by

Edukasi Hukum, Memahami Pasal 167 KUHPidana

Oleh: Andre Yosua M

KOPI, Jakarta – Ahli Hukum Pidana dan Pengajar Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Andre Yosua M memaparkan terkait Pasal 167 KUHP. Dari pemahaman yang dijelaskan diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang hukum khususnya yang tercantum dalam Pasal 167 KUHP tersebut.

Berikut beberapa pemahaman Pasal 167 KUHP dari berbagai sumber antara lain:

Terjemahan Tim Penerjemah BPHN, berbunyi:

(1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

(2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jahatan palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.

(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

(4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan atau lebih dengan bersekutu.

Berikutnya, sebagai perbandingan terjemahan yang dibuat S.R. Sianturi berbunyi sebagai berikut:

(1) Barangsiapa secara melawan hukum memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain ataupun secara melawan hukum berada di situ yang atas permintaan dari atau atas nama dari pehak (yang berhak) tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan atau pidana denda maksimum tiga ratus rupiah (x 15).

(2) Barangsiapa yang untuk memasuki tersebut dengan cara memanjat, menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau kostum palsu, ataupun tanpa terlebih dahulu sepengetahuan pehak (yang berhak) dan bukan karena kekhilafan, memasukinya dan kedapatan di situ pada waktu malam, dipandang sebagai
memaksa masuk.

(3) Apabila si petindak mengeluarkan ancaman-ancaman atau menggunakan sarana untuk menakuti, diancam dengan pidana penjara maksimum satu tahun empat bulan.

(4) Ancaman pidana yang ditentukan pada ayat pertama dan ketiga dapat ditambah dengan sepertiganya, apabila yang melakukan kejahatan itu dua orang atau lebih secara bersekutu.

Sementara R. Soesilo membuat terjemahan terhadap Pasal 167 KUHP ini sebagai berikut:

(1) Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada di situ dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,-

(2) Barangsiapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barangsiapa dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ke tempat yang tersebut tadi dan kedapatan di sana pada waktu malam, dianggap sudah masuk secara memaksa.

(3) Jika ia mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang dapat menakutkan, maka dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

(4) Hukuman yang ditentukan dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah dengan sepertiganya, kalau kejahatan itu dilakukan, dua orang bersama-sama atau lebih.

Sebagai perbandingan, terjemahan Pasal 167 KUHP menurut P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, yaitu:

(1) Barangsiapa secara melawan hak memasuki atau secara melawan hak berada di sebuah rumah atau sebuah ruangan yang tertutup atau sebuah halaman yang tertutup, yang dipakai oleh orang lain, tidak segera meninggalkan tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Barangsiapa telah masuk dengan jalan membongkar, memanjat, mempergunakan kunci-kunci palsu, dengan mempergunakan perintah atau seragam palsu, atau yang telah memasuki tanpa sepengetahuan orang yang berhak bukan karena kekeliruan, atau dijumpai di sana pada waktu malam, dianggap sebagai telah memasuki dengan paksa.

(3) Apabila ia mengucapkan ancaman-ancaman atau mempergunakan alat-alat yang dapat menimbulkan ketakutan, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun dan empat bulan.

(4) Hukuman-hukuman sepeti yang ditentukan di dalam ayat pertama dan ketiga dapat diperberat dengan sepertiganya, apabila kejahatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

Dari beberapa terjemahan yang dikemukakan sebelumnya tampak delik (tindak pidana) pokok diatur dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Untuk ayat (2) berisi tafsiran yang diperluas terhadap unsur “memaksa masuk” dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Selanjutnya Pasal 167 ayat (3) dan (4) KUHP merupakan alasan-alasan untuk memberatkan pidana.

Pasal 167 ayat (1) KUHP sendiri tidak memberi kualifikasi (nama) terhadap tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya, tetapi umumnya tindak pidana ini dinamakan huisvredebreuk, di mana salah satu terjemahannya diberikan oleh S.R. Sianturi sebagai “peresahan ketenangan rumah”. Unsur-unsur dari tindak pidana peresahan ketenangan rumah (huisvredebreuk) Pasal 167 ayat (1) KUHP, dengan berpatokan pada terjemahan S.R. Sianturi, yaitu:

  1. Barang siapa
  2. a. secara melawan hukum memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain; ataupun b. secara melawan hukum berada di situ.
  3. Yang atas permintaan dari atau atas nama dari pehak (yang berhak) tidak pergi dengan segera.

Unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan satu persatu sebagai berikut:

  1. Barangsiapa.

Barang siapa adalah subjek tindak pidana atau pelaku tindak pidana, di mana dalam sistem KUHP yang berlaku sekarang ini yang dapat menjadi subjek tindak pidana hanyalah manusia saja, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek tindak pidana. Berbeda halnya dengan tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang di luar KUHP, di mana ada yang sudah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, misalnya dalam tindak pidana korupsi.

  1. Secara melawan hukum memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain ataupun secara melawan hukum berada di situ.

Unsur ini sebenarnya terdiri atas 2 (dua) kemungkinan, yaitu kemungkinan pertama berupa unsur “secara melawan hukum memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain”, sedangkan kemungkinan kedua berupa unsur “secara melawan hukum berada di situ”.

Hanya salah satu saja dari dua kemungkinan tersebut yang perlu dilakukan oleh pelaku dan dibuktikan oleh Penuntut Umum. Dua kemungkinan dari unsur kedua ini dapat dijelaskan satu persatu sebagai berikut:

a. kemungkinan pertama, secara melawan hukum memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain.

Pengertian “melawan hukum”, dijelaskan S.R. Sianturi antara lain bahwa, unsur melawan hukum di sini dengan tegas dirumuskan yang karenanya dalam penerapan delik ini harus dibuktikan sesuai dengan kenyataan. Artinya si petindak bertentangan dengan hak orang lain.
Jadi, pengertian melawan hukum diartikan sebagai tanpa hak.

Dalam putusan Hoge Raad, 18-12-1911, dipertimbangkan bahwa melawan hukum berarti “tanpa hak atau wewenangnya” atau zonder eigen recht of eigen bevoegheid. Dengan demikian, perlu dibuktikan bahwa si pelaku tidak berhak berbuat seperti itu.

Pengertian “memaksa masuk” diberikan uraian penjelasan S.R. Sianturi bahwa, yang dimaksud dengan memaksa masuk ialah memasuki (suatu rumah dan sebagainya) bertentangan dengan kehendak dari orang lain si pemakai yang sekaligus merupakan si pehak (yang berhak). Kehendak itu dapat diutarakan/diucapkan dengan lisan ataupun dengan tulisan bahkan dengan isyarat atau tanda yang sudah lazim dapat dimengerti bahkan juga secara diam-diam.

Dalam hal ini, apabila pintu dari suatu rumah ternganga (terbuka lebar), tidak berarti bahwa siapa saja dapat memasuki rumah tersebut, namun apabila ada orang lain memasukinya, dalam praktek hukum tidak dipandang sebagai memaksa memasuki. Jika pintu itu tertutup tetapi tidak dikunci, lalu ada orang lain membuka dan memasukinya tanpa mengucapkan “kulo nuwun”, “assalamualaikum” atau “spada”, maka pada umumnya dipandang sebagai memaksa masuk, terutama jika penghuni rumah itu sedang tidak berada di rumah, misalnya bertandang di rumah tetangga.

Namun apabila si pehak itu setelah ia pulang dan melihat kehadiran orang lain itu di rumahnya, dan ia tidak meminta supaya orang lain itu segera pergi, maka berarti secara diam-diam telah disetujui kehadiran tersebut dengan demikian bersifat melawan hukum dari tindakan orang lain tersebut terhapus.

Pengertian yang diberikan S.R. Sianturi terhadap kata-kata “memaksa masuk”, yaitu memasuki bertentangan dengan kehendak dari si pemakai.
Menurutnya, perlu ada pernyataan kehendak dari si pemakai rumah dengan suatu tanda, misalnya pintu tertutup berarti pemakai rumah tidak menghendaki orang masuk tanpa kehadirannya.

Dalam Pasal 167 ayat (2) KUHP disebutkan beberapa hal yang termasuk cakupan pengertian memaksa masuk, yaitu:

1) masuk dengan merusak atau memanjat. Pada Pasal 99 KUHP telah diberikan pengertian terhadap istilah memanjat. Pada Pasal 99 KUHP ini dikatakan bahwa yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di bawah tanah yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.

2) masuk dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau bahwa yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci.

Mengenai masuk dengan menggunakan perintah palsu, oleh Sianturi dikatakan bahwa, “Si petindak menggunakan suatu perintah tertulis yang palsu atau dipalsukan yang isinya seakan-akan memberi hak atau kewenangan baginya menurut perundangan untuk memasuki rumah tersebut”.

Mengenai pakaian jabatan palsu, Sianturi memberikan contoh, misalnya pakaian seragam atau yang menyerupai pakaian seragam militer, polisi, jaksa, jawatan lalu lintas angkutan jalan raya, pekerjaan perusahaan cleaning service, pegawai teknisi kelistrikan, pegawai teknisi elektronika, pegawai perusahaan air minum, pegawai perusahaan gas yang dipakai oleh seseorang yang tidak berhak/berwenang untuk itu.

3) tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam. Hal yang penting dalam hal ini adalah bahwa perbuatan itu dilakukan pada waktu malam.

Pengertian “ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup”, yaitu tujuan si pelaku adalah masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup, atau pekarangan tertutup. Mengenai apa yang dimaksudkan dengan rumah, diberikan keterangan oleh Sianturi bahwa, yang dimaksud dengan rumah (istilah umum) adalah suatu tempat yang sengaja diadakan atau dibuat untuk digunakan sebagai tempat tinggal di mana lazimnya dilakukan istirahat malam (tidur), makan/minum dan bahkan juga di mana harta sebagian atau seluruhnya dia taruh, di mana dia melakukan pekerjaan-pekerjaannya yang bersifat khusus, di mana dia menyebutkan alamatnya untuk surat menyurat.

Wirjono Prodjodikoro memberi keterangan tentang istilah rumah (woning) bahwa, istilah rumah kediaman. Ini harus diartikan secara luas, yaitu tidak terbatas pada rumah (huis), tetapi meliputi juga misalnya suatu kapal yang dipakai sebagai tempat kediaman (woonschip) atau suatu gudang biasanya hanya dipakai untuk menyimpan barang-barang.

Mengenai istilah ruangan tertutup, diberikan keterangan oleh Sianturi bahwa yang dimaksud dengan ruangan tertutup adalah setiap bangunan atau ruangan yang tidak terbuka setiap waktu untuk umum atau yang tidak sembarang waktu dapat dimasuki oleh siapa saja. Jadi suatu rumah yang tidak berpenghuni yang pintu-pintunya ditutup terkunci (misalnya baru saja selesai dibangun atau telah kosong untuk disewakan/dikontrakkan) adalah ruangan tertutup. Termasuk juga dalam golongan ruangan tertutup toko-toko, perusahaan, bengkel yang tidak dihuni.

Istilah ruangan tertutup diberikan keterangan oleh Wirjono Prodjodikoro sebagai berikut:

Ruangan tertutup (besloten lokaal); dengan disebutkannya istilah ini di samping rumah kediaman, maka yang dimaksudkan adalah ruangan yang tidak didiami orang. Tertutup tidak berarti bahwa ruangan sama sekali tertutup tanpa ada pintu terbuka, tetapi bahwa tidak sembarang orang boleh masuk ke situ. Sering dipasang tulisan “dilarang masuk” (verboden toegang). Akan tetapi, juga tanpa tulisan semacam itu, apabila selayaknya bukan sembarang orang boleh masuk, maka ruangan sudah dapat dikatakan tertutup menurut Pasal 167 itu.

Mengenai pekarangan tertutup, menurut keterangan Sianturi adalah sebidang tanah yang jelas terpisah dari sebidang tanah lainnya (sekelilingnya) dan jelas ada tanda-tanda yang dimaksudkan bahwa tidak setiap orang boleh memasuki pekarangan tersebut. Pekarangan ini tidak harus selalu ada atau pernah ada suatu bangunan di atasnya.

Untuk menyatakan ketertutupan dari pekarangan tersebut, biasanya dikelilingi dengan pagar atau selokan dan diberi tanda larangan untuk memasukinya.

Wirjono Prodjodikoro memberikan keterangan tentang pekarangan tertutup bahwa pada
hakikatnya, masalahnya sama dengan ruangan tertutup. Akan tetapi dalam hal pekarangan, ukuran untuk unsur tertutup harus lebih longgar karena suatu pekarangan bersifat terbuka. Adakalanya juga terdapat tulisan “dilarang masuk”, tetapi biasanya ini tidak ada. Tulisan “awas anjing” dapat disamakan dengan tulisan “dilarang masuk”.

Hoge Raad, dalam putusan tanggal 16-10-196, malahan memberikan pertimbangan bahwa, “dengan ‘halaman’ itu tidak dimaksudkan hanya sebuah halaman yang merupakan bagian dari suatu tempat kediaman, melainkan juga sebuah tempat pemakaman adalah sebuah halaman”.

Pengertian kata “yang dipakai orang lain” pernah diberikan putusan oleh Hoge Raad, 14-12-1914,
di mana dipertimbangkan bahwa, “ketentuan ini melindungi hak bertempat tinggal yang didasarkan pada kenyataan bertempat tinggal di sebuah rumah. Apakah penempatan rumah itu didasarkan pada sesuatu hak, adalah tidak menjadi soal”.

Dari putusan Hoge Raad, 14-12-1914 tersebut, tampak bahwa pengertian orang yang berhak adalah pengertian menurut kenyataan. Orang yang bertempat tinggal di suatu rumah dipandang sebagai yang berhak, sehingga orang tidak boleh memasuki rumah itu bertentangan dengan kehendak orang yang nyatanya bertempat tinggal di rumah tersebut. Apa yang menjadi dasar hak dari orang yang bersangkutan untuk bertempat tinggal di situ, tidak menjadi persoalan. Ini karena tujuan dari Pasal 167 KUHP yaitu melindungi hak yang bertempat tinggal.

b. kedua: berada di situ dengan melawan hukum. Mengenai unsur ini dikatakan oleh Sianturi, dalam hal ini ada dua kemungkinan, seseorang berada di situ yaitu setelah memasukinya baik dengan “memaksa” maupun tidak dengan mamaksa tetapi tanpa kulo-nuwun, atau semula memasukinya dengan ijin dari si pehak. Kemudian tidak segera pergi atas permintaan si pehak. Yang atas permintaan dari atau atas nama dari pehak (yang berhak) tidak pergi dengan segera.

Berkenaan dengan unsur ini diberikan keterangan oleh S.R. Sianturi bahwa, yang dimaksud dengan atas permintaan dari si pehak atau atas namanya ialah suatu perintah, suruhan, imbauan, saran ataupun gerakan maupun dengan tulisan (jika si pehak tidak bisa bicara) yang dapat dimengerti si petindak dan pada pokoknya menghendaki si petindak itu segera pergi. Dalam hal ini, yang penting ialah si petindak mengerti permintaan itu dan tidak harus diulang-ulang baru dipandang sempurna terjadi delik ini.

Dengan unsur ini tampak bahwa perlu ada permintaan dari penghuni rumah kepada orang yang memaksa masuk itu agar meninggalkan atau keluar dari rumah. Unsur ini dapat diberikan contoh berkenaan dengan kasus seorang penjual barang (kelontong) keliling yang masuk ke rumah orang lain untuk menawarkan barangnya, kemudian oleh yang menempati rumah disuruh ke luar, akan tetapi tidak segera pergi.

Menurut Hoge Raad, seorang pedagang kelontong tidak memiliki hak untuk memasuki rumah orang lain, sehingga dengan demikian, perbuatan pedagang kelontong yang memasuki rumah orang lain itu sudah sejak semula telah bersifat melawan hukum. Dalam hal pedagang klontong itu tidak segera pergi ketika disuruh keluar oleh penghuni rumah, maka perbuatan pedagang klontong itu telah merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana pelanggaran ketenangan rumah (huisvredebreuk).

T.J. Noyon tidak menyetujui pertimbangan Hoge Raad tersebut. Menurut pendapat Noyon, sebagaimana yang dikutipkan oleh R. Tresna, tidaklah sudah dari sejak mulanya timbul pelanggaran Pasal 167 KUHP, sebab si penjual itu berada di rumah itu tidak “bertentangan dengan hak orang lain”. Baru sesudah ia diserukan buat meninggalkan rumah itu, maka sejak itulah ia “bertentangan dengan hak orang lain”, jadi sejak saat itulah ia “melawan hukum”, sehingga diperlukan pengusiran kedua kali.

H.B. Vos mendukung pendapat T.J. Noyon dengan mengemukakan bahwa, jikalau istilah “melawan hukum” itu diartikan sebagai “bertentangan dengan apa yang dibenarkan menurut hukum atau anggapan masyarakat”, maka tidaklah akan timbul keganjilan seperti di dalam pengertian pengadilan tertinggi tersebut di atas, yaitu bahwa pedagang yang masuk rumah orang lain buat menawarkan barangnya sudah harus dianggap “melawan hukum”, yaitu “tanpa wewenang atau hak”.

Menurut H.B. Vos, seorang pedagang kelontong keliling yang memasuki rumah orang lain untuk menawarkan barang-barang dagangannya, tidaklah bertentangan dengan kebiasaan dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian juga tidak bersifat melawan hukum. Tetapi untuk perkembangan sekarang ini di mana kewaspadaan masyarakat sudah perlu lebih ditingkatkan menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk, adalah sebaiknya jika hanya memasuki halaman rumah maka pemilik rumah perlu meminta orang yang masuk tanpa izin itu untuk keluar, tetapi jika seseorang tanpa izin telah memasuki rumah orang sudah seharusnya jika disediakan ancaman pidana.

Bahwa Pasal 167 ayat (1) KUH Pidana hanya terkait dengan tindak pidana penyerangan terhadap ketentraman atau hak kebebasan rumah tangga (huisvredebreuk) atas rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang lain, bukan terkait dengan sengketa hak milik; ‘Pasal ini sama sekali tidak mengatakan “Pemilik” , tetapi “Pemakai” Sehingga pemilik rumahpun dapat pula melanggar pasal ini apabila dengan melawan hak masuk rumah yang dipakai oleh orang yang
berada di rumah itu; dan pada umumnya yang dipandang sebagai “pemakai” rumah itu bukan saja hanya kepala rumah tangga, tetapi juga semua anggota keluarga yang turut berdiam di rumah tersebut semuanya juga berhak melarang atau mengizinkan masuk rumah. (Red/Tim)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA