by

Dengarlah Suara Tangis dalam Perut Mereka

Oleh: Rudi Sinaba

Suara itu terdengar di ujung senja,
Seorang ibu duduk memeluk anaknya,
Air mata jatuh menetes perlahan,
Dalam panci kosong hanya doa tersisa,
Lapar mengiris, tapi kasih tak pernah habis.

Suara itu terdengar dari warung kecil,
Si bapak termenung di balik meja kayu,
Dagangan tak laku, pengunjung berlalu,
Ia hitung recehan sambil tersenyum malu,
Malam tiba, tanggung jawab jadi beban rindu.

Suara itu terdengar di desa yang sunyi,
Petani menatap sawah yang retak berdebu,
Tangan kasar tetap menggenggam harapan,
Hujan tak turun, tapi ia terus berjuang,
Dalam tanah yang kering, ia titipkan doa panjang.

Suara itu terdengar di pinggir jalan raya,
Anak kecil berlarian dengan plastik di tangan,
Mencari botol bekas sambil sesekali tertawa,
Padahal kakinya lelah, wajahnya penuh debu,
Namun senyum kecilnya seakan menolak menyerah.

Suara itu terdengar di ruang sekolah reyot,
Guru berdiri dengan buku yang lusuh,
Anak-anak duduk di lantai penuh semangat,
Jendela tanpa kaca, angin berhembus pelan,
Ilmu tetap dibagi meski fasilitas tak memadai.

Suara itu terdengar dari dapur rumah kayu,
Ibu mengaduk air dalam panci yang mendidih,
Tangan kecil anaknya menggenggam erat,
“Besok kita makan lebih enak,” ucapnya lembut,
Padahal hatinya remuk, menahan isak yang sembunyi.

Suara itu terdengar di lorong pasar pagi,
Pedagang berteriak menawarkan dagangan,
Namun pembeli menawar dengan hati-hati,
Uang terlalu tipis, hidup harus dihitung lagi,
Antara belanja hari ini atau simpan untuk esok.

Suara itu terdengar di rumah sakit kecil,
Seorang ibu menatap anaknya dengan cemas,
Dokter bilang butuh obat yang mahal,
Ia keluarkan uang saku terakhir miliknya,
Nyawa terlalu berharga untuk dihitung angka.

Suara itu terdengar di pangkuan seorang ayah,
Anaknya bertanya, “Ayah, kenapa malam ini gelap?”
Sang ayah tersenyum sambil memeluk erat,
“Listrik padam, nak, kita bercerita saja,”
Meski hatinya sedih, kemiskinan tak boleh jadi warisan.

Suara itu terdengar di atas becak tua,
Kaki kakek renta mengayuh penuh tenaga,
Ia bawa seorang penumpang dengan senyum lega,
Upah kecil ia syukuri tanpa banyak bicara,
Katanya, “Rezeki selalu datang selama aku berusaha.”

Suara itu terdengar di antara tumpukan sampah,
Seorang bocah menemukan mainan rusak,
Matanya berbinar, seakan menemukan emas,
Di dunia kecilnya, ia belajar bahagia,
Meski orang lain hanya melihatnya dengan iba.

Suara itu terdengar dari sudut perkampungan,
Anak-anak bermain tanpa alas kaki,
Tawa mereka menggema mengusir kesedihan,
Di tengah kemiskinan, mereka ajarkan arti hidup,
Bahwa bahagia tak harus selalu mahal harganya.

Suara itu terdengar di barisan antrean bantuan,
Seorang nenek berdesak memegang kartu lusuh,
Ia tak peduli panas yang membakar kulit,
Yang penting cucunya bisa makan malam ini,
Tubuhnya lemah, tapi hatinya sekuat baja.

Suara itu terdengar di gang sempit penuh sampah,
Seorang pemuda memetik gitar tua,
Lagu sendu ia nyanyikan sambil menatap langit,
Ia ingin menjadi besar, tapi kesempatan terbatas,
Namun suaranya melambung, menantang nasib.

Suara itu terdengar di tengah hujan deras,
Seorang ayah membawa jualannya di pundak,
Baju basah, kakinya gemetar menahan dingin,
Ia pulang tanpa laku, tapi tetap tersenyum,
Demi anak di rumah, ia tak pernah lelah mencoba.

Suara itu terdengar di pasar ikan yang ramai,
Nelayan bercerita tentang badai semalam,
Perahu kecilnya hampir karam diterjang ombak,
Namun pagi ini ia datang dengan hasil seadanya,
Katanya, “Laut selalu keras, tapi tetap memberi.”

Suara itu terdengar di balik jendela kaca,
Seorang anak menatap rumah-rumah mewah,
Ia memeluk bukunya erat, berjanji dalam hati,
“Suatu hari aku akan belajar lebih keras,”
Meski jalannya sulit, mimpi itu tak ia lepaskan.

Suara itu terdengar di kampung tua yang terlupakan,
Seorang kakek bercerita tentang masa lalu,
Tentang sawah yang subur dan sungai jernih,
Kini semua hilang, berganti gedung menjulang,
Namun di matanya, kenangan masih hijau bersemi.

Suara itu terdengar di hati mereka yang diam,
Yang tak pernah bersuara meski kesulitan mendera,
Mereka hanya bisa berjuang dalam sunyi,
Menatap hari esok dengan doa yang panjang,
Percaya bahwa hidup selalu memberi kesempatan.

Suara itu terdengar di lubuk jiwa kita semua,
Tentang tangis yang tak selalu terdengar nyaring,
Namun kita tahu ada perut yang merintih,
Ada hati yang berjuang meski sering kalah,
Suara itu meminta: jangan biarkan mereka sendirian.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA