Oleh: Rudi Sinaba
KOPI, Banggai – Di langit yang dulu biru, Burung Garuda mengepakkan sayapnya dengan berat. Angin yang dulu membawanya terbang tinggi kini terasa hambar, penuh kabut pekat yang mengaburkan pandangan. Ia tidak lagi melayang gagah di cakrawala, melainkan terombang-ambing seperti kehilangan arah. Luka di dadanya menganga, sayapnya penuh bulu yang rontok akibat tikaman dari mereka yang seharusnya melindunginya. Nafasnya tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena udara yang semakin dipenuhi racun keserakahan. Garuda yang dulu membawa panji kebanggaan kini hanya bayang-bayang dari kejayaan yang mulai pudar. Setiap helaan napasnya terasa berat, seolah keadilan yang dulu ia junjung kini perlahan menghilang. Namun, meski tubuhnya melemah, hatinya tetap berdenyut, menolak menyerah pada keterpurukan yang terus merayap.
Di bawahnya, Ibu Pertiwi duduk dalam sunyi, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Pipinya basah oleh kesedihan yang tak lagi bisa ia bendung, menyatu dengan tanah yang semakin kering dan tandus. Ia meraba bumi yang dulu subur, tempat kehidupan tumbuh dengan bebas di bawah naungannya. Namun kini, yang tersisa hanya hamparan gersang, tanah retak yang menjerit meminta kesejukan yang tak kunjung datang. Sawah-sawah berubah menjadi ladang beton, hutan-hutan dirobek tanpa ampun demi lembaran kertas yang menumpuk di meja para penguasa. Sungai yang dulu mengalir jernih kini hanya menjadi saluran hitam yang penuh limbah, membawa sisa-sisa ketamakan manusia. Pertiwi merasa kehilangan, seolah dirinya bukan lagi ibu yang dipuja, melainkan ibu yang diabaikan dan ditinggalkan. Tapi tangisannya bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk anak-anaknya yang kini harus bertahan dalam negeri yang semakin kehilangan jati diri.
Di tengah kota yang tak pernah tidur, manusia berjalan cepat tanpa menoleh, terjebak dalam perlombaan tanpa akhir. Mereka tidak menyadari bahwa tanah yang mereka injak perlahan kehilangan nyawanya, napas yang mereka hirup semakin sesak oleh kerakusan yang terus menggerogoti. Gedung-gedung menjulang, tapi di bawahnya, rakyat kecil tertatih mencari tempat berteduh yang semakin sulit mereka temukan. Kemewahan berkembang di satu sisi, sementara di sisi lain, seorang anak kecil mengais sisa makanan dari tong sampah yang tak lagi penuh. Keindahan dan kepalsuan berjalan beriringan, menciptakan dunia yang hanya berpihak kepada mereka yang berkuasa. Burung Garuda melihat ini semua dari atas, tapi ia tak lagi memiliki tenaga untuk menjerit atau memperingatkan. Sayapnya terkepak lemah, tubuhnya meronta dalam diam, terjebak dalam rantai yang dibuat oleh anak-anaknya sendiri.
Namun bukan hanya kemiskinan yang membuat Pertiwi menangis, tetapi juga kebencian yang tumbuh di antara anak-anaknya. Mereka tidak lagi saling berpegangan tangan, melainkan saling menjatuhkan, menghunus pisau tajam yang tersembunyi di balik senyuman palsu. Kata-kata yang dulu penuh cinta kini berubah menjadi senjata, menebarkan perpecahan yang semakin dalam. Saudara melawan saudara, bukan karena perbedaan yang tak bisa dijembatani, tetapi karena bisikan yang menyesatkan. Mereka yang berada di atas tertawa, menikmati pertempuran yang terjadi di bawahnya, karena selama rakyat bertengkar, tahta mereka tetap aman. Pertiwi ingin berteriak, ingin mengingatkan mereka bahwa negeri ini dibangun di atas persatuan, bukan kebencian yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tapi suaranya tenggelam dalam hingar-bingar kepalsuan, larut dalam kebisingan yang diciptakan oleh mereka yang lebih suka melihat negeri ini hancur daripada melihatnya berdiri kokoh.
Di ujung jalan yang sepi, seorang lelaki tua duduk termenung, memandangi bendera yang berkibar di atas tiang yang mulai berkarat. Dulu, bendera itu adalah simbol harapan, lambang perjuangan yang membawa bangsa ini menuju kemerdekaan. Tapi kini, warnanya pudar, kainnya robek di beberapa bagian, seolah mencerminkan nasib negeri yang tak lagi tahu ke mana harus melangkah. Lelaki itu menarik napas panjang, mencoba mengingat masa di mana Garuda terbang tinggi dengan gagah, di mana Pertiwi tersenyum bangga melihat anak-anaknya membangun negeri dengan penuh cinta. Tapi kenangan itu terasa semakin jauh, semakin sulit dijangkau, seperti mimpi yang perlahan memudar. Ia ingin percaya bahwa semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi matanya yang lelah melihat kenyataan yang berbeda.
Garuda masih di sana, di langit yang semakin mendung, mencoba terbang meski sayapnya terluka. Tapi setiap kali ia mengepak, angin yang menahannya semakin kuat, menariknya kembali ke tanah yang semakin asing baginya. Ia ingin bebas, ingin kembali menjadi penjaga negeri ini, ingin memastikan bahwa Pertiwi tak lagi menangis sendirian. Tapi rantai itu semakin berat, semakin erat membelit tubuhnya, mencengkeramnya dengan cakar yang dibuat dari janji palsu dan pengkhianatan. Garuda berusaha meronta, tapi semakin ia berjuang, semakin erat belenggu itu menjeratnya. Ia tahu, jika ia jatuh kali ini, mungkin ia tak akan pernah bisa terbang lagi.
Di seberang lautan, negeri-negeri lain menyaksikan kejatuhan Garuda dengan tatapan yang beragam. Ada yang menyesali, ada yang bersorak, ada yang diam sambil menunggu saat yang tepat untuk mengambil keuntungan. Mereka tahu, bangsa yang kehilangan semangatnya adalah bangsa yang mudah ditaklukkan. Dan ketika Garuda tak lagi mampu menjaga sarangnya, maka pemangsa dari luar akan datang, dengan senyum manis yang menyembunyikan taring tajam di baliknya. Mereka akan menawarkan bantuan, bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk semakin memperdalam luka yang ada. Garuda melihat itu semua, tapi ia tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan.
Di tanah yang semakin sunyi, Ibu Pertiwi kembali menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh ke bumi yang tak lagi mendengar ratapannya. Ia ingin mempercayai anak-anaknya, ingin yakin bahwa mereka akan bangkit sebelum semuanya terlambat. Tapi harapan itu semakin redup, seperti api kecil yang ditiup angin kencang. Ia tidak ingin menyerah, tapi apa arti perjuangan jika yang diperjuangkan justru memilih untuk berpaling?
Namun di antara kegelapan, masih ada cahaya, meski kecil dan hampir padam. Masih ada mereka yang percaya bahwa negeri ini belum benar-benar jatuh, bahwa Garuda bisa kembali terbang, bahwa Pertiwi masih bisa tersenyum lagi. Mereka adalah suara-suara yang tak terdengar, mereka yang tetap berjalan meski tanah tempat mereka berpijak semakin bergetar. Mereka bukan pemimpin besar, bukan penguasa yang duduk di singgasana, tetapi mereka adalah rakyat yang tak ingin melihat negeri ini hancur.
Mereka tahu, rantai yang membelenggu Garuda tak bisa dipatahkan hanya dengan doa atau harapan. Ia harus dipatahkan dengan keberanian, dengan tangan yang tak takut kotor, dengan hati yang tak mudah goyah. Garuda masih bisa diselamatkan, tapi bukan oleh mereka yang duduk diam dan menunggu keajaiban. Hanya mereka yang berani melangkah, yang berani menghadapi badai, yang bisa memastikan bahwa bangsa ini tak akan berakhir dalam tangisan.
Maka pertanyaannya kini bukan lagi kapan Garuda akan jatuh, atau sampai kapan Pertiwi akan menangis. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan diam saja? Ataukah kita akan berdiri, menggenggam nasib negeri ini dengan tangan kita sendiri, sebelum semuanya benar-benar terlambat? (*)
Comment