
Oleh: Elza Peldi Taher, Aktivis, Penulis Buku Manusia Gerobak
KOPI, Jakarta – Menulis Denny JA seperti menulis “Bab” penting dalam hidup saya. Sejak tahun 1983 sampai sekarang, hubungan saya dengan Denny JA sangat intens. Bahkan sejak tahun 2008, saya diberi kepercayaan oleh Denny untuk mengelola sebuah lembaga bisnisnya. Amat sering kami bertemu untuk sekedar bicara hal yang rileks dan ringan tentang hidup masing masing.
Bicara dengan Denny itu asyik karena ia mau “didengar dan mendengar”. Banyak teman menilai saya adalah salah satu sahabat terdekat Denny JA. Banyak orang yang jika ingin berhubungan dengan Denny, menjadikan saya sebagai jembatan. Mereka beranggapan saya amat sangat dekat dengan Denny dan bisa mempengaruhi Denny dalam mengambil keputusan.
Bermula dari Proklamasi
Saya tak ingat persis kapan pertama kali ketemu Denny JA. Tapi tahunnya saya ingat betul, 1983. Waktu itu kami masih mahasiswa. Denny mahasiwa di Fakultas Hukum UI dan saya di FISIP UI. Kami bertemu pertama kali di Jalan Proklamasi 51, rumah pak Djohan Effendi, seorang pembaharu Islam yang cukup terkenal. Pak Djohan menyediakan rumahnya untuk tempat diskusi anak anak muda. Karena alamat rumahnya di Jalan Proklamasi, kemudian dikenal sebagai Kelompok Studi Proklamasi (KSP).
Waktu itu, sedang hangat-hangatnya buku Pergolakan Pemikiran Islam yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Buku itu berisi catatan harian Ahmad Wahib, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) Jurusan Fisika, sahabat Djohan Effendi, yang meninggal karena kecelakaan tahun 1974, di usia sangat muda. Bertahun tahun setelah Ahmad Wahib meninggal, Djohan Effendi dan Ismed Nasir menyunting catatan harian itu. Jadilah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib yang menghebohkan Indonesia era 1980-an.
Comment