by

Kisah tentang Apid dan Kyai Syukron Makmun

Oleh: Syaefudin Simon

KOPI, Bekasi – Pria ganteng di sampingku, namanya Hafid. Aku memanggilnya Apid. Ia orang Tegalgubug asli. Ia tak pernah tahu wajah ayahnya kecuali di foto yang sampai sekarang selalu terselip di dompetnya. Ayahnya, Supardi, tewas tertabrak mobil ketika Apid masih jabang bayi, 38 tahun lalu.

Apid dekat denganku. Karena ayahnya, waktu masih hidup juga dekat denganku. Supardi, ayah Apid, menikah dengan Rofiah, tetangga sekaligus kerabatku. Supardi pernah menyatakan, wajah Rofiah — istrinya — seperti rambutan ropiah. Manis tanpa rasa asam sedikit pun. Aku hanya mesem. Maklum manten anyar.

Rambutan ropiah memang amat terkenal di Betawi. Buahnya plontos, tapi manisnya ya ampuuun. Kalau musim rambutan, Supardi selalu membawa rambutan ropiah dari kampungnya di Betawi untukku di Tegalgubug.

Saking dekatnya, aku sering ke Jakarta. Dolan ke rumah Supardi di Senopati Dalam. Saat itu aku masih SD kelas enam. Tapi sudah berani ke Jakarta sendirian. Biasanya aku naik bus Ramo. Ini bus favorit karena suara mesinnya seperti pesawat jet. Ramo adalah bus paling ngebut. Tapi ya, secepat cepatnya Ramo, waktu tempuh Tegalgubug-Jakarta (sudah ada jalan raya Cirebon-Jakarta tahun 1970-an yang membelah Tegalgubug dan Susukan) paling cepat 8 jam. Sebab banyak sekali persilangan jalan kereta api sejak Jatibarang sampai Kerawang. Mungkin puluhan persilangan. Kadang kereta api masih jauh, pintu rel ditutup. Lalu pedagang asongan pun menyerbu ke dalam bus.

Kalo berangkat jam 7 pagi, baru sampai terminal bus Lapangan Banteng jam tiga sore. Dari Lapangan Banteng naik bus lagi jurusan blok M, turun di Senopati. Dari halte, rumah Supardi sekiatar 200 meter. Masuk ke dalam gang yang masih rimbun pohon rambutan dan kecapi.

Supardi, memang besar di Betawi. Di kampung Senopati Dalam, sebelah ponpes Darur Rahman, asuhan KH. Syukron Makmun. Ayahnya Supardi, Pak Mahadi, orang asli Tegalgubug sangat dekat dengan Kyai Syukron Makmun.
Mahadi tergolong orang Tegalgubug yang sukses berdagang di Jakarta. Ia pedagang kaki lima, tapi rajin menabung sehingga bisa beli becak, bangun rumah, dan punya tanah yang luas di kampung Senopati Dalam.

Mahadi, punya tanah luas di Betawi, tetutama di Senopati. Ia bikin kos-kosan. Ratusan pintu. Ia juga juragan becak. Becaknya ratusan. Pengemudinya sebagian besar orang (Segeran) Indramayu dan Tegalgubug (Cirebon). Jika aku sudah sampai di Senopati, suasananya Cirebon banget. Apalagi di samping rumah ada ponpes Baitur Rahman. Tiap malam Jumat ada yasinan. Sebelum solat fardhu ada puji-pujian salawat nabi. Persis seperti di Tegalgubug. Maklumlah Kyai Syukron yang asal Madura adalah orang NU seperti halnya orang Tegalgubug.

Mahadi, kakeknya Apid, memang dekat dengan Kyai Syukron. Mahadi itu pula yang memperkenalkan Kyai Syukron ke Tegalgubug. Jika ada hajatan, entah sunatan, mantenan, maupun imtihan Kyai Sukron itulah penceramahnya. Karena ceramahnya Kyai Sukron enak dan menyegarkan — suaranya etes dan gagah, tidak seperti Gus Baha yang kalem dan ngedumel — Kyai Syukron lama-lama ngetop di Cirebon. Kalau ceramah di Cirebon, nginepnya ya di rumah Mahadi, kakeknya Apid. Itulah sebabnya, ketika Apid mulai sekolah, kakeknya memesantrenkan Apid di Darur Rahman, ponpesnya Ki Sukron Ma’mun di Senopati.

Kembali ke Supardi. Ia, yang anak orang kaya di Senopati ini, mesantren di Babakan, Ciwaringin. Tapi karena anak orang kaya, dia lebih banyak motor-motoran. Maklumlah di seluruh Tegalgubug, bahkan di Kecamatan Arjawinangun dan Ciwaringin, tahun 1970-an, orang punya motor Vespa Super bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Salah satunya Supardi. Ia pakai Vespa Super warna biru.

Beruntungnya aku sering diajak bonceng motornya Supardi. Kalau sudah bonceng Vespa …wow…aku senyum sendiri. Naik motor Vespa yang … den..den..den..suara mesinnya nikmat sekali. Bau asapnya juga sering kuhirup. Sedap! Aku sering diajak Supardi ke mana-mana naik Vespa karena ia mengira aku bisa jadi makcomblangnya. Supardi naksir Ropiah, tetanggaku yang juga masih kerabatku.

Tentu saja, Ropiah yang ditaksir Supardi akhirnya luluh. Entah karena gantengnya atau Vespanya. Mungkin dua-duanya. Akhirnya Supardi-Rofiah menikah ketika keduanya masih sekolah di Tsanawiyah. Pernikahannya tak lama. Mungkin baru tiga tahunan, ketika Supardi yang berboncengan dengan Rofiah naik Vespa Super, tersenggol truk di desa Pegagan Palimanan. Rofiah terpental ke trotoar. Selamat. Tapi Supardi terlindas truk. Tewas. Saat itu Apid baru berumur dua tahunan.

Aku yang takut sekali dengan orang mati, sampai mengungsi dua minggu waktu Supardi meninggal. Takut sekali kalo kalo Supardi menemuiku. Maklum kamar tidur Supardi-Ropiah bersebelahan dengan kamar tidurku, hanya terpisah longkrangan kecil. Jadinya aku sulit tidur. Takut Supardi tiba-tiba mendatangiku.

Sepeninggal ayahnya, Apid dipelihara neneknya. Ia sangat dimanja. Minta apapun pasti dipenuhi. Termasuk minta nikah saat usianya 18 tahun. Apid pun berkeluarga saat usia belia. Dari mana uang untuk menghidupi keluarganya? Menjual satu persatu warisan orang tuanya. Sampai akhirnya habis. Setelah nenek dan kakeknya meninggal, Apid pun kebingungan. Bersandar ke siapa? Harta warisan habis. Ayah meninggal. Kakek neneknya meninggal. Ibunya nikah lagi, punya anak banyak. Ya, Apid pun, mulai belajar hidup dari nol. Orang yang terbiasa hidup berkecukupan dengan harta warisan tiba-tiba semuanya habis.

Ya, namanya juga orang Tegalgubug. Asal mau kerja keras, rajin baca surat Al Waqiah dan sering ziarah kubur ke Kyai Gede Suro, pastilah berhasil. Apid dan istrinya mulai dagang konveksi kecil-kecilan. Entah bagaimana, istrinya tertarik bisnis online. Berdua, suami-istri, nekad bisnis online tanpa modal. Di Tegalgubug hal itu memungkinkan. Karena infrastrukturnya sudah terbentuk. Ada pemasok produk, ada pasar, ada konsultan IT, dan terpenting ada kerjasama dan kesalingpercayaan antarpedagang-pemasok.

Sim Salabim…Apid pun tetiba menemukan lahan bisnis. Tanpa modal. Ia serius menjalankan bisnis online (BOL). Berhasil. Ketika pandemi mendera, justru BOL-nya melejit. Maret dan April Kang Udin, ujar Apid, tiap hari aku mendapat omzet 50 sampai seratus juta.
Padahal saat itu, pandemi baru merangsak. Sekarang Apid sudah kembali jadi orang kaya berkat BOL. Tapi hubungannya dengan Kyai Sukron tetap terpelihara. Kalau ke Jakarta aku pasti mampir ke ponpes Darur Rahman di Jagakarsa, ujarnya.

Jagakarsa? Bukankah dulu di Senopati? Ya sejak 2015, ada pengusaha yang ngajak tukar guling antara tanah ponpes di Senopati dengan tanah di Jagakarsa. Ki Sukron tak minta duit. Beliau minta dibangunkan ponpes Darur Rohman di tanah seluas 35 hektar di Jagakarsa. Pengusaha itu pun setuju.

Kalau ketemu denganku, kata Apid, Ki Syukron masih ingat kakekku, Mahadi. Maklum dulu kakek akrab sekali dengan Ki Syukron. Saat pertama datang ke Jakarta, kakeklah yang banyak membantu kegiatan pengajian dan dakwah Kyai Syukron — tambah Apid bangga.

Apid, seperti halnya orang Tegalgubug yang lain, rajin silaturahmi ke para kyai. Baginya, kekayaan itu hanya sementara. Aku sekarang berhasil, besok lusa belum tentu, kang. Katanya sambil menunjukkan kaos syar’i dagangan onlinenya.

Bagiku, ujar Apid, yang penting silaturahmi dengan kyai-kyai terpelihara. Aku berharap harta yang aku miliki bermanfaat untuk umat. Seperti pesan kakekku. (*)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA