Oleh: Rudi Sinaba
KOPI, Banggai – Oligarki bisnis di Indonesia bukan sekadar fenomena ekonomi, tetapi juga masalah politik dan kebijakan negara. Segelintir elite bisnis memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah regulasi, investasi, dan distribusi kekayaan nasional. Mereka tidak hanya menguasai sektor industri strategis, tetapi juga berperan dalam pembentukan kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka sendiri.
Dari masa Orde Baru hingga era reformasi, dominasi oligarki bisnis semakin kuat, beradaptasi dengan perubahan sistem politik. Mereka tidak lagi hanya beroperasi di balik layar, tetapi juga masuk ke dalam struktur kekuasaan melalui kepemilikan partai politik, pendanaan kampanye, hingga menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Artikel ini akan membahas bagaimana oligarki bisnis mengendalikan kebijakan negara, dampaknya terhadap masyarakat, dan strategi untuk mengurangi dominasi mereka.
Dari Orde Baru ke Era Reformasi: Oligarki yang Beradaptasi
Pada era Soeharto, hubungan antara pemerintah dan konglomerat besar seperti Salim Group, Sinar Mas, dan Lippo Group sangat erat. Mereka mendapatkan akses eksklusif ke proyek besar, termasuk industri makanan, properti, dan perbankan, sebagai imbalan atas dukungan politik dan ekonomi terhadap rezim.
Ketika reformasi terjadi, banyak yang berharap dominasi oligarki akan berakhir. Namun, sistem politik multipartai justru membuka peluang bagi mereka untuk masuk lebih dalam ke dalam kekuasaan. Kini, oligarki bisnis tidak hanya berperan sebagai penyokong kekuasaan, tetapi juga sebagai pemilik partai politik, penyandang dana kampanye, bahkan pejabat publik.
Kasus seperti peraturan yang berpihak pada industri tambang, perkebunan, dan properti menunjukkan bagaimana oligarki bisnis terus beradaptasi. Mereka memanfaatkan instrumen hukum untuk melanggengkan pengaruhnya, termasuk dalam penyusunan undang-undang yang mempermudah eksploitasi sumber daya alam.
Investasi yang Dikendalikan Segelintir Orang
Kebijakan ekonomi Indonesia saat ini masih dikendalikan oleh oligarki bisnis, terutama dalam regulasi investasi. Beberapa contoh nyata dapat dilihat dalam hal berikut:
1. Regulasi yang Menguntungkan Oligarki
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi contoh bagaimana regulasi dibuat untuk mempermudah investasi bagi korporasi besar. Kritik utama terhadap UU ini adalah minimnya perlindungan terhadap buruh dan lingkungan. Sektor pertambangan dan perkebunan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang mendapatkan kemudahan perizinan, sementara usaha kecil kesulitan berkembang.
2. Monopoli dan Kartel
Beberapa sektor strategis seperti minyak sawit, semen, dan telekomunikasi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar dengan sedikit pesaing. UMKM sulit berkembang karena akses terhadap permodalan dan pasar sangat terbatas akibat dominasi konglomerasi yang memiliki jaringan distribusi lebih kuat.
3. Pelemahan Institusi Pengawas
Melemahnya peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengawasi praktik korupsi di sektor bisnis semakin memperkuat oligarki. Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sering kali kehilangan daya dalam membendung praktik kartel dan monopoli.
Peran “9 Naga” dan Investasi Swasta China dalam Oligarki Bisnis
Salah satu kelompok oligarki paling dominan di Indonesia adalah yang dikenal sebagai “9 Naga,” yaitu sekelompok konglomerat etnis Tionghoa yang menguasai sektor ekonomi strategis, seperti properti, keuangan, dan industri manufaktur. Mereka memiliki hubungan erat dengan pemerintah dan berperan besar dalam menentukan arah kebijakan ekonomi.
Selain itu, investasi swasta dari China semakin memperkuat dominasi oligarki bisnis di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, investasi China, terutama di sektor infrastruktur dan pertambangan, meningkat pesat. Namun, banyak proyek investasi ini dinilai lebih menguntungkan segelintir elite bisnis daripada masyarakat luas.
Sebagai contoh, proyek tambang nikel di Sulawesi dan Maluku Utara yang melibatkan investor China sering dikritik karena tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal. Buruh Indonesia hanya menempati posisi rendah, sementara tenaga kerja asing mengisi posisi teknis dan manajerial. Hal ini menunjukkan bahwa investasi yang dikendalikan oleh oligarki bisnis lebih berorientasi pada keuntungan elite daripada kesejahteraan nasional.
Dampak Langsung terhadap Masyarakat
Ketika kebijakan ekonomi lebih berpihak kepada oligarki bisnis, dampaknya terhadap masyarakat sangat jelas:
1. Ketimpangan Ekonomi
Sebagian besar kekayaan hanya berputar di kalangan elite, sementara rakyat kecil mendapatkan porsi yang minim. Laporan Oxfam 2022 menyebutkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional.
2. Eksploitasi Tenaga Kerja
Dengan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih longgar untuk menarik investasi, posisi buruh semakin lemah. Kontrak kerja jangka pendek dan upah rendah menjadi praktik umum di banyak sektor industri.
3. Penggusuran dan Konflik Agraria
Banyak lahan masyarakat yang diklaim sebagai wilayah investasi strategis dengan label Proyek Strategis Nasional sehingga mendapatkan perlindungan total dari negara, menyebabkan konflik agraria yang terus meningkat setiap tahunnya. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ratusan kasus konflik lahan yang melibatkan perusahaan besar dan masyarakat lokal.
Membatasi Dominasi Oligarki: Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk mengurangi dominasi oligarki bisnis dalam kebijakan negara, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:
1. Reformasi Regulasi Investasi
Pemerintah harus memastikan bahwa regulasi investasi tidak hanya menguntungkan segelintir elite, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan pelaku usaha kecil.
2. Penguatan Institusi Pengawas
KPK dan KPPU harus diperkuat agar dapat mengawasi praktik korupsi dan monopoli yang dilakukan oleh kelompok oligarki bisnis.
3. Transparansi dalam Kebijakan Publik
Setiap kebijakan ekonomi dan investasi harus melibatkan partisipasi publik, sehingga tidak hanya ditentukan oleh kepentingan kelompok bisnis tertentu.
4. Peningkatan Daya Saing UMKM
Pemerintah harus memberikan akses permodalan dan kebijakan yang mendukung UMKM agar tidak kalah bersaing dengan korporasi besar yang sudah memiliki jaringan luas.
Kesimpulan
Oligarki bisnis di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar pendukung rezim menjadi pemain utama dalam kebijakan negara. Mereka tidak hanya menguasai sektor ekonomi strategis, tetapi juga memiliki kendali atas regulasi yang menentukan arah investasi dan distribusi kekayaan.
Dengan kebijakan yang terus berpihak pada segelintir elite, ketimpangan ekonomi semakin melebar, sementara masyarakat kecil harus menghadapi eksploitasi tenaga kerja dan konflik agraria.
Diperlukan reformasi regulasi, penguatan institusi pengawas, serta transparansi dalam kebijakan publik untuk mengurangi dominasi oligarki bisnis. Tanpa upaya serius, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran ketimpangan ekonomi yang semakin dalam. (*)
Comment