by

Kredo Wilson Lalengke: Nusantara Menggugat (bagian 1)

Bila di masa penjajahan bisa leluasa melakukan monopoli perdagangan, di jaman modern, mereka menggunakan kapital uang yang dipinjamkan ke negara-negara baru seperti Indonesia. Hal yang wajar saja jika ada orang berkeyakinan bahwa sesungguhnya dana-dana yang dipinjamkan kepada Indonesia melalui berbagai badan finansial dunia, seperti IMF dan Bank Dunia, adalah uang hak milik nenek moyang bangsa Indonesia dan negara-negara bekas jajahan yang didapatkan Belanda dengan cara licik dan tidak bermoral melalui penjajahan. Pada kondisi perbedaan level ekonomi seperti itu, bagaimana kita boleh bermimpi untuk berada sejajar dengan tingkat kemakmuran negara penjajah seperti Belanda? Sekali lagi, harapan hanya akan terbetik ketika ada perubahan mendasar yang dilakukan kedua bangsa ini.

Realitas lain yang bisa diuraikan adalah keberadaan berbagai museum yang ada di Belanda, termasuk Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan lain-lain. Jelas-jelas, lebih dari dua pertiga isi museum-museum itu adalah benda-benda purbakala dan karya seni atau peninggalan masa silam, hasil karya generasi-generasi terdahulu yang diangkut dari negara-negara jajahan. Sekarang, orang berbondong dari berbagai belahan dunia bertandang ke negara Belanda. Salah satunya adalah mengunjungi museum itu untuk melihat hasil karya rampokan mereka dari nusantara dan negara jajahan lain. Devisa masuk ke saku negara Belanda, bukan ke saku anak-cucu siempunya benda pusaka itu. Sementara, Indonesia miskin dari peninggalan karena sudah “diselamatkan” oleh kaum kolonial. Pada kondisi ini, amat aneh jika kita berharap bisa sejajar secara ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain dengan negara Belanda/Eropa. Kecuali, lagi-lagi, bila ada perubahan mendasar yang menjadi komitmen baru di antara kedua bangsa.

Hal-hal tersebut di atas hanyalah beberapa dari banyak sisi sebagai contoh konkrit yang bisa dijadikan landasan pikir dalam menganalisa hubungan sejarah masa lalu kita sebagai negara terjajah dengan Belanda, penjajah Indonesia. Ketimpangan itu akan tetap langgeng, bahkan kekal hingga ke akhir masa, kecuali diadakan satu hal: “mengadilkan” kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia. Inilah yang dimaksudkan dengan perubahan mendasar yang mesti ditempuh oleh kedua bangsa. Bila hal ini diabaikan, sulit untuk berharap bahwa persoalan akan selesai. Kesalahan tidak bermoral, tidak beretika, akan tetap berlanjut dari generasi ke generasi kedua bangsa. Bangsa Belanda tidak bermoral-beretika menikmati warisan hasil jarahan pendahulunya, juga Indonesia tidak bermoral-beretika ketika hanya berdiam diri membiarkan masa kelam pendahulunya berlalu begitu saja.

Fast Response Call Wina 085772004248 (https://www.tokopedia.com/madubaduy)
______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA