Oleh: Rudi Sinaba
Berpestalah wahai para penguasa tamak,
di istana megah penuh cahaya gemerlap,
bersulang di meja perjamuan yang melimpah,
karena negeri ini selalu memberi untukmu,
dari tangan yang mencuri dengan halus,
dari lidah yang berjanji tanpa rasa malu.
Berpestalah wahai saudagar rakus,
di balik kontrak yang kau kantongi diam-diam,
memutar siasat di ruang perundingan gelap,
karena negeri ini tak pernah menolak tuan,
tanahnya digadaikan demi pundi-pundi emas,
hutannya ditebang untuk gedung-gedung megah.
Berpestalah wahai para pewaris istimewa,
duduk nyaman di kursi yang disiapkan,
tanpa keringat, tanpa pengorbanan,
karena negeri ini hanya mengenal warisan,
bukan kepantasan, bukan keadilan,
hanya jalur darah yang menentukan jalan.
Berpestalah wahai penjilat kekuasaan,
menari dalam irama kebohongan,
mendendangkan lagu pujian tanpa makna,
karena negeri ini buta oleh rayuan,
tertawa dalam kepalsuan yang kau sulam,
menyambut tiran seperti dewa penyelamat.
Berpestalah wahai para penjual hukum,
menimbang keadilan di atas timbangan uang,
menghitung pasal-pasal dengan kurs mata asing,
karena negeri ini murah untuk dibeli,
sidang hanyalah panggung sandiwara,
tempat kejahatan disulap menjadi kebajikan.
Berpestalah wahai perampok berseragam,
yang melindungi tuan dengan tongkat kuasa,
menyumpal mulut yang berteriak kebenaran,
karena negeri ini takut pada senjata,
bukan pada kehancuran yang mengintai,
bukan pada nestapa yang tak berkesudahan.
Berpestalah wahai para penguasa tanah,
yang merampas ladang dengan tanda tangan,
mengusir petani dengan kata-kata hukum,
karena negeri ini tak butuh mereka,
lebih baik sawah menjadi perumahan,
lebih baik kebun menjadi tambang.
Berpestalah wahai pemodal serakah,
menggali bumi tanpa ampun,
mencemari sungai dengan limbah keji,
karena negeri ini tak mengenal batas,
hanya angka yang menjadi pedoman,
hanya laba yang menjadi tujuan.
Berpestalah wahai para pencatut proyek,
yang membangun jembatan dari anggaran fiktif,
yang mendirikan gedung dengan semen tipis,
karena negeri ini selalu memaafkan,
walau jalan retak sebelum seminggu,
walau gedung ambruk sebelum dipakai.
Berpestalah wahai penjaja kebohongan,
yang menebar janji sebelum pemilu,
yang menghilang setelah berkuasa,
karena negeri ini mudah terlena,
mudah lupa akan luka lama,
mudah tertipu oleh wajah baru.
Berpestalah wahai pemimpin tak tahu malu,
yang berdiri di podium dengan dada tegak,
berbicara seakan pahlawan rakyat,
karena negeri ini tak pernah bertanya,
dari mana kekayaanmu yang menggunung,
dari mana rumahmu yang seluas istana.
Berpestalah wahai para penguras negeri,
yang membawa hasil bumi ke luar batas,
yang menjual harga diri tanpa berkedip,
karena negeri ini hanya angka dalam laporan,
hanya statistik dalam dokumen,
hanya komoditas yang siap dikirim.
Berpestalah wahai pedagang agama,
yang menjual ayat demi kursi kekuasaan,
yang menyulap doa menjadi tiket bisnis,
karena negeri ini tak peduli makna,
hanya peduli siapa yang lebih lantang,
hanya peduli siapa yang lebih mendominasi.
Berpestalah wahai para perusak laut,
yang menebar pukat hingga dasar,
yang meracuni ikan dengan limbah pabrik,
karena negeri ini tak peduli esok,
tak peduli apakah laut masih bernyawa,
tak peduli apakah nelayan masih hidup.
Berpestalah wahai para penukar budaya,
yang menjual warisan demi gemerlap asing,
yang menukar jati diri dengan pujian luar,
karena negeri ini malu pada dirinya,
merasa lebih kecil dari dunia lain,
merasa lebih buruk dari yang sebenarnya.
Berpestalah wahai penjaga perbatasan,
yang membiarkan negeri dicabik diam-diam,
yang menutup mata saat tanah berpindah tangan,
karena negeri ini sudah lelah berjuang,
sudah tak peduli akan batas,
sudah tak mengerti arti kedaulatan.
Berpestalah wahai para pewarta dusta,
yang menulis bukan dari nurani,
yang menyampaikan bukan dari kebenaran,
karena negeri ini lebih suka kebohongan,
lebih senang cerita yang menghibur,
lebih nyaman dalam dongeng manis.
Berpestalah wahai pemilik modal,
yang membeli suara dengan sekantong beras,
yang membangun citra dengan sandiwara,
karena negeri ini mudah dibeli,
mudah diyakinkan dengan kepalsuan,
mudah dipermainkan oleh uang.
Berpestalah wahai penghuni menara gading,
yang bicara kesejahteraan dari balik jendela,
yang menilai rakyat hanya dari laporan,
karena negeri ini tak butuh suara kecil,
tak mendengar tangis yang tertahan,
tak melihat lapar yang bersembunyi.
Berpestalah wahai segala tikus negeri,
makanlah habis hingga tak tersisa,
tertawalah dalam pesta yang tak pernah usai,
karena negeri ini telah kau buat mati,
tanpa harapan, tanpa masa depan,
tanpa apapun selain kehancuran.
Comment