by

Kredo Wilson Lalengke: Nusantara Menggugat (bagian 1)

Tulisan berseri ini dipersembahkan dalam rangka perayaan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Belanda Tahun 2020

KOPI, Jakarta – Bicara tentang Nusantara masa lalu, hampir selalu akan terbawa dua kata ini: Belanda dan Kompeni. Penjajahan Belanda atas Indonesia selama ratusan tahun itu adalah sesuatu yang tidak mudah luntur dan memang tiada akan pernah terhapuskan dari ingatan sejarah anak-anak negeri. Sebut saja, ketika disodorkan potret-potret kota dan gedung di Belanda, seorang teman Indonesia akan serta-merta mengatakan bahwa semua perolehan kemajuan pembangunan bangsa Belanda tidak lain adalah hasil “merampok” kekayaan nusantara di jaman lampau. Seorang yang lain lagi menimpali bahwa bahkan beberapa kota di Belanda seperti Amsterdam dan Rotterdam, konon katanya merupakan hasil menimbun laut dengan memanfaatkan hasil alam Indonesia di masa penjajahan itu. Pada lain kesempatan, ketika membicarakan keadaan Indonesia yang terpuruk-puruk sejak jaman merdeka hingga kini, sebagian pemikir bangsa kita percaya bahwa itu semua tidak lepas dari akibat sifat genetik “mental kuli” rakyat jajahan bentukan Belanda di era perbudakan yang tidak mungkin dirobah dalam dua tiga generasi.

Itulah sekelumit gambaran sederhana bagaimana rakyat Indonesia melihat dirinya, berkaca pada sejarah gelap masa kolonialisme Belanda di tanah air yang berlangsung lebih dari 300 tahun. Secara historis, kenyataan sejarah bangsa menjelaskan bahwa sejak perusahaan milik pemerintah kerajaan Belanda bernama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) masuk ke nusantara tahun 1602, dimulailah masa kelam itu: penguasaan bangsa kulit putih atas nenek moyang bangsa Indonesia.

Monopoli dagang dengan harga sangat rendah atas hasil rempah-rempah rakyat kemudian dijual di pasar Eropa dengan harga berpuluh-puluh kali lipat adalah strategi umum yang dilancarkan VOC. Perekrutan dan pengangkutan manusia Indonesia dari tanah leluhurnya ke daerah lain, baik antar pulau di nusantara untuk jadi kuli perkebunan Belanda, atau diangkut ke Belanda dan wilayah Eropa lainnya untuk jadi budak belian, atau sebagai kuli rendahan di kapal-kapal Belanda, hingga dibawa ke Suriname, menjadi hal lumrah.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA