Oleh: Rudi Sinaba
KOPI, Banggai – Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun untuk tahun 2025. Program ini dirancang untuk memberikan makanan bergizi secara gratis kepada kelompok rentan, termasuk siswa dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA), anak-anak berkebutuhan khusus, santri di pesantren, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Total sasaran penerima manfaat program ini diperkirakan mencapai 82,9 juta jiwa .
Namun, seiring dengan perkembangan program, muncul kekhawatiran mengenai potensi lonjakan anggaran. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyebutkan bahwa kebutuhan anggaran untuk program MBG pada tahun 2026 diperkirakan naik menjadi Rp28 triliun per bulan, meningkat 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, total anggaran yang dibutuhkan untuk tahun 2026 dapat mencapai Rp336 triliun . Jika tren kenaikan ini berlanjut, dalam rentang waktu lima tahun (2025-2029), total anggaran yang diperlukan untuk program MBG dapat mencapai angka yang sangat signifikan.
Peningkatan anggaran ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan efisiensi program MBG:
- Apakah mungkin memperbaiki gizi anak hanya dengan satu kali makan bergizi sehari?
- Mengapa anggaran sebesar ini tidak dialihkan untuk subsidi pangan langsung bagi keluarga yang rentan dan kekurangan pangan, sehingga bisa lebih efektif?
- Mengapa pemerintah lebih fokus membangun gudang makanan dan dapur umum daripada memastikan bahan pangan bergizi tersedia secara merata?
- Benarkah program ini hanya tentang gizi, ataukah ada agenda politik tersembunyi di baliknya?
- Mengapa ada rencana pengadaan 3 juta ekor sapi? Apakah ini bagian dari strategi perbaikan gizi atau justru proyek ekonomi terselubung?
- Dengan skema pengadaan yang begitu besar dan kompleks, apakah MBG memang dirancang dengan celah besar yang memungkinkan praktik korupsi?
Melihat pola kebijakan ini, apakah MBG benar-benar sebuah solusi untuk perbaikan gizi masyarakat, ataukah ini hanya proyek besar yang dikemas sebagai program sosial untuk menutupi agenda lain?
MBG: Janji Kampanye yang Harus Direalisasikan, Berapa pun Harganya
Sejak awal, Program Makan Bergizi (MBG) adalah bagian dari janji politik yang digaungkan dalam kampanye pemilu. Program ini dijadikan salah satu ikon utama sebagai bukti kepedulian pemerintah terhadap generasi muda dan kesejahteraan rakyat kecil. Namun, ketika janji politik bertabrakan dengan realitas ekonomi dan teknis di lapangan, program ini tetap dipaksakan berjalan — berapa pun biayanya.
Dalam dunia politik, gagal menepati janji kampanye bisa menjadi bumerang besar. Oleh karena itu, meskipun berbagai kajian menunjukkan bahwa MBG tidak efektif dan tidak realistis, pemerintah tetap memaksakan implementasinya dengan segala cara. Bahkan jika anggaran membengkak, infrastruktur tak efisien, dan manfaat bagi rakyat minim, program ini harus tetap terlihat berjalan.
Citra menjadi lebih penting daripada substansi. Yang terpenting bukanlah apakah anak-anak benar-benar mengalami perbaikan gizi, tetapi bahwa proyek ini dapat dipamerkan kepada publik sebagai “bukti keberhasilan” pemerintah.
Pengalihan Isu: Dari Kegagalan Kebijakan Ekonomi ke Program Populis
MBG juga tampaknya dimanfaatkan sebagai strategi pengalihan isu di tengah berbagai tantangan ekonomi. Saat daya beli masyarakat melemah, harga pangan melonjak, dan kemiskinan meningkat, pemerintah membutuhkan kebijakan populis yang bisa menarik perhatian publik.
Dengan menjadikan MBG sebagai program besar-besaran, pemerintah berusaha menciptakan kesan bahwa mereka peduli terhadap rakyat kecil. Padahal, jika benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakat, alokasi anggaran seharusnya difokuskan pada solusi yang lebih substansial, seperti subsidi bahan pokok atau peningkatan kesejahteraan petani dan peternak lokal.
Alih-alih memperbaiki akar masalah ketahanan pangan, pemerintah justru mengalihkan perhatian publik dengan proyek besar yang efeknya belum tentu terasa nyata di masyarakat.
Mobilisasi Birokrasi untuk Kesuksesan Semu
Karena MBG sudah terlanjur menjadi janji politik, seluruh birokrasi dipaksa untuk memastikan proyek ini berjalan, tanpa memperhitungkan efektivitasnya. Akibatnya, berbagai kementerian, dinas pendidikan, dan pemerintah daerah harus bekerja keras “menjalankan” program ini, meskipun banyak di antara mereka sendiri meragukan keberhasilannya.
Bahkan, kepala daerah yang mendapatkan anggaran MBG harus memastikan bahwa program ini “berjalan dengan baik” meskipun kenyataannya banyak kendala di lapangan. Ini bukan lagi soal efektivitas program, tetapi bagaimana agar pemerintah tetap bisa tampil sebagai “pemerintah yang bekerja untuk rakyat.”
Yang terjadi adalah mobilisasi birokrasi untuk menjaga pencitraan politik, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Dari sini, semakin jelas bahwa Program MBG bukan sekadar kebijakan gizi, melainkan alat politik yang digunakan untuk memperkuat citra pemerintah. Namun, ketika janji politik lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, dampaknya justru bisa berbalik: rakyat yang dijanjikan kesejahteraan malah menjadi korban kebijakan yang tidak efektif.
Demi MBG Anggaran Beberapa Sektor Strategis Harus Dipangkas
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menyebabkan pengalihan anggaran dari sektor-sektor lain untuk mendukung pelaksanaannya. Beberapa fakta terkait hal ini antara lain:
Pengurangan Anggaran Infrastruktur:
Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, menyatakan bahwa anggaran infrastruktur dikurangi untuk mendukung program MBG.
Pengurangan Anggaran Pendidikan:
Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), program MBG dialokasikan melalui anggaran pendidikan, memotong hampir 10% dari total anggaran pendidikan nasional 2025.
Efisiensi Anggaran Kementerian/Lembaga dan Dana Transfer ke Daerah:
Pemerintah menginstruksikan efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun untuk tahun anggaran 2025, mencakup pengurangan belanja kementerian/lembaga dan alokasi dana transfer ke daerah, dengan tujuan utama mendukung program-program pemerintah yang berdampak cepat, termasuk MBG.
Pengalihan anggaran dari sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan pendidikan ke program MBG menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pembangunan jangka panjang dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Selain itu, pengurangan alokasi dana transfer ke daerah dapat mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan program-program lokal yang vital bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap prioritas anggaran dan efektivitas program MBG untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengorbankan sektor-sektor strategis lainnya yang juga berperan penting dalam pembangunan nasional.
Logika Program MBG: Antara Klaim dan Realitas
Program Makan Bergizi (MBG) diklaim sebagai solusi untuk meningkatkan status gizi anak-anak Indonesia, dengan harapan dapat mengurangi angka stunting, anemia, dan kekurangan gizi lainnya. Namun, jika kita telaah secara logis, ada ketidaksesuaian yang sangat mendasar antara mekanisme program ini dan dampak yang ingin dicapai.
1. Makan Sekali Sehari Tidak Akan Mengatasi Masalah Gizi
Fakta gizi menunjukkan bahwa perbaikan status gizi tidak bisa dicapai hanya dengan satu kali makan bergizi per hari.
- Kebutuhan kalori dan zat gizi anak-anak harus dipenuhi secara konsisten sepanjang hari, bukan hanya dalam satu kali makan.
- Asupan protein dan zat besi yang cukup diperlukan dari berbagai sumber makanan, bukan sekadar dari satu menu standar yang disediakan dalam MBG.
- Faktor pola makan keluarga di rumah masih menjadi elemen utama dalam menentukan status gizi anak. Jika keluarga tidak memiliki akses atau daya beli untuk makanan bergizi di luar MBG, maka program ini hanya menjadi solusi parsial yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Jika benar-benar ingin meningkatkan gizi anak, seharusnya solusi yang ditempuh bersifat holistik, seperti:
Meningkatkan akses pangan bergizi di tingkat rumah tangga.
Membantu orang tua mendapatkan bahan makanan sehat dengan harga terjangkau.
Memberikan edukasi gizi kepada keluarga, bukan sekadar memberi makan anak-anak di sekolah.
Tetapi MBG tidak memiliki pendekatan komprehensif semacam ini. Program ini hanya memberi makan anak sekali sehari, lalu berharap gizi mereka otomatis membaik. Ini adalah logika yang tidak masuk akal dalam perspektif ilmu gizi.
2. Efektivitas Anggaran yang Tidak Proporsional
Program MBG menghabiskan Rp71 triliun hanya untuk memberikan satu kali makan per hari bagi anak-anak sekolah. Jika dihitung secara kasar:
- Rp10.000 per porsi, berarti dalam setahun (misal 200 hari sekolah) total biaya per anak sekitar Rp2 juta.
- Jika dibandingkan dengan intervensi gizi berbasis keluarga, Rp2 juta per tahun bisa digunakan untuk membeli bahan pangan kaya protein seperti telur, susu, dan ikan yang bisa dikonsumsi setiap hari oleh seluruh anggota keluarga.
Sebagai perbandingan, di negara lain, program perbaikan gizi anak biasanya dilakukan dengan pendekatan food subsidy atau nutritional aid kepada keluarga, bukan sekadar memberi makan di sekolah.
Standar menu seharga Rp10.000 per porsi juga sangat minim untuk memenuhi kebutuhan protein dan mikronutrien yang cukup, apalagi dengan konsumsi sekali sehari karena kebutuhan makan seorang anak minimal dua kali sehari.
Jika niatnya benar-benar untuk mengatasi kekurangan gizi, mengapa pemerintah tidak menyalurkan dana ini dalam bentuk subsidi langsung untuk keluarga miskin?
3. Fokus pada Infrastruktur, Bukan Nutrisi
Alih-alih menyalurkan anggaran langsung untuk peningkatan gizi, pemerintah justru menghabiskan dana besar untuk membangun infrastruktur pendukung MBG, seperti:
Pendirian gudang makanan yang membutuhkan biaya penyimpanan dan distribusi besar.
Pembangunan dapur umum dengan anggaran fantastis (ratusan juta hingga miliaran rupiah per unit).
Logistik dan operasional yang menyedot banyak anggaran dibandingkan dengan biaya bahan makanan itu sendiri.
Pada akhirnya, alokasi dana lebih banyak terserap pada pembangunan dan operasional proyek ini dibandingkan dengan manfaat gizi yang langsung diterima anak-anak.
Kesimpulan: Logika yang Gagal, Dampak yang Tidak Akan Tercapai
Jika kita telaah secara objektif, Program MBG memiliki kelemahan fatal dalam hal logika dan efektivitas.
Makan sekali sehari tidak cukup untuk memperbaiki gizi anak-anak secara signifikan.
Anggaran terlalu besar untuk hasil yang tidak proporsional.
Fokus lebih banyak pada infrastruktur daripada solusi nyata untuk perbaikan gizi.
Solusi yang lebih efektif, seperti subsidi pangan untuk keluarga, justru tidak diambil.
Dengan segala kelemahan ini, apakah MBG benar-benar bertujuan untuk memperbaiki gizi anak, atau hanya sekadar proyek politik yang dipaksakan berjalan demi pencitraan?
MBG: Peluang Korupsi yang Terbuka Lebar atau Memang Dirancang untuk Itu?
Ketika sebuah program pemerintah memiliki anggaran fantastis, pengelolaan yang kompleks, dan manfaat yang tidak terukur secara jelas, peluang penyimpangan menjadi sangat besar. Program Makan Bergizi (MBG), dengan dana Rp71 triliun, berisiko tinggi menjadi lahan empuk bagi berbagai bentuk korupsi dan penyalahgunaan anggaran.
1. Skema Pengadaan Pangan yang Rentan Mark-Up
Salah satu titik rawan dalam MBG adalah mekanisme pengadaan bahan makanan. Pengadaan dalam jumlah besar sering kali membuka celah permainan harga (mark-up), kolusi antara pemerintah dan pihak swasta, serta distribusi yang tidak efisien.
- Harga bahan pangan bisa dimainkan: Dalam skema pengadaan massal, harga bisa dinaikkan jauh di atas harga pasar melalui persekongkolan antara pejabat dan rekanan tertentu.
- Pemilihan vendor yang tidak transparan: Dengan anggaran sebesar ini, ada peluang besar bahwa proyek ini hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa.
- Distribusi yang tidak efisien tetapi tetap diserap anggarannya: Banyak kasus pengadaan bahan pangan dalam program pemerintah sebelumnya yang akhirnya terbuang percuma atau tidak sampai ke sasaran, tetapi tetap dianggap sebagai anggaran yang terserap.
2. Infrastruktur Gudang dan Dapur Umum: Proyek Fisik = Proyek Rente?
Selain pengadaan makanan, pembangunan gudang makanan dan dapur umum dalam program MBG juga berpotensi menjadi ajang bancakan.
- Proyek infrastruktur dalam skala besar sering kali menjadi modus korupsi karena sulit diawasi secara rinci.
- Mark-up biaya pembangunan dapur umum bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari manipulasi spesifikasi material hingga permainan tender.
- Banyak proyek sejenis dalam sejarah program pemerintah yang hanya menjadi “proyek kertas” tanpa realisasi yang jelas di lapangan.
Jika tujuan utama MBG adalah memberikan makanan kepada anak-anak, mengapa pemerintah justru sibuk membangun infrastruktur baru yang memakan dana besar? Apakah ini benar-benar tentang gizi anak-anak, ataukah ini tentang proyek fisik yang membuka peluang rente ekonomi?
3. Pengadaan 3 Juta Ekor Sapi: Bisnis Terselubung?
Salah satu kebijakan yang mencurigakan dalam program MBG adalah rencana pengadaan 3 juta ekor sapi. Jika benar bahwa MBG hanya sekadar program pemberian makan sekali sehari bagi anak-anak, mengapa ada kebutuhan untuk pengadaan sapi dalam jumlah sebesar itu?
- Apakah ini bagian dari program MBG, atau ada agenda lain yang disisipkan?
- Siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari proyek pengadaan sapi ini?
- Apakah ini hanya sekadar dalih untuk mengucurkan dana besar kepada pihak tertentu?
Jika kita lihat dalam kasus-kasus sebelumnya, program pengadaan pangan sering kali menjadi modus korupsi melalui permainan importasi, penggelembungan harga, dan monopoli distribusi oleh segelintir pihak. Apakah pengadaan sapi ini bagian dari strategi serupa?
4. Apakah MBG Dirancang untuk Memudahkan Korupsi?
Melihat berbagai kelemahan dalam desain program MBG, sulit untuk mengabaikan kemungkinan bahwa program ini sejak awal memang disusun dengan celah besar yang memungkinkan praktik korupsi.
- Alokasi dana yang tidak proporsional lebih banyak terserap di proyek fisik dan pengadaan, bukan langsung ke penerima manfaat.
- Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengukur efektivitas program dalam memperbaiki gizi anak-anak.
- Minimnya transparansi dalam pemilihan vendor dan distribusi dana.
- Indikasi adanya agenda lain di luar tujuan gizi, seperti pengadaan sapi dalam jumlah besar.
Dalam berbagai kasus korupsi besar di Indonesia, banyak program pemerintah yang awalnya diklaim sebagai program sosial, tetapi pada akhirnya menjadi skema korupsi sistematis. Apakah MBG akan menjadi salah satu di antaranya?
Jika program ini benar-benar bertujuan untuk meningkatkan gizi anak-anak, mengapa begitu banyak elemen yang justru tidak berkaitan dengan perbaikan gizi, tetapi lebih menyerupai proyek ekonomi-politik?
Comment