by

Renungan Ramadhan: Era Ketika Artificial Intelligence Juga Menjadi Penceramah Agama

Oleh Denny Jusuf Ali

KOPI, Jakarta – Robot dengan artificial intelligence pun kini sudah menjadi penceramah agama. CNN tahun 2019 memberitakannya dengan judul yang mencolok: The Android Priest That Revolutionizing Buddhism.

Diberitakan sebuah kuil Budha di Kyoto, di Koidaji Temple. Penganut Budha di sana diam tafakur mendengarkan khotbah biksu. Sang biksu begitu fasih mengutip ayat kitab suci dan hikmah hidup. Tapi biksu ini sosok robot dengan artificial intelligence.

Biksu Budha kuil itu, Tensho Goto, menceritakan kuil ini sudah berusia 400 tahun lebih. Hanya beberapa tahun belakangan, mereka terpikir menampilkan pendeta yang sangat hebat dalam bentuk robot dengan artificial intelligence.

Pendeta robot ini diberi nama Mindar. Dana dihabiskan sekitar 1 juta USD, atau 15 milyar rupiah untuk menciptakan robot ini. Mereka bekerja sama dengan ahli robot: Professor Hiroshi Ishiguro dari Osaka University.

Robot ini dibuat menyerupai citra Kannon Boddhissatva, The Buddhist Goddess of Mercy.

Ujar Tensho Goto: “Biksu biasa akan mati, dan pengetahuannya terhenti. Sementara biksu Mindar dari robot artificial intelligence ini terus hidup. Pengetahuan robot ini juga akan terus bertambah karena selalu diupdate lagi dan lagi oleh informasi dan ceramah yang baru.”

Kita pun terpana dengan arficial intelligence yang juga sudah berfungsi dalam ritus agama.

Lalu dimanakah peran agama agar fungsional di era ketika artificial intelligence pun sudah menjadi penceramah agama?

Untuk menjawab itu dapat dimulai oleh data. WHO di tahun 2018 mengeluarkan data yang membuat kita cukup terpana.

Organisasi kesehatan dunia itu menyatakan. Setiap 40 detik, satu orang di satu pelosok dunia mati bunuh diri.

Dalam setahun, sekitar 800 ribu individu memilih mati bunuh diri. Ini bukan saja menjadi angka bunuh diri yang sangatlah tinggi. Tapi jumlah yang bunuh diri itu kini lebih banyak dibandingkan mereka yang mati karena bencana alam, yang digabung dengan yang mati karena terorisme dan perang. (1)

Apa yang terjadi dengan dunia modern? Di balik gedung pencakar langit. Di balik emas yang bertumpuk di pertambangan. Di balik artificial intelligence dan teknologi tinggi. Menyebar para individu yang kehilangan makna hidup dan memilih mati.

Kompleksitas umumnya manusia memang tak bisa semata dicukupkan oleh kelimpahan ekonomi dan teknologi tinggi. Kini hadir sejenis kehampaan spiritualitas, yang derajatnya berbeda-beda pada banyak individu.

Di dunia barat, kebutuhan pada spiritualitas itu kini ditandai dengan menjamurnya kelas meditasi.

Forbes Magazine (2020) melaporkan bisnis meditasi meningkat sangat tajam di Amerika Serikat. Di tahun 2022, diprediksi bisnis meditasi mencapai angka 2 billion USD. Itu setara dengan 30 Trilyun rupiah.

Berbagai perusahaan besar menyediakan kelas meditasi bagi karyawannya. Antara lain perusahaan Apple, Yahoo, Google, Nike, HBO dan McKinsey and Co.

Para CEO perusahaan besar merasakan meditasi itu bisa ikut menjadi solusi untuk mengatasi kegelisahan dan kesehatan mental banyak karyawan. Kompetisi yang tinggi di dunia modern dan banyaknya problem dalam relasi sosial melahirkan problem mental sendiri.

Di Jepang, hadir pula fenomena unik lain. Rasa kesepian banyak individu di sana berada di titik parah.

Pada tahun 2021, Perdana Menteri Yoshihide Suga menunjuk Tetsushi Sakamoto. Jabatan yang diberikan adalah posisi Menteri untuk urusan kesepian (Loneliness Minister).

Terutama di era Covid, sang menteri diberi tugas mengatasi banyaknya angka bunuh diri, keputus- asaan dan problem kesepian.

Dulu kementrian mengurus soal politik, ekonomi, budaya dan hubungan internasional. Karena desakan keadaan, ada pula menteri yang secara khusus tugasnya mencari solusi bagi warga negara yang kesepian dan hendak bunuh diri.

Di banyak negara lain, mereka mencari solusi atas kebutuhan spiritual kepada harta terpendam, sisi spiritual dari agama yang ada, yang selama ini tertutupi oleh praktek agama mainstream yang formalistik.

Gerakan mencari spiritualitas baru di atas juga menjadi kritik. Kekosongan spiritual dunia modern itu juga disebabkan oleh dekadensi banyak institusi agama mainstream.

Dunia juga menyaksikan terputusnya ajaran moral dari agama dengan prilaku sosial penganut agama itu. Dalam banyak kasus, kesalehan penganut agama hanya berhenti pada kesalehan ritus agama belaka. Ia tak berlanjut dan tak berbuah pada kesalehan perilaku sosial penganutnya.

Beberapa data di bawah ini menjadi contoh.

Untuk kasus di Indonesia, misalnya. Di tahun 2011, KPK mengumumkan betapa Departemen Agama di Indonesia menjadi departemen paling korup dari 22 institusi publik yang diriset.

Sebuah departemen yang diharapkan menyebarkan gagasan soal hidup yang amanah dan jujur malah menjadi sarang korupsi paling parah.

Indonesia pun menjadi negara yang dianggap tingkat korupsinya buruk dalam peringkat dunia.

Indonesia negara populasi muslim terbesar di dunia. Tapi untuk kategori pemerintahan yang bersih, Indonesia tak masuk Top 100.

Indonesia hanya bertengger di papan tengah bawah, rangking ke- 110. Itu terlihat dari index korupsi yang dikembangkan oleh Transparancy International ( CPI, 2022).

Tapi ini tak hanya melanda negara populasi muslim terbesar. Negara populasi Hindu terbesar, India, juga tepuruk di rangking 85.

Negara populasi Budha terbesar, Thailand, terpuruk di rangking 101. Negara populasi katolik terbesar, Brazil, terpuruk di rangking 94.

Ini menjadi pertanyaan. Mengapa agama yang dipeluk oleh mayoritas populasi negara itu tak berujung pada kehidupan publik yang bersih dan jujur setidaknya untuk soal korupsi?

Mengapa ada jarak antara ajaran agama dan perilaku sosial penganutnya? Bukankah di negara yang mayoritas penduduk menganggap agama sangat penting, negara itu harus masuk menjadi Top 10 negara paling bersih dari korupsi? Mengapa yang terjadi justru sebaliknya?

Di era ini agama sudah meredup sebagai kekuatan akhlak. Itulah sebabnya.

Padahal justru dalam fungsi akhlak itulah harta termahal agama. Yang ramai adalah ritus agama. Tapi ritus itu berhenti tak membuahkan perilaku sosial yang sesuai.

Maka agama harus dihidupkan kembali sebagai kekuatan akhlak, sebagai agama akhlak. Tapi ini agama akhlak dengan mindset abad 21.

Itu berbeda dengan agama akhlak di era ketika umumnya agama dilahirkan di era awal masehi (abad 3 sebelum masehi hingga abad 7 setelah masehi).

Abad 21 memiliki mindset yang sudah berubah. Di abad ini, dua hal yang dominan.

Pertama datangnya era ilmu pengetahuan. Ruang publik kini lebih diwarnai oleh arahan dari temuan ilmiah. Penganut agama di era ini harus mengikhlaskan ilmu pengetahuan yang berperan di ruang publik untuk kebijakan publik.

Kedua, datangnya negara nasional. Dalam negara nasional, konsep umat berubah menjadi konsep warga negara.

Dalam konsep umat, identitas masyarakat adalah satu agama. Jika ada umat agama lain, posisinya tersubordinasi.

Tapi dalam konsep warga negara, semua warga diperlakukan sama dan sejajar, apapun agamanya. Penganut agama pun harus pula mengikhlaskan kesetaraan sosial bagi aneka agama.

Di abad 21, ruang publik lebih dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan hukum negara nasional.

Tapi kebersihan dan kesucian akhlak tak bisa sepenuhnya dibangkitkan oleh kelimpahan ekonomi dan teknologi tinggi. Di sinilah lokasi agama.

Agama akhlak membentuk individu untuk hidup yang teguh dengan prinsip kebajikan, keadilan, dan keberanian melawan kemungkaran. Dari perjuangan akhlak itu pula tercipta meaning of life.

Bagi umat Muslim, bulan Ramadan menjadi momen yang panjang. Sebulan penuh, di bulan ramadhan, umat Islam dapat menghidupkan kembali driving force agama di dalam diri untuk menjadi kekuatan akhlak.

Tindakan beragama perlu kita tafsirkan sebagai kegiatan yang fokus membersihkan akhlak. Itu perbuatan yang terus menerus membersihkan diri, menyucikan pikiran.

Ini agar hati kita semakin diisi oleh prinsip compassion, prinsip kebajikan, prinsip berbagi dan prinsip keadilan.*

April 2023

(* Transkripsi Pidato Denny JA selaku Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena dalam buka puasa bersama para penulis di Jakarta).

CATATAN

(1) Jumlah yang mati karena bunuh diri kini lebih banyak dibandingkan jumlah yang mati karena bencana alam digabung dengan mati karena terorisme dan perang. https://indianexpress.com/article/lifestyle/health/suicide-kills-more-people-than-war-every-year-survey-5384508/lite/

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA