Ia adalah orang yang dalam istilah Minang menjalankan prinsip hidup “dangakan kecek urang, iyokan kecek awak”. Dengarkan kata orang, tapi lakukan apa yang ingin kita lakukan sesuai keyakinan kita. Ia bagaikan batu karang jika sudah berpendapat terhadap sesuatu, sekalipun digempur dari segala penjuru.
Sebagai temannya, saya beberapa kali berhadapan dengan Denny dalam masalah seperti ini. Yang amat terasa ialah sikapnya waktu Pilkada Jakarta. Denny memilih tak mendukung Ahok, tapi sebaliknya. Sementara kawan-kawannya, mayoritas memilih Ahok. Masalahnya di banyak WAG group, Denny tanpa kompromi terus menggempur dengan tulisan-tulisan yang isinya tak mendukung Ahok. Bahkan mendiskreditkan Ahok.
Salah satu yang paling tragis adalah WAG Ciputat School, sebuah WAG yang didirikan oleh sebagian besar angkatan 80-an dan menjadi rumah diskusi yang hangat. Mayoritas memilih Ahok. Tapi Denny terus share tulisan yang tak mendukung Ahok.
Kepada Denny berkali kali saya ingatkan agar stop, tak usah kirim tulisannya di WAG tersebut demi keutuhan bersama. Tapi Denny jalan terus, tak peduli. Berulang kali saya ingatkan, ia kukuh dengan sikapnya. Ia berkata “biar saja Elza, ini pembelajaran demokrasi yang sesungguhnya. Nanti juga habis pilkada kita bersatu lagi.”
Akhirnya apa yang saya katakan menjadi kenyataan. Ciputat School ditinggalkan teman yang tak sepaham. Hubungan kami dengan teman teman yang berjalan baik puluhan tahun memburuk, bahkan sampai kini. Kepada Denny saya sering bergurau, sampai akhir zaman hubungan kita dengan teman teman itu tak akan membaik. Denny cuma tersenyum, tanpa ekspresi.
Comment