Tulisan berseri ini dipersembahkan dalam rangka perayaan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Belanda Tahun 2020
KOPI, Jakarta – Andaikan saya kaya raya, tinggal di gedung besar dan megah dengan perlengkapan hidup serba mewah. Saya juga memiliki tanah yang luas yang diolah dan berproduksi sepanjang masa. Lagi, saya memiliki tabungan yang melimpah dan makin bertambah setiap saat dari hasil usaha di atas tanah yang luas tadi.
Di lain pihak, saya kebetulan bertetangga dengan sebuah keluarga yang miskin-papa. Rumahnya kardus yang kala hujan atap dan dindingnya berantakan diterbangkan angin. Makan sekali sehari sudah beruntung walau tidak bergizi; anak-anaknya tidak dapat sekolah karena ketiadaan biaya pendidikan. Begitulah gambaran kesulitan hidup mereka.
Namun hubungan kami sangat baik sebagai tetangga meskipun di balik perbedaan kehidupan saya dan tetangga ini, kami sama tahu bahwa kekayaan yang saya nikmati sekarang adalah warisan dari kakek buyut saya. Kami juga sama tahu bahwa kakek buyut saya mendapatkan tanah yang luas, dan segala harta benda saat ini dari hasil menipu kakek buyut tetangga saya itu. Tapi saat hal tersebut terjadi, kakek buyutnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena buyut saya memiliki kekuatan untuk berbuat apa saja terhadap tetangga-tetangga pada masa hidupnya.
Goran Collste, seorang profesor etika terapan dari Universitas Linkoping – Swedia, menuliskan ilustrasi tersebut di atas dalam artikelnya berkenaan dengan keadilan global. Gambaran itu merefleksikan dengan tepat ketimpangan kekuatan ekonomi dan politik antara negara-negara Barat dan dunia ketiga. Negara-negara utara begitu kaya rayanya, sementara di lain pihak negara-negara selatan harus puas dengan derita sepanjang hidupnya. Ketimpangan yang terjadi ini berkaitan erat dengan peristiwa masa lampau, masa kolonialisme Barat atas wilayah dan masyarakat negara-negara miskin.
Collste kemudian menyertakan pertimbangan etika keadilan globalnya dengan mengatakan bahwa sudah merupakan kewajiban bagi para bangsa mantan penjajah untuk merektifikasi atau malakukan tindakan “mengadilkan” tingkah laku yang salah dari para pendahulu mereka. Dengan kata lain, bahwa cara mengatasi ketidak-merataan kesejahteraan antara masyarakat negara maju dan negara tertinggal adalah melalui kebijakan “mengadilkan” kekeliruan para pendahulu mereka.
Comment