandu Wijaya, menghina KH Mustofa Bisri dalam cuitannya di Twitter.

Pandu pernah membuat cuitan menanggapi kulwit (kuliah di twitter) KH Mustofa Bisri, 2 Desember 2016. Cuitan Pandu: “@gusmusgusmus Dulu gk ada aspal Gus di padang pasir, wahyu pertama tentang shalat jumat juga saat Rasullullah hijrah ke Madinah. Bid’ah ndasmu!” cuit Pandu (23 Desember 2016). Cuitan karyawan Adhi Karya itu langsung viral setelah direspons negatif oleh sejumlah netizen lantaran kata-katanya dianggap kasar dan menghina seorang ulama. Akibat cuitan itu, karyawan Adhi Karya pun heboh. Dan Fajrul langsung menemui Gus Mus. Atas nama Adhi Karya, Fajrul meminta maaf langsung kepada Gus Mus.

“Bagaimana ceritanya seorang karyawan Adhi Karya yang baru belajar Islam tiba-tiba menghina seorang tokoh besar selevel Gus Mus jika sebelumnya tidak diindoktrinasi kalangan radikal tertentu?” – ujar Fajrul. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata masjid besar Adhi Karya pun sudah disusupi kalangan Islam radikal tersebut. Menurut Fajrul, kondisi itu terjadi karena orang-orang Islam moderat tidak mempunyai “ghirah” seperti kaum radikal untuk menyebarkan ajaran kerasnya.

Fajrul menduga, banyak masjid BUMN yang telah “dikuasai” kalangan pro-radikal tersebut. Dana untuk pembinaan kerohanian di BUMN itu besar, ratusan milyar rupiah, kata Fajrul. Bila jatuh ke tangan mereka, ini sama saja dengan memupuk radikalisme.

Badan Intelejen Negara (BIN) menyatakan: ada 100 masjid yang dimiliki gabungan kementerian, lembaga, dan BUMN. Dari 100 masjid, 41 di antaranya terpapar paham radikal. “Berdasarkan pemetaan dari BIN, dari 100 masjid di kementerian, lembaga, dan BUMN, terdapat 41 masjid yang terindikasi terpapar paham radikal. Yaitu 11 masjid di kementerian, 11 masjid di lembaga, dan 21 masjid di BUMN,” ujar Staf Khusus Kepala BIN, Arief Tugiman, dalam diskusi ‘Peran Ormas-ormas Islam dalam NKRI’ di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Jakarta Prusat, Sabtu (17/11/2018).

Dari gambaran tersebut di atas, kita patut menduga, Indonesia sangat rawan disusupi terorisme. Menurut catatan Ihsan Ali Fauzi, radikalisme adalah bibit terorisme. Jika kaum radikal tumbuh, berarti terorisme sudah berkecambah.

Bila Indonesia ingin tetap aman damai berdasrkan Pancasila, maka pemerintah harus waspada dan tanggap terhadap fenomena “berkecambahnya” terorisme di lemba-lembaga pemerintah itu sendiri.

Radikalisme di “tubuh pemerintah” seperti di masjid-masjid BUMN adalah kanker yang menggerogoti tubuh negara. Ia harus segera diamputasi jika tidak ingin berkembang biak. (*)

Oleh Dr. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUI (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)/Lembaga Pengkajian MPR RI (2014-2019)

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Loading…

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA