Oleh: Rudi Sinaba
KOPI, Palopo – Pada batas cakrawala, tempat langit menyentuh bumi dengan lembut, aku tersungkur. Bukan karena lelah, melainkan karena menyadari kecilnya diriku di hadapan keluasan semesta. Di sana, aku menyerah bukan pada kekalahan, tetapi pada kerendahan hati yang mengalir dari setiap hembusan angin.
Kaki langit itu, batas yang kerap kucari, ternyata bukan sekadar garis imajiner. Ia hidup dalam benakku, sebagai tempat di mana harapan dan takdir saling beradu. Ketika langkahku sampai di sana, aku hanya bisa berlutut dan mengakui kebesaran yang tak mampu kugapai.
Langit membentang dengan tenang, menyelimuti dunia dengan warna biru keabadian. Namun, di hadapannya, aku hanyalah debu yang terbawa angin, terombang-ambing oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kubayangkan.
Setiap desir angin di tempat itu seperti bisikan, mengingatkan aku pada kesementaraan hidup. Bahwa segala perjuangan, sekalipun sekeras apa pun, tak akan mampu menggeser garis kaki langit yang telah ditentukan.
Aku duduk di atas tanah yang lembut, memandang ke atas. Cahaya mentari yang hampir tenggelam memelukku dengan hangat, seolah menenangkan hati yang bergetar. “Ini bukan akhir,” bisik langit, “ini adalah awal dari pengakuanmu akan hal-hal yang lebih besar.”
Di kaki langit, aku tak lagi merasa harus melawan. Keinginan untuk membuktikan diri perlahan memudar, digantikan oleh rasa syukur karena diizinkan mencapai tempat ini. Ada kedamaian dalam ketidakberdayaan, sebuah harmoni yang tak bisa kupahami sebelumnya.
“Manusia terlalu sering melawan arus,” pikirku. Namun, di tempat ini, aku belajar bahwa tunduk tidak selalu berarti kalah. Kadang, tunduk adalah cara untuk selamat, untuk membiarkan hidup mengalir sebagaimana mestinya.
Langit tidak pernah sombong. Ia memeluk siapa saja yang memandangnya, tanpa memandang besar kecilnya seseorang. Di hadapannya, semua makhluk adalah sama—hanya jiwa-jiwa yang mencoba memahami makna dari keberadaan.
Hening menyelimuti tempat itu. Hanya ada suara langkah-langkah kecil angin yang menyapa rerumputan. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang tak bisa kugenggam namun bisa kurasakan kehadirannya.
“Apakah ini akhir dari pencarianku?” tanyaku pada diriku sendiri. Tetapi langit menjawab melalui sinarnya, membisikkan bahwa pencarian tak pernah berakhir. Setiap akhir hanyalah persinggahan, dan di kaki langit ini, aku hanya berhenti sejenak untuk merenung.
Aku menyadari bahwa di dunia ini, kita hanya memiliki sedikit kendali. Ada batas yang tidak bisa kita lewati, dan kaki langit adalah salah satu simbol dari batas itu. Menyentuhnya bukanlah tugas kita, tapi menghormatinya adalah sebuah pelajaran.
Langit malam mulai turun perlahan, membawa kegelapan yang lembut. Bintang-bintang muncul satu per satu, seolah menyaksikan keheningan ini. Di sana, aku merasa kecil tetapi tidak tak berarti. Ada peran kecilku dalam harmoni besar semesta.
Aku mulai memahami bahwa kerendahan hati bukanlah kelemahan. Ia adalah cara kita merangkul kehidupan tanpa rasa takut. Di kaki langit ini, aku belajar untuk tidak selalu bertanya “mengapa,” tetapi menerima dengan lapang dada.
Tunduk di hadapan langit bukanlah sebuah kekalahan. Justru, di sini aku merasa paling manusiawi. Aku memahami bahwa hidup bukan tentang memenangkan segalanya, tetapi tentang menemukan tempat di mana kita bisa berdamai dengan diri sendiri.
Angin malam mulai berhembus, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku larut dalam rasa damai yang jarang kurasakan. Tak ada penyesalan di tempat ini, hanya penerimaan yang mendalam.
Jika langit adalah cermin, maka di dalamnya aku melihat refleksi diriku yang sejati. Seorang manusia kecil dengan hati yang penuh pertanyaan, tetapi juga dengan kapasitas untuk merasakan keindahan dalam keterbatasan.
“Hidup bukan tentang mencapai langit,” bisik hati kecilku, “melainkan tentang menghormati jarak yang ada di antaranya.” Dan aku tahu, inilah pelajaran terbesar yang kutemukan di tempat ini.
Tersungkur di kaki langit adalah pengakuan, bahwa aku hanyalah bagian kecil dari rencana besar yang tak kumengerti. Tetapi di dalam pengakuan itu, ada kebebasan. Aku tidak lagi terikat pada ambisi yang tak berujung.
Langit adalah saksi bisu dari semua perjalanan hidupku. Ia tidak menilai, tidak menghukum. Ia hanya ada di sana, menjadi pengingat bahwa dalam kerendahan hati, kita bisa menemukan kebesaran.
Ketika fajar mulai menyapa, aku bangkit perlahan. Kaki langit tetap di sana, menjadi batas yang indah sekaligus menakutkan. Tetapi aku tahu, hidupku telah berubah. Aku berjalan pergi, dengan hati yang lebih ringan, dan jiwa yang lebih damai.
Aku menatap langit yang mulai dipenuhi warna keemasan fajar, dan di sanalah aku menemukan makna yang selama ini kucari. Di balik batas cakrawala yang tak tergapai, ada kekuasaan yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah kubayangkan. Langit tidak sekadar menjadi saksi atas kecilnya diriku, tetapi juga menjadi pengingat akan Sang Pencipta yang mengatur segala sesuatu dengan penuh kebijaksanaan. Di hadapan kebesaran-Nya, aku merasa diriku rapuh namun dilindungi, lemah namun dipeluk dengan cinta yang tak bertepi. Hanya dengan tunduk kepada-Nya, aku menemukan ketenangan yang selama ini hilang dalam hiruk-pikuk pencarian duniawi.
Aku menyadari bahwa tersungkur di kaki langit bukanlah sekadar simbol kerendahan hati, tetapi juga sebuah pengakuan bahwa aku hanyalah hamba yang hidup dalam skenario yang telah ditulis oleh Tuhan. Di tempat ini, aku belajar arti pasrah, bukan menyerah, tetapi mempercayakan hidup kepada kehendak-Nya. Aku menyerahkan segala beban yang kupikul, segala ambisi yang tak tercapai, dan segala kesalahan yang pernah kulakukan. Dan di sana, aku merasa bebas. Angin pagi yang lembut menyapu wajahku seperti doa yang tak terucap, mengantarkanku kepada keheningan jiwa yang tulus. Di hadapan kaki langit ini, aku tak lagi merasa kehilangan apa pun, sebab aku telah menemukan Tuhan yang selalu hadir, bahkan dalam kejatuhanku.
Comment