KOPI, Bangka Belitung – Apa yang muncul dibenak Anda saat mendengar Pulau Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung? Apakah timah? Atau lada? Memang, Pulau Bangka dikenal sebagai daerah penghasil timah dan lada putih terbesar di dunia. Kendati demikian, Pulau Bangka juga memiliki ragam kebudayaan.
Beragam kebudayaan yang ada di Pulau Bangka tentunya diiringi dengan toleransi yang tinggi. Hal ini bisa kita lihat dari timbulnya akulturasi budaya antar etnis, salah satunya Etnis Melayu dan Etnis Tionghoa. Akulturasi budaya ini terjadi saat dua atau lebih budaya berpadu tanpa menghilangkan ciri khas budaya itu sendiri (Koentjaranigrat, 2004).
Salah satu produk akulturasi yang memadukan budaya dari etnis Melayu dan etnis Tionghoa yang mendiami Pulau Bangka adalah makanan, yakni pantiau — mie pipih berwarna putih bertekstur kenyal dari tepung sagu dan tepung beras yang disajikan dengan kuah ikan.
Sebagian orang yang familiar dengan deskripsi makanan ini mungkin beranggapan bahwa pantiau dan kwetiau adalah sama. Tidak, pantiau bukan kwetiau.
Sekilas, dua makanan ini memang terlihat sama. Namun, berbeda dengan kwetiau yang merupakan kuliner asli Tionghoa, sedangkan pantiau merupakan produk akulturasi dari Tiongkok dan Bangka Belitung. Selain itu, kwetiau dan pantiau juga memiliki beberapa perbedaan lain.
Biasanya, kwetiau disajikan dengan cara ditumis atau disiram dan disajikan bersama telur bebek, tauge, bakso ikan, lapchiong (sosis babi), telur, atau ayam suwir. Sedangkan pantiau disajikan dengan kuah kaldu ikan.
Proses akulturasi antara kwetiau dan pantiau ini sebenarnya muncul sebagai bentuk penyesuaian resep dan cara penyajian makanan agar cocok dengan selera lidah masyarakat Bangka. Dilansir dari laman Kemendikbud, awal kemunculan pantiau— yang telah dinobatkan menjadi budaya takbenda pada tahun 2019 lalu— adalah ketika datangnya perantau dari etnis Hakka, Tiongkok Selatan, yang kebanyakan laki-laki ke Bangka.
Para perantau ini kemudian menikahi perempuan Bangka untuk kemudian dikenalkan dengan kuliner khas Tionghoa, termasuk kwetiau. Tetapi, mengingat selera lidah masyarakat Bangka berbeda dengan masyarakat Tionghoa, dilakukanlah penyesuaian agar makanan ini dapat diterima di lidah masyarakat Bangka.
Selain itu, karena Pulau Bangka terkenal akan hasil lautnya yang melimpah, kebanyakan makanan dilakukan penyesuaian dengan menambahkan hasil laut ini, termasuk pantiau yang merupakan makanan modifikasi atau alternatif dari kwetiau.
Dapat dikatakan, proses akulturasi antara kwetiau dan pantiau ini sebenarnya muncul sebagai bentuk penyesuaian resep dan cara penyajian makanan agar cocok dengan selera lidah masyarakat Bangka.
Dengan gurihnya kuah kaldu ikan, pantiau biasanya disajikan sebagai makanan pengganjal perut saat sarapan, sepadan dengan arti dari kata pantiau yang terdiri dari ‘pan’ yang memiliki arti setengah, dan ‘tiau’ yang artinya berat. Bisa dibilang bahwa ‘pantiau’ memiliki makna makanan setengah berat sebelum memakan sajian utama.
Untuk persebaran, kwetiau sudah sangat dikenal hampir di seluruh Indonesia. Sedangkan pantiau masih tersebar di Pulau Bangka dan Belitung saja (di Belitung pantiau disebut pampi).
Pantiau dapat ditemui dengan mudah di Pulau Bangka, khususnya di Kota Pangkalpinang dan Sungailiat. Banyak sekali penjual yang menjajakan sajian ini di warung atau kedai mereka. Bahkan pantiau bisa ditemui di pasar. Harganya pun terbilang cukup murah. Mulai dari tiga ribu rupiah saja, sudah bisa mencicipi sajian lezat ini.
Jika Anda belum berkesempatan mencicipi sajian kuliner yang merupakan produk akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu langsung di tempat asalnya, jangan khawatir, Anda bisa membuat sajian ini di rumah.
Berikut resep pantiau Bangka yang bisa Anda coba.
Bahan utama:
1,5L kaldu ikan atau air hangat
50 gram kecambah/tauge yang telah disiangi
3 sendok makan seledri diiris halus
3 sendok makan bawang merah goreng
Sambal cabai rawit
6 buah jeruk kunci
Bahan pantiau:
300 gram tepung beras
300 gram tepung tapioka
1 sendok makan minyak goreng
1½ sendok teh garam
750 ml air
Bahan kaldu ikan:
500 gram ikan tenggiri kukus dan buang durinya
7 butir bawang merah
5 siung bawang putih
2 cm jahe
2 sendok makan minyak goreng
200 gram udang kupas, tinggalkan ekornya
2 lembar daun salam
1 sendok teh garam
1 sendok teh merica putih bubuk
1 sendok teh gula
1 sendok teh kaldu jamur bubuk
Setelah menyiapkan segala bahan, berikut adalah langkah-langkah pembuatan.
Kaldu ikan:
- Daging ikan dihaluskan, kemudian dikukus hingga menjadi lembut.
- Ulek bawang merah, bawang putih, dan jahe.
- Tumis bumbu yang telah halus hingga harum.
- Tambahkan udang, daun salam, dan ikan yang sudah dihaluskan tadi, aduk rata.
- Tambahkan garam, merica, gula, dan kaldu jamur, sambil diaduk rata dan sesuaikan dengan selera.
- Angkat dan sisihkan.
Pantiau:
- Aduk rata tepung beras, tepung tapioka, minyak, dan garam.
- Masukkan air secara perlahan sambil diaduk. Lalu, sediakan loyang bundar dengan diameter 18 cm, olesi dengan minyak.
- Masukkan 100 ml adonan pantiau. Lalu, Kukus hingga matang. Terus ulangi step tersebut hingga bahan utama habis.
- Kemudin sisihkan pantiau dengan cara digantung hingga dingin. Taburi sedikit tepung, lalu iris 1 cm.
- Saat hendak disajikan, pantiau yang telah diiris celupkan ke air panas agar tepung luruh.
- Sajikan dan tata di atas piring. Kemudian tuang kaldu ikan dengan takaran 2—3 sendok makan.
- Tambahkan kecambah, seledri, dan bawang merah serta sambal cabai rawit, dan jeruk kunci sebagai pelengkap.
Pantiau Bangka memang lezat. Tak percaya, silakan dicoba resepnya dan cicipi setiap regukan kuah kaldu dan renyah pantiaunya. (Dina Sayyidina Rani dan Ika Piyana)
Comment