by

Catatan dari Seminar Mengintip Demokrasi: Humor untuk Melawan Praktik Ninabobo

KOPI, YogyakartaEra demokrasi yang selama ini digerakkan oleh massa, kini tidak kontekstual lagi dengan hadirnya big data. Segala hal bisa dipetakan sampai ke tingkat individual dengan tujuan untuk alat pengontrol.

Dengan metode penghitungan kuantifikasi perilaku pemilih dan kekuatan finansial, amat mudah siapa pun yang memahami algoritma internet memanipulasi selera populer. Hal dominan yang sekarang terjadi adalah praktik populisme politik populer berbasis pemetaan big data para pemilih membuat manuver politik semakin bisa dihitung.

Hal ini disampaikan oleh peneliti Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Dominggus Elcid Li pada seminar ‘Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor’ yang diselenggarakan oleh FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Kamis (7/12/2023).

Selain Elcid Li, hadir sebagai pembicara Direktur MURI Jaya Suprana, komedian Anang Batas, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Ranggabumi Nuswantoro, dan dosen Program Studi Sosiologi Lucinda.

Politik Komputasi

Menurut Elcid Li, salah satu kekeliruan utama yang biasa diterima secara normatif adalah ‘anak-anak muda sekarang seleranya lain’. Persoalannya, orang tidak melihat bagaimana fenomena ini terbentuk. Misalnya, dengan membuka rekayasa sosial (social engineering) yang dimungkinkan dengan politik komputasi (computational politics) yang bisa memanipulasi hingga ke tingkat individual.

“Jangan heran ketika perdebatan yang sifatnya substantif di level kenegaraan, ketika turun ke level bawah, jatuhnya hanya soal kibasan tangan, isu rumah tangga, dan lain-lain,” ujar Elcid.

Rekayasa Sosial

Perang di jagat maya ini berhasil membuat seluruh kritik dibungkam. Orang yang memiliki pengetahuan tentang orang lain bisa mendesain dan memanipulasi kawanan lain karena pengetahuan yang tidak berimbang (epistemic asymmetry).

“Bagi saya, bukan lagi soal perilaku Gen Z sebagai pemilih terbesar, tetapi soal computational logic yang dijalankan secara efektif dalam memanipulasi perilaku pemilih. Tak hanya computational politics, dengan kombinasi kekuasaan presiden yang mendekati absolut, membuat social engineering menjadi sempurna,” tambahnya.

“Siapa pun yang mampu secara riil memetakan sampai ke level bawah, penguasaan terhadap data, penguasaan berbagai instrumen kekuasaan, sumberdaya yang sangat kuat, tidak usah berbuat apa pun, dia akan menang,” ujar Elcid.

Menurut Elcid, dengan kondisi demikian, kelihatan sekali saat ini posisi Prabowo-Gibran di atas angin karena epistemic asymmetry, juga karena technocratic dominance ala Jokowi. Target dari tim Prabowo, dengan modus teleological replacement adalah dengan mendesain atau mengatur agar Gibran menjadi sasaran target dari pendukung Ganjar.

“Sekian banyak humor, komik, dan meme yang disebarkan untuk menyerang Gibran, aslinya memang disengaja agar agenda Ganjar menjadi tidak muncul atau tidak disorot. Posisi yang paling pas malah sedang dikerjakan Anies, dengan tidak menyerang Gibran/Jokowi dan hanya menampilkan program Anies,” ujar Elcid.

Humor Itu Serius

Menurut komedian Anang Batas, humor itu serius, menyenangkan tapi juga membahayakan demokrasi. Hal ini tergantung pada materi apa, siapa yang menyampaikan, tepat tempat, dan tepat audience.

“Humor bisa jadi nilai plus tapi bisa jadi minus ketika kita bersuara bukan di ranah atau di tempat yang tepat,” ujar Anang.

Terkait plesetan, Anang menjelaskan bahwa jenis humor ini sudah ada sejak abad 8 dan mendapat ruang yang penting di kerajaan. Ketika itu, abdi dalem raja diminta untuk menghibur rajanya. Abdi dalem boleh mengkritik rajanya lewat humor.

“Humor zaman dulu tidak pernah sevulgar sekarang, mencubit tak bikin sakit. Tapi komedi sekarang, sudah vulgar tapi tidak terasa,” tambah Anang.

Antitesis pada Pemilu 2024

Mengutip buku “Kuasa Rakyat”, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta Rangggabumi Nuswantoro menjelaskan tiga pertimbangan seorang pemilih ketika menentukan pilihannya. Pertama, pertimbangan sosiologis, khususnya berbasis agama. Kedua, seiring berjalannya waktu beralih ke pertimbangan psikologis, bagaimana calon memberikan rasa aman, rasa nyaman. Ketiga, yang ideal, adalah pertimbangan rasional.

Ketika perilaku pemilih bergerak maju, ujar Rangga, semakin hari kita melihat kenyataan yang berbeda. Pemilu 2014, seperti ada angin segar. “Dari masa konsolidasi demokrasi, kita melihat sebuah harapan ketika pemimpin seperti Jokowi lahir dari bawah. Masyarakat kita mulai melihat aspek psikologis dan melihat sesuatu yang lebih substansial,” ujar Ranggabumi.

Yang menarik, kata Rangga, pada 2024, ada antitesis yang muncul. Pada 2016, saat pilkada Jakarta, kita berpikir bahwa masyarakat Indonesia makin rasional. Tahun 2024 tampaknya kita masih punya pekerjaan rumah bagaimana sebagai masyarakat kita bisa semakin rasional.

Humor untuk Melawan Praktik Ninabobo

Menurut Rangga, rasionalitas politik kita seakan-akan dijebak pada kondisi yang akhirnya kita dituntut untuk mempertahankan apa yang disebut zona nyaman. “Selama sembilan tahun kita diberi narasi akan menjadi bangsa besar, bonus demografi, yang membuat masyarakat melihat kondisi ini adalah kondisi yang nyaman. Ada sebuah ketakutan jangan-jangan kita tidak bisa melanjutkan situasi yang baik,” kata Rangga.

Dibalut dengan politik riang gembira, humor tidak lagi dilihat sebagai kritik, tapi menjadi meninabobokan rasionalitas. Kita perlu melihat, pada Pemilu 2024 sebanyak 60 persen diikuti usia di bawah 40 tahun ke bawah atau generasi yang lahir pasca 1998. Mereka tumbuh dengan narasi demokrasi yang sudah lepas dari horror 1998 dan Indonesia akan menjadi negara besar di tahun Indonesia emas.

“Saat ini ada kecenderungan untuk lebih menyukai pendekatan yang menawarkan kesenangan, membuat kita happy. Ibi banyak dimainkan oleh media. Artinya, di dalam narasi yang dimunculkan menjauhkan politik dari hal-hal yang sifatnya substansial,” ujar Rangga.

Narasi Tandingan

Menurut Rangga, humor pada titik ini, pada Pemilu 2024, perlu dipakai sebagai pendekatan untuk menekan rasionalitas politik yang mencoba kritis pada situasi politik bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. “Kita bisa melihat apa yang ada pada sebuah masa lalu, ada di masa ini,” tegas Rangga.

Kita perlu memunculkan narasi tandingan. Mengajak orang muda untuk berpikir lebih substantif karena arena itu kini hanya diisi dengan narasi yang meninabobokan. Rangga mencontohkan bagaimana media seperti Tempo menemukan cara dan pendekatan baru bagaimana masuk ke pusaran politik, berbau humor dan obrolan ringan, misalnya lewat Podcast Bocor Alus.

“Saya melihat cara itu berhasil. Tempo akhirnya mau turun gunung. Apa yang dilakukan Tempo menjadi menarik bagi kita sebagai bagian dari masyarakat sipil,” tukas Rangga.

Rangga mengajak para komedian untuk turun gunung karena humor saat ini justru dipakai untuk meninabobokan daya kritis publik. “Seolah kalau ada yang mengkritik, kita dianggap menjadi pihak yang mengingingkan politik tidak damai,” tambahnya. (DMG/Red)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA