by

Mencari Pemimpin : Perspektif Al Quran dan Sunnah.



Oleh: Hanafi Tasra


KOPI, Opini – Bangsa kita saat sekarang ini sedang gencar-gencarnya mencari pemimpin yang diharapkan mampu membawa bangsa ini, menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berkeadilan.
Meskipun pilpres 2024 masih jauh, namun aromanya sudah sangat terasa menyengat.
Penulis sengaja menggunakan diksi “mencari”, karena pemimpin sejati itu, adalah seorang yang tidak mau menonjolkan diri, menawarkan diri, apalagi menjual diri untuk suatu posisi yang sekalipun sangat menjanjikan kehormatan dan fasilitas materi.
Pemimpin sejati, melihat posisi itu, lebih sebagai tugas yang mesti ditunaikan dan kerja yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam ungkapan lain, ia memandangnya berupa amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya.
Tidak mudah memang, mencari pemimpin semacam itu.
Itu sebabnya, pemimpin itu kudu dicari melalui sebuah mekanisme pemilihan yang tulus, jujur, adil dan terbuka, agar dengan cara demikian, bangsa kita bisa menemukan pemimpin yang memiliki kualitas leadership yang mumpuni.
Berkenaan dengan kualitas itu, selaku muslim kita wajib merujuk kepada Al Quran dan Sunnah sebagai sumber utama.
Di dalam Al Quranulkarim kita temukan dua istilah yang menunjuk kepada pengertian pemimpin, yaitu khalifah dan Imam.
Di dalam hadits, kita temukan tambahan satu istilah lagi, yakni Raa’in.
Ketiga istilah pemimpin diatas, tidak hanya dimaknai sebagai jabatan atau posisi, tetapi sekaligus juga peran yang harus dimainkan dan fungsi yang mesti dijalankan.
Sehingga ketiga konsep ini, dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang padu, tak terpisahkan, dan yang seharusnya ada, dan tercermin pada setiap diri pemimpin.

Fungsi kekhalifahan

Kata khalifah, pada awalnya digunakan Allah Ta’ala tatkala mengangkat Adam As menjadi wakil-Nya di muka bumi (QS 2: 30). Dari ayat diatas jelas bahwasanya kriteria utama pemimpin itu, ialah kesadarannya akan fungsi dan perannya sebagai khalifah atau wakil Allah. Ini berarti, ketika sang pemimpin bekerja mengelola sumber daya manusia dan alam yang ada, selalu menyertakan misi dan pesan-pesan ke-Ilahian. Dengan demikian, ia niscaya memiliki legitimasi kepemimpinan yang kuat.
Ditambah lagi dengan visi yang tajam dan kemampuannya dalam mendeskripsikan konsep-konsep secara baik, sehingga membuat keunggulannya itu semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat, sebagaimana malaikat memberikan pengakuan (sujud) kepada Nabi Adam As.
Bisa saja terjadi, ada pihak-pihak yang tidak mengakui kepemimpinannya, tetapi itu hanya sekelompok kecil orang yang merasa kepentingannya terusik.
Mereka akhirnya, berubah menjadi putus asa atau frustasi, yang dalam peristiwa pengangkatan Nabi Adam As, peran itu dimainkan oleh Iblis. Iblis secara kebahasaan, bermakna putus asa.
Oleh sebab itu, dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya, sang pemimpin tidak perlu takut menghadapi resistensi dari para koruptor, kolutor, dan nepotis. Khalifah akan segera memposisikan para perusak itu sebagai syaitan yang wajib dimusuhi. Dan tidak ada ruang bagi toleransi, apalagi kompromi. (QS 35:6).
Disini diperlukan keberanian dari seorang pemimpin.

Fungsi ke-Imam-an

Di dalam Al Quran, terdapat do’a yang diajarkan Allah kepada ‘Ibadur Rahman atau hamba-Nya,
“… dan jadikanlah kami Imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(QS 25:74).
Ayat di atas mengisyarat kan bahwa Allah Ta’ala membuka kesempatan seluas-luasnya bagi hamba-Nya untuk menjadi pemimpin. Dan do’a ini juga mengisyaratkan dua hal: Pertama, seorang pemimpin seharusnya orang yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Kedua, dengan prediket taqwa yang disandangnya, dia mempunyai tanggung jawab pula untuk menciptakan masyarakat yang bertaqwa.
Kriteria taqwa, merupakan conditio sine qua non bagi seorang pemimpin. Adalah sangat mustahil, seorang pemimpin yang tidak bertaqwa, akan berhasil memimpin masyarakat yang bertaqwa.
Oleh karena itu, seorang pemimpin, dalam fungsi dan perannya sebagai Imam, tidak dapat tidak, menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya, sebagaimana Nabi Ibrahim As telah menjadi tauladan dalam hal ketaa’tan, kehanifan, ketauhidan dan kemuliaan akhlaqnya.(QS 16: 120-121).
Fungsi dan peran ke Imam an dari seorang pemimpin, secara konkrit dapat dilihat pada imam shalat.
Kriteria Imam Shalat ialah yang lebih berilmu, atau yang lebih fasih bacaannya, atau yang lebih senior. Begitu selektifnya, mengingat beratnya tanggungjawab seorang Imam. Maka seorang yang “tafaqquh fid din”, tidak akan menjadikan posisi Imam sebagai ajang perebutan.
Menunjuk Imam dengan tulus, dan makmum pun menerima dengan rela hati.
Dan satu lagi yang menarik bahwa, Imam tidak sunyi dari koreksi makmum bilamana ia lupa atau salah. Bahkan ketika Imam berada dalam satu situasi yang menyebabkan wudhu’ nya batal, maka Imam dengan legowo mundur, dan digantikan oleh makmum yang dibelakangnya.
Ini mengindikasikan bahwa pemimpin itu harus memiliki integritas moral dan kejujuran yang tinggi.

Fungsi ke-Ra’inan

Raa’in berasal dari kata ra’a – yar’a- ra’yan – ri’aayatan, yang bermakna pengembala.
Rasulullah Saw dalam sebuah hadits beliau menggunakan kata ini, untuk menunjuk fungsi pemimpin.
“Setiap kamu Raa’in (pengembala), dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang digembalakannya. Seorang pemimpin, Raa’in (pengembala) bagi rakyatnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya (HR.Ahmad).
Pada fungsi ke-Raa’inannya, dituntut dari seorang pemimpin, kemampuannya untuk mengarahkan masyarakat supaya berjalan sesuai tujuan yang dicitakan, agar tidak menyimpang kesana kemari.
Ia seorang leader yang sangat memahami prinsip-prinsip leadership. Ia mengenal betul watak umum masyarakatnya, disamping mengerti pula kebutuhan dasar mereka. Empati dan kepedulian terhadap nasib rakyat, selalu ditunjukkannya, sebagaimana Rasulullah Saw ber-empati terhadap nasib umatnya.
Firman Allah Ta’ala:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari jenis kamu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Ia sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu. Amat belas kasihan dan kasih sayang terhadap orang mukmin”. (QS 9: 128).
Untuk itu, Ia harus senantiasa berada di tengah rakyatnya, dan merasakan denyut nadi kehidupan mereka.
Dengan kata lain, pemimpin itu harus merakyat, dan atas sebab itulah, Ia dicintai oleh rakyatnya.
Rasa tanggung jawab (sense of responsibility), memanglah satu hal yang mengedepan dalam fungsi ke-Ra’inan ini. Apakah mungkin, seorang penggembala yang tidak peduli terhadap keselamatan, kesehatan dan keamanan gembalaannya, akan dipekerjakan terus oleh majikannya ? Sudah barang tentu, tidak.
Maka sehubungan dengan itu, Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak seorangpun Ra’in (penggembala) yang diserahi oleh Allah untuk menggembalakan sesuatu itu meninggal, sementara dia menyeleweng dari mengurus yang digembalakannya, melainkan Allah akan mengharamkan baginya wangi syurga.” (HR.Muslim).

Semoga Allah Ta’ala menghadirkan pemimpin untuk negeri kita, yang dengan tegap berjalan pada koridor prophetik (‘Alaa Minhajin Nubuwwah).
Amin Allahumma Amin.

Opini Oleh: Hanafi Tasra

Bogor, 16 R. Awwal 1444
12 Oktober 2022

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA