Oleh: Dr. Ir. Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor
KOPI, Jakarta – Banjir besar yang melanda Jakarta awal tahun 2020 seharusnya disikapi dengan kritis. Sikap saling menyalahkan – siapa yang harus bertanggungjawab atas musibah banjir besar itu – jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Malahan, hal itu membikin suasana makin tak menentu: alih-alih mencari solusi, yang terjadi malah saling mencaci.
Satu hal yang jelas, Jakarta adalah kota yang niscaya di musim hujan akan banjir. Ini terjadi karena kota Jakarta berada di dataran rendah. Kondisi itu diperparah lagi dengan adanya 13 muara sungai di sepanjang pantai utara Jakarta.
Tak hanya itu. Wilayah Jakarta pun berada di “bawah” Kota Hujan Bogor. Kita tahu, Bogor adalah daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Jangankan di musim hujan, di musim kemarau pun, hujan sering turun di Kota Hujan itu.
Di musim hujan, tentu saja, Bogor dan sekitarnya curah hujannya sangat tinggi. Limpahan air hujan tersebut, niscaya akan mengalir ke Jakarta. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad. Karena ia merupakan “hukum alam”. Air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Berarti air akan mengalir dari Bogor ke Jakarta.
Alam merespon fenomena tersebut dengan menumbuhkan hutan di wialayah Jakarta. Juga membentuk “penampuang air” berupa rawa-rawa yang jumlahnya ratusan di wilayah Jakarta. Dengan banyaknya hutan dan rawa tersebut, banjir pun bisa dikendalikan oleh alam. Paling tidak, banjir bah yang destruktif seperti awal tahun 2020, terkendali dan terkurangi.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Kita tahu, Jakarta terus berkembang. Penduduk makin padat. Bangunan makin banyak. Hutan di Jakarta makin langka. Lahannya dikonversi menjadi bangunan. Begitu juga rawa. Tempat penampungan air dari Bogor ini pun diuruk dan berubah jadi pemukiman dan perkantoran.
Comment