KOPI, Bekasi – Mesir – bumi para nabi – kini makin kacau. Sejak Ikhwanul Muslimin (IM) berkuasa, yang kemudian dikudeta Jenderal Abdul Fatah El-Sisi, kekerasan makin meruyak. Salah satu peristiwa yang mengguncangkan Mesir – selain pembakaran gereja dan bom bunuh diri di kawasan Kristen – adalah pembantaian 500 orang jamaah tasawuf yang sedang salat Jumat. Peristiwa November dua tahun lalu itu, menjadi peringatan bagi Mesir: betapa kejamnya terorisme yang mendasarkan gerakannya kepada paham radikal wahabisme.
Kisahnya: Ketika jamaah sebuah tarekat tasawuf baru saja menyelesaikan ibadah salat Jumat (24/11), di Masjid Al-Raudhah, Kota Bir el-Abd, 50 km barat Kota El-Arish, Sinai Utara, tiba-tiba mereka diberondong senapan otomatis. Masjid itu dikepung 30 teroris bersenjata berat. Lalu, para teroris bertopeng menembaki 500-an orang jamaah. Tak hanya itu, bom pun diledakkan teroris di dalam masjid, sedangkan mobil-mobil jamaah di halaman masjid dibakar. Suasana kacau balau. Darah berceceran. Jamaah masjid bergelimpangan, histeris, dan kepulan asap mobil-mobil yang dibakar menyelimuti udara sekitar Al-Raudhah. Suasananya seperti peperangan.
Apa kesalahan jamaah di masjid Al-Raudhah tersebut? Mereka dianggap melakukan praktik-praktik ritual yang dilarang Islam. Masjid ini adalah tempat berkumpulnya penganut tarekat – jamaah yang menjalankan praktik tasawuf – yang “diharamkan” oleh kelompok Islam radikal di Mesir yang berpaham Wahabi-Salafi.
Akibat serangan teroris itu, 305 jamaah Al-Raudhah tewas, termasuk 27 anak, sedangkan 128 orang lainnya luka parah. Tragedi Al-Raudhah ini tercatat sebagai serangan teroris terbesar di Mesir dalam 25 tahun terakhir. Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah dalang terorisme di Kota El-Arish itu.
Kita masih ingat, April 2017 lalu—tepatnya Minggu pagi (9/4)—dua serangan bom mengoyak kesyahduan umat Kristiani yang juga sedang beribadah. Saat itu umat Kristen Koptik Mesir sedang memperingati perayaan Minggu Palma di dua gereja kuno: Mar Girgis di Kota Tanta, 100 km utara Kairo dan Katedral Santo Markus di kota wisata Alexandria. Ledakan bom bunuh diri di Mar Girgis itu menewaskan 27 orang dan melukai 78 orang lainnya, sedangkan di Katedral Santo Markus menewaskan 16 orang dan melukai 41 orang lainnya.
Melalui kantor berita Amaq, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas dua kejadian itu. Hampir semua aksi terorisme di Mesir dilakukan Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS di Mesir tadi.
Kita tahu, Mesir sebelumnya merupakan negara yang relatif aman dari terorisme. Pada zaman Hosni Mubarak (1981-2011), misalnya, rezim Mesir bisa mengendalikan keamanan negara. Tapi setelah Mubarak jatuh (2011) dan gerakan Arab Spring (yang ingin melakukan demokratisasi di negara-negara Arab) melanda Mesir, terorisme bermunculan.
Partai Ikhwanul Muslimin (IM atau Ikhwan) yang memenangkan pemilu di Mesir (2012) dikudeta militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah El-Sisi, presiden Mesir sekarang. Ikhwanul Muslimin kemudian dijadikan organisasi terlarang karena diduga menjadi sarang pendidikan terorisme (2014). Sejak itulah, Mesir terus dilanda berbagai kekacauan.
Pertimbangan Jenderal Abdul Fatah membekukan IM memang berdasarkan perkembangtan mutakhir dalam bagan terorisme. IM didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Bana, seorang intelektual yang ingin menjadikan Mesir sebagai negara Islam. Keinginan Al-Bana menarik perhatian Sayyid Qutub, penulis tafsir Fii Dzilalil Qur’an. Qutub yang awalnya aktivis gerakan kiri (sosialis), setelah bergabung dengan IM berubah menjadi aktivis gerakan kanan. Mukti Ali Qusyairi, intelektual NU yang lama kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, menyatakan Sayid Qutub, awalnya seorang sastrawan dan aktivis gerakan sosialis (kiri) Mesir. Setelah bergabung dengan IM, gerakan sosialis kiri Qutub diisi dengan jargon-jargon Quran, sehingga terlihat seperti gerakan ekstrim kanan.
Dari “pondok” Sayyid Qutub inilah, lahir seorang murid militan yang kemudian menjadi tokoh ekstrimis kanan, Abdullah bin Azam. Kemudian Azam melahirkan tokoh Aiman Al-Jawahiri. Dan Al-Jawahiri melahirkan Osama bin Laden. Dari jejaring tersebut, lahir organisasi teroris Al-Qaidah, ISIS, Al-Nusra, dan lain-lain. Di Indonesia, ideologi IM, gerakannya diadopsi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Ansharud Daulah, HTI, dan lain-lain. Dengan gambaran seperti itulah, Jenderal Abdul Fatah menutup IM. Selanjutnya, ia menyatakan IM organisasi terlarang karena terlibat dalam gerakan terorisme.
IM memang sebuah dilema. Sebelum Arab Spring, organisasi ini sangat terhormat di dunia Arab, apalagi ketika Dunia Arab masih sangat bersitegang dengan Israel yang menduduki Palestina. Ikhwanul Muslimin saat itu menjadi ”ikon” perjuangan pembebasan Palestina. Penataan organisasi yang bagus, kaderisasi yang sustainable, tingkat intelektualitas yang tinggi, dan militansi yang hebat menjadikan Ikhwanul Muslimin se-bagai organisasi yang disegani dunia Arab.
Namun, apa yang terjadi kemudian pada organisasi IM bentukan Hasan al-Bana ini? Radikalisme dan ekstrimisme berkembang setelah para pemimpinnya bermain politik dan haus kekuasaan. Hubungan IM dan organisasi-organisasi radikal pun bersifat resiprokal. Saling mengisi. Karena itu, tuduhan bahwa IM terlibat dalam pembantaian di masjid Al-Raudah bukan isapan jempol belaka. Jika kemudian ISIS menyatakan bertanggung jawab, ketahuilah, inspirasi ISIS tersebut berasal dari IM.
Namun, membubarkan IM bukan perkara mudah. Di Mesir, misalnya, melarang keberadaan IM sangat sulit, karena jumlah anggota IM di seluruh dunia Arab lebih banyak daripada penduduk Mesir sendiri. IM adalah organisasi transnasional. Cita-citanya mendirkan daulah islamiyah dengan menggabungkan negara-negara kebangsaan (transnasional).
Mesir, misalnya, kesulitan melenyapkan IM karena mayoritas rakyatnya adalah pengikut ikhwan. Jenderal Abdul Fatah jelas kesulitan menghadapi dilema besar tersebut. Kemudian ia menghadapinya dengan tangan besi. Tragisnya, dalam kondisi dilematis itu, ISIS masuk ke Mesir dengan ideologi ultrakonservatifnya. Selanjutnya, IM dan ISIS membangun relasi yang resiprokal.
Kita tahu, konservatisme dan ekstrimisme ISIS mulanya berakar pada ajaran Wahabi yang didukung Kerajaan Arab Saudi. Dengan dana besar, Arab Saudi menyebarkan paham Wahabi ke seluruh jazirah Arab, bahkan ke seluruh dunia. Dalam novel ”Inside The Kingdom” karya Carmen bin Laden disebutkan bahwa 6% dari hasil minyak Saudi digelontorkan untuk penyebaran paham Wahabi.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Konservatisme dan wahabisme justru me-mukul balik ”tuan-tuannya”. Saudi Arabia dan negara-negara Arab petrodolar justru direpotkan dengan ulah terorisme ISIS. Tuan-tuan pemelihara ISIS seperti Saudi Arabia, UEA, Mesir, dan Kuwait kini ramai-ramai mengutuk ISIS. Maka, kondisi politik dunia Arab pun karut-marut. Mesir dilanda kekacauan. Yaman jadi padang kurusetra perang proxy antara Iran dan koalisi Saudi. Suriah porak poranda. Qatar yang masih berkawan dengan IM dikucilkan. Oman mulai goyah. Dan Saudi Arabia mulai kehabisan tenaga. Tinggal tunggu waktu, negara-negara Islam di Timur Tengah terlibat pertikaian dan perang tak berujung.
Dalam situasi seperti inilah, seharusnya para pemimpin Arab mencari ”mediator” yang bisa mempersatukan semuanya. Apa mediator itu? Kalau mau jujur, seharusnya agama Islam-lah yang menjadi mediator. Karena semua elemen organisasi tadi terikat dengan Islam. Dalam kaitan ini, Islam model apa yang seharusnya menjadi mediator? Islam yang rahmatan lil-alamin. Yaitu Islam yang ramah dan rahma. Islam yang mengedepankan perdamaian dan keselamatan dunia. Bukan Islam yang mengedepankan kekuasaan, kekerasan, ekspansi, dan hegemoni. Bukan Islam yang ekstrimis, anarkis, dan teroris.
Saat ini Mesir kelojotan melihat perkembangan gerakan Islam takfiri. Wanita bercadar sebagai simbol gerakan takfiri makin meruyak di Mesir. Meski Universitas Al-Azhar dan instansi pemerintah telah melarang kaum cadar di lingkungan birokrasinya, tapi gerakan takfiri tetap berkembang di mana-mana. IM yang “tersembunyi” dituduh El-Sisi berada di belakang gerakan takfiri dengan simbol gamis, celana cingkrang, dan cadar itu.
Bagi kita di Indonesia, apakah fenomena Mesir itu akan berimbas di tanah air? Sangat mungkin jika kita melihat perkembangan wahabisme dan radikalisme yang meruyak di nusantara belakangan ini. Agen-agen penyiaran wahabisme seperti Radio dan TV Roja saja, selama puluhan tahun sudah membentuk jaringan di seluruh Indonesia. LIPIA – lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab — milik Kerajaan Saudi Arabia yang memberikan pendidikan bahasa Arab dan agama Islam secara gratis (bahkan mendapat sangu hidup) – yang menurut KH Mukti Ali Qusyairi adalah agen wahabisme, kini tidak hanya berdiri di Jakarta. Tapi juga di Yogya, Makassar, dan kota-kota lain.
Wahabisme yang disebarkan LIPIA (berdiri pertama kali di Jakarta tahun 1982), pada gilirannya menginisiasi kelahiran gerakan Tarbiyah. Gerakan tarbiyah ini terinspirasi dari IM, yang semula bernama Harakah Tarbiyah atau gerakan pendidikan.” Gerakan inilah yang melahirkan Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melalui kegiatan halaqah (forum pendidikan) dan daurah (diskusi). Sejumlah penggiat utama KAMMI lantas mendirikan Partai Keadilan, sebelum kemudian berganti nama menjadi PKS pada 2003. Itulah sebabnya, kenapa PKS selalu membela gerakan khilafah di tanah air. Ideologi IM-nya Hasan al-Bana menjadi sandaran PKS. Dan, alumni LIPIA yang jumlahnya mencapai puluhan, bahkan ratusan ribu, kini menjadi agen-agen wahabisme di seluruh tanah air.
Akhirnya kita berharap, pemerintahan Jokowi bisa belajar dari fenomena Mesir. Jangan biarkan “radikalisme” tumbuh di Indonesia. Hapus ajaran radikalisme mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Terutama mazhab takfiri dan ideologi yang memback-upnya.
____________
Catatan: Ada sejumlah alumnus LIPIA yang mbengal dari wahabisme, antara lain, Ulil Abshar Abdalla. Tapi 99% alumni LIPIA, tetap konsisten menjadi agen wahabisme di Indonesia.
Comment