by

Krisis Transportasi Kota Malang, Angkutan Konvensional Terhimpit Teknologi Digital

Oleh: Sherly Puspita Berlian

KOPI, Malang, Jawa Timur – Kota Malang menghadapi perubahan besar di sektor transportasi sejak kehadiran layanan transportasi online pada 2015. Kehadiran platform seperti Gojek, Grab, dan Uber mengubah pola mobilitas masyarakat. Teknologi ini menawarkan kemudahan, fleksibilitas, dan efisiensi yang mengancam keberlanjutan angkutan kota (angkot) konvensional.

Persaingan Ketat Menggerus Angkot

Paguyuban sopir angkot di Terminal Landungsari, yang sebelumnya menjadi simbol solidaritas dan ketertiban transportasi umum, kini menghadapi tantangan besar. Pendapatan harian sopir angkot, yang rata-rata berkisar Rp100.000 hingga Rp200.000, menurun drastis hingga 60% akibat migrasi penumpang ke layanan transportasi online. Penurunan ini memengaruhi kemampuan sopir untuk bertahan, termasuk untuk membayar biaya operasional dan kebutuhan keluarga.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), minimnya perlindungan sosial, dan ketergantungan pada cuaca. “Saat hujan atau malam hari, penumpang sangat sepi,” keluh seorang sopir.

Dinamika Sosial dan Ekonomi

Transformasi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga memunculkan konflik sosial. Sopir angkot kerap terlibat bentrokan dengan mitra transportasi online, yang dianggap merebut pangsa pasar mereka. Teori konflik Karl Marx mengidentifikasi ketimpangan distribusi sumber daya sebagai pemicu utama. Transportasi online didukung modal besar, sementara angkot terjebak dalam keterbatasan tradisional.

Solusi untuk Keseimbangan

Untuk meredam konflik dan meningkatkan daya saing angkot, para ahli menyarankan modernisasi armada, pelatihan teknologi bagi sopir, dan integrasi layanan ke dalam aplikasi berbasis digital. Selain itu, pemerintah diharapkan menetapkan zonasi dan tarif yang adil untuk memastikan keberlanjutan angkot sebagai bagian penting dari transportasi perkotaan.

Teknologi digital memang tidak terhindarkan, tetapi kesejahteraan komunitas tradisional seperti paguyuban sopir angkot harus tetap diperhatikan. Kolaborasi antara transportasi online dan konvensional menjadi kunci keberlanjutan sistem transportasi yang inklusif di Kota Malang. (*)

Penulis adalah Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA