KOPI, Jakarta – PDIP adalah Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo dalam politik pemilu Indonesia. Dalam satu pertandingan sepak bola, baik Lionel Messi atau Ronaldo tak jarang mencetak Hattrick: 3 goal sekaligus. Dalam satu musim kejuaraan, baik Lionel Messi ataupun Ronaldo juga seringkali menyumbangkan jumlah goal terbanyak.
Jika kita ibaratkan pemilu bebas pasca reformasi sebuah pertandingan, PDIP juga sudah mencetak Hattrick. Ia satu- satunya partai politik yang pasca 1998 memenangkan pemilu sebanyak tiga kali (Hattrick) 1999, 2014, dan 2019.
Ditamsilkan pemilu bebas pasca reformasi itu sebuah musim kejuaraan, PDIP juga mencetak skor tertinggi. Di tahun 1999, perolehan PDIP sebanyak 33,74 persen. Ini adalah dukungan tertinggi (skor) yang tak kunjung pecah hingga hari ini.
Karena rekor itu, wajar saja kita meletakkan harapan tinggi pada PDIP. Sebagaimana wajar pula kita berharap prestasi spektakuler selanjutnya di sepak bola kepada Lionel Messi dan Ronaldo.
Pertanyaannya, siapkah PDIP dengan harapan tersebut? Itu bukan sembarang harapan. Tapi itu harapan karena PriceWaterHouse, lembaga internasional membuat proyeksi. Di tahun 2050, Indonesia akan melewati, Jerman, Rusia, Inggris dan Jepang, menjadi negara nomor empat terkuat di dunia dari segi ekonomi (GDP PPP)?
Konggres PDIP di Bali 2019 menjadi semakin strategis jika dikaitkan dengan proyeksi Indonesia 2050 itu.
-000-
Kita mulai dulu dengan proyeksi. Apa itu “Indonesia 2050?” Apa yang terjadi pada perubahan dunia di tahun 2050?
PriceWaterHouse, lembaga jasa terbesar nomor dua di dunia, yang berpusat di London, membuat proyeksi. Tim ahli di lembaga itu, meneliti pertumbuhan 32 negara yang menyumbangkan 85 persen dari GDP dunia.
Ini kesimpulannya. Di tahun 2050, total ekonomi dunia akan berlipat dua kali lipat dibandingkan masa kini. Petumbuhan ekonomi jauh melampaui pertumbuhan penduduk. Itu disebabkan semakin banyak ditemukannya teknologi tinggi yang menaikkan produktivitas.
Ekonomi negara dalam kawasan the emerging market (E7) dapat tumbuh dua kali lebih cepat dibandingkan negara ekonomi maju (G7). Tak heran sebagai kekuatan ekonomi dunia, negara emerging market akan melampaui negara ekonomi maju.
Namun negara emerging market harus memperkuat institusi dan infrastukturnya agar potensi dapat berbuah maksimal. Termasuk dalam kategori ini stabilitas dan kelembagaan politik.
Rangking negara paling kuat secara ekonomipun diproyeksikan berubah. Cina dan India dari emerging market akan mengalahkan Amerika Serikat. Tiga negara ini ada di rangking 1.2 dan 3. Sementara Indonesia dari negara emerging market lainnya, akan mengalahkan Jepang, Inggris, Jerman dan Rusia.
Indonesia di tahun 2050 diproyeksikan menjadi negara keempat paling kuat di dunia secara ekonomi. Yang diukur adalah GDP yang disesuaikan dengan PPP.
Namun proyeksi itu hanya mungkin tercapai jika kelembagaan politiknya menopang. Akan jauh lebih mudah jika di negara Indonesia hadir partai politik yang dominan, dengan agenda yang sesuai.
Partai ini selama lebih dari 30 tahun ke depan, tidak terinterupsi mampu mengawal ruang publik menuju Indonesia 2050.
Bisakah kita berharap pada PDIP menjadi partai yang dimaksud?
-000-
PDIP kini partai politik terdepan jika diukur dari perolehan suara, dan kemenangan dalam aneka pemilu.
Dari hari ini menuju 2050, kita akan melalui enam pemilu lagi: 2024, 2029, 2034, 2039, 2044, 2049.
Tiga tantangan segera perlu disiapkan PDIP. Pertama, soal keunggulan partai menghadapi pemilu berikutnya.
Menghadapi enam pemilu ke depan, menuju visi Indonesia 2050, mampukah PDIP kembali juara? PDIP memerlukan menang 6 kali pemilu lagi berturut-turut. Karena dua pemilu lalu, 2014 dan 2019 PDIP sudah juara, jika tercapai juara hingga 2049, PDIP akan juara delapan kali berturut- turut? Bisakah? Realistik kah?
Jika tidak realistik mengharap satu partai kembali memenangkan enam pemilu ke depan, berturut-turut, manuver apa yang dapat dilakukan?
Kedua, soal calon presiden untuk menang dalam pemilu berikutnya
Jokowi akan selesai sebagai presiden di tahun 2024. Jika diasumsikan presiden bertahan dua periode, maka untuk menuju 2050, diperlukan tiga presiden lagi: 2024-2034, 2034-2044, dan 2044- 2054.
Mampukah PDIP melahirkan kader yang akan terpilih kembali dalam enam pemilu presiden ke depan? Atau melahirkan tiga kader calon presiden pasca Jokowi, yang masing masing memenangkan dua periode?
Jika tak realistik pula mengharapkan kader satu partai dapat menjadi presiden dan selalu menang enam pilpres ke depan, manuver apa yang dapat dilakukan?
Ketiga, soal konsolidasi dan leadership partai menuju Indonesia 2050.
PDIP sebagai partai juga harus kokoh, tahan atas goncangan konflik internal, ataupun tekanan eksternal. Megawati sudah membuktikan sebagai strong leader yang mampu menjaga tak hanya solidalitas partai. Ia juga mampu menjaga ideologi partai.
Tapi kini usia Megawati sudah 72 tahun (Lahir tahun 1947). Di tahun 2050, usia Megawati 103 tahun. Untuk ukuran manusia biasa, sulit membayangkan Megawati dapat menjadi paramount leader PDIP hingga 2050.
Suksesi kepemimpinan di PDIP pada waktunya dibutuhkan. Sehingga PDIP di tahun 2050 tetap solid karena pengganti Megawati kelak memiliki kompetensi yang minimal sama.
Siapakah pengganti Megawati? Kapan?
-000-
Konggres PDIP 2019 perlu merespon tiga tantangan itu.
Kita mulai dengan leadership partai. Megawati sudah memimpin PDIP sejak 1999. Dua puluh tahun sudah Megawati menjadi perekat dan komando.
Siapa yang akan mengganti Megawati dan kapan? Bagaimana menyiapkan suksesi kepemimpinan yang harmoni dan smooth?
Masa transisi agaknya diperlukan. Jabatan politik di masa transisi juga perlu dipertimbangkan. Dalam masa transisi itu, Megawati tetap menjadi perekat utama. Namun kader yang ditargetkan sudah mulai mengambil alih tanggung jawab secara bertahap.
Ketua harian menjadi jabatan elegan untuk masa transisi itu. Kader baru diberikan latihan untuk memimpin sebagai ketua harian. Namun Megawati tetap sebagai ketua umum, sebagai simbol kesatuan dan ibu bagi partai. Masa trasisi ini bisa berlangsung satu periode (2019-2024). Bisa pula berlanjut dua periode (2024-209).
Ketua harian disiapkan untuk menjadi ketua umum pada waktunya. Siapakah calon yang paling kuat dan baik untuk partai untuk posisi ketua harian itu?
Jika garis Trah Soekarno, dua calon kuat tersedia. Prananda Prabowo dan Puan Maharani. Jika bukan Trah Soekarno, Budi Gunawan menjadi alternatif.
Regenerasi kepemimpinan PDIP menjadi harmoni dan tertata, jika tiga tokoh utama di bawah Megawati itu juga solid: Puan, Prananda, Budi Gunawan.
Sangat mungkin, Puan disiapkan menjadi ketua DPR. Ia akan menjadi ketua DPR wanita pertama dalam sejarah Indonesia. Budi Gunawan tetap menjadi operator politik belakang layar. Perannya terasa ketika mempertemukan Jokowi dan Prabowo.
Prananda lalu mengisi kursi ketua harian. Hingga Indonesia 2050, Trah Soekarno dipucuk pimpinan PDIP masih diperlukan untuk soliditas partai dan daya tarik.
-000-
Bagaimana soal strategi PDIP untuk menang enam kali pemilu ke depan hingga 2049? PDIP perlu menambah daya tariknya untuk aneka kantong besar segmen pemilih.
Berdasarkan survei dan exit poll LSI Denny JA, April 2019, PDIP sangat kuat di pemilih minoritas. Sekitar 50 persen pemilih agama minoritas berlabuh di PDIP. Tapi total jumlah suara pemilih minoritas hanya 15 persen.
Untuk pemilih mayoritas pemilih Muslim, daya tarik PDIP masih kecil. Total segmen pemilih mayoritas Muslim 85 persen. Yang memilih PDIP di ceruk besar ini hanya 15 persen.
Dapat kita bandingkan. Sebanyak 50 persen pemilih minoritas verus hanya 15 persen pemilih Muslim yang mencoblos PDIP.
PDIP juga kuat pada pemilih wong cilik. Namun PDIP lemah pada pemilih kaum terpelajar. PDIP kuat pada pemilih usia menengah dan tua. Tapi PDIP lemah pada pemilih usia muda, dan mileneal pada umumnya.
Di Konggres ini, PDIP perlu merumuskan tantangan itu: menambah daya tarik bagi pemilih Muslim, kaum terpelajar dan pemilih milieneal.
Tentu sulit bagi satu partai memenangkan pemilu berturut-turut delapan kali hingga 2050 kelak.
Lebih mudah jika sejak awal, PDIP membangun koalisi yang lebih permanen, dengan satu atau dua partai yang memiliki orientasi yang sama. Koalisi partai ini yang kelak menguasai 6 kali pemilu ke depan, hingga 2050, walau PDIP tak harus juara satu di setiap pemilu.
-000-
Siapa kader PDIP berikutnya untuk menang pilpres 2024?
Per hari ini, tak ada capres yang lebih dikenal dan dipilih ketimbang Prabowo, Sandiaga uno dan Anies Baswedan. Kader PDIP sebagai capres 2024 masih jauh di bawah.
Jika PDIP hanya bersiap untuk kadernya setahun atau dua tahun terakhir sebelum pilpres 2024, itu sangat mungkin sudah terlambat.
Selesai Jokowi dilantik, harus dimulai pula kondisioning bagi capres PDIP berikutnya. Hukum perilaku pemilih adalah ilmu pengetahuan. Konsultan politik terkemuka dapat membantu PDIP menyiapkan kader capres 2024 itu sedini mungkin.
Itu skenario yang buruk jika selesai periode Jokowi 2024, yang menang berikutnya adalah presiden yang memiliki agenda bertentangan dengan jalan menuju Visi Indonesia 2050.
Bersama partai lain, yang masuk dalam koalisi agak permanen, capres 2024, 2029, 2034 dan seterusnya, dapat disiapkan. Dengan koalisi partai yang diniatkan hingga 2050, lebih banyak kader, lebih banyak pilihan bisa disiapkan.
-000-
Konggres PDIP 2019 menjadi sangat penting, tak hanya bagi PDIP. Ia juga penting bagi kelembagaan politik Indonesia.
Dua pemilu lalu, 2014 dan 2019, berturut-turut PDIP menangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden sekaligus. Tapi menuju Indonesia 2050, banyak hal mungkin terjadi.
Penting bagi PDIP untuk mencari koalisi partai yang agak permanen. Kekuatan politik merawat Indonesia menuju 2050 lebih mudah dikerjakan bersama partai lain. Golkar dan PKB calon koalisi agak permanen bagi PDIP, yang dapat dipertimbangkan.
Kemarin, undangan datang dari PDIP kepada saya untuk menghadiri Konggres di Bali 2019. Saya membatalkan semua acara yang ada. Hari ini saya bergegas ke Bali, menghadiri undangan itu.
Saya ingin meihat dari dekat bagaimana tiga tantangan itu dikelola.***
Denny JA, Fonder LSI Jakarta
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment