KOPI, Pontianak – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengingatkan pentingnya energi bagi kemajuan bangsa. Bahkan ketahanan energi, menurutnya, merupakan salah satu faktor penting bagi ketahanan nasional.
Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat menjadi pembicara kunci dalam FGD dengan tema Ketahanan Energi Nasional Dalam Mendukung Industrialisasi Pulau Kalimantan, di IAIN Pontianak, Kalbar, Senin (14/6/2021).
“Energi memegang peranan penting bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Energi adalah jantung yang memompa denyut nadi perekonomian. Berbagai hasil pembangunan menjadi tidak optimal tanpa ketersediaan energi yang mencukupi,” ujarnya.
Menurut LaNyalla, untuk saat ini Indonesia termasuk negara rawan dalam ketahanan energi. Sebab, cadangan bahan bakar minyak Indonesia rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama 20 hari saja. Angka tersebut jauh di bawah cadangan minyak Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang 107 hari.
“Padahal kedua negara itu tidak memiliki deposit minyak bumi,” ucap Mantan Ketua Umum PSSI itu.
Dijelaskannya, ada empat faktor yang menyebabkan ketahanan energi Indonesia yang mempunyai cadangan minyak bumi. Namun, kondisinya lebih rentan dari negara-negara konsumen. Pertama, ketahanan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia masih rendah.
“Penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia masih belum memadai saat ini. Faktanya adalah hampir semua kontraktor-kontraktor migas menggunakan teknologi asing. Struktur ekonomi Indonesia masih lemah karena mengandalkan komoditas sumber daya alam. Padahal, kekayaan yang sesungguhnya bagi sebuah bangsa adalah terletak pada kualitas sumber daya manusia,” sambungnya.
LaNyalla mencontohkan Inggris, Amerika Serikat, Jerman dan Perancis yang menjadi negara terkemuka karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada juga Jepang, Taiwan, Korea, China serta Malaysia dan Singapura yang semuanya bangkit dengan menguasai Iptek terlebih dahulu.
“Makanya, jika Kalimantan Barat ingin maju maka mari kita desain kemajuan itu dengan mengandalkan kualitas sumber daya manusia,” ungkap alumni Universitas Brawijaya Malang tersebut.
Kedua, Indonesia rentan ketahanan energi karena bagi hasil dari sektor pertambangan migas belum adil. Saat ini di Indonesia beroperasi beberapa kontraktor minyak asing yang menguasai sekitar 65% atau 329 blok migas. Sementara perusahaan nasional hanya menguasai 24,27% dan selebihnya adalah patungan antara perusahaan asing dan nasional.
“Para kontraktor asing hanya wajib menyetor 25% dari hasil produksi mereka untuk kebutuhan domestik. Kondisi ini jelas merugikan Indonesia sebagai pemilik cadangan migas,” jelasnya.
Ketiga, permintaan energi Indonesia yang tinggi. Terutama energi final yang hingga tahun 2050 masih akan didominasi oleh sektor industri dan transportasi seperti pada tahun 2019.
Permintaan di sektor industri proyeksinya sejalan dengan proyeksi pertumbuhan industri pada “Visi Indonesia 2045”. Sedangkan permintaan energi di sektor transportasi dipengaruhi oleh pertumbuhan kendaraan bermotor.
Pada tahun 2050, menurut LaNyalla, sektor industri akan lebih mendominasi dibandingkan sektor lainnya sehingga pangsanya menjadi 42% pada skenario Bisnis Normal, 40% pada skenario Pembangunan Berkelanjutan dan 37% pada skenario Rendah Karbon.
“Oleh karena itu, setuju dengan analisa beberapa pakar ekonomi energi, jika Indonesia bisa memakai energi yang lebih murah sebagai pengganti BBM, maka dapat dihemat minimal Rp 100 triliun,” ucapnya.
Keempat, belum optimalnya komitmen Indonesia untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) membuat ketahanan energi nasional semakin rentan. Padahal Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan sumber-sumber EBT. Hanya saja pengembangan EBT terkesan sporadis dan tergantung kepada kepentingan politik sesaat.
“Perlu upaya sungguh-sungguh dan sistematis untuk memperbaiki keadaan ini. Agar Indonesia mempunyai ketahanan energi yang bagus,” lanjutnya.
Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus bertambah LaNyalla menyarankan penggunaan semua energi alternatif yang feasible dan proven harus dilakukan, seperti energi Geothermal dan Hidro.
“Sementara energi Surya, Angin dan Gelombang Laut yang memiliki potensi besar juga harus mulai dieksploitasi,” tukasnya.
Dalam FGD ini, LaNyalla turut didampingi Anggota Komite III DPD RI Maya Rumantir, Ketua BKSP DPD RI Gusti Farid Hasan Aman, serta tiga senator Dapil Kalbar yakni Erlinawati, Maria Goreti, dan Sukiryanto.
Rombongan DPD diterima langsung oleh Rektor IAIN Pontianak Dr. H. Syarif, S.Ag., MA.
FGD juga dihadiri Gubernur Kalbar, Sutarmidji yang menjadi salah satu narasumber. Selain itu juga ada Wakapolda Kalbar Brigjen Pol Asep Safrudin dan Kasdam XII/Tanjungpura, Brigjen TNI Jaka Budhi Utama.
Dua pembicara lain dalam FGD adalah Peneliti Ahli Utama BATAN, Prof.Ir. Yohannes Sardjono dan Rektor Universitas Tanjung Pura Prof. Dr. Garuda Wiko, S.H., M.Si. Kegiatan FGD dilakukan secara langsung dan daring dengan protokol kesehatan yang ketat.
Rektor IAIN Pontianak Dr. H. Syarif, menyatakan kampus yang dipimpinnya sedang berusaha beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Saat ini, IAIN sedang mempersiapkan persyaratan yang dibutuhkan.
Gubernur Kalbar pun meminta agar DPD RI bisa membantu menjembatani kepada pemerintah supaya proses alih status cepat selesai.
“Silakan diajukan ke kami. Di Kalbar ada Bu Erlina di Komite III, nanti saya akan berjuang untuk disampaikan ke presiden. Asal lengkap dan siap (persyaratan), Insya Allah. Kemarin kita ajukan 9 IAIN menjadi UIN, 6 sudah keluar, yang 3 sedang dalam proses karena ada persyaratan yang perlu diperbaiki,” papar LaNyalla. (*)
Comment