KOPI, Cirebon – Pemilihan Kepala Desa (Kades) bagi sebagian besar masyarakat Cirebon menyebutnya Pemilihan Kuwu (Pilwu). Masyarakat sangat antusias mengikuti acara pemilihan kepala desa yang diadakan 6 tahun sekali. Bagi mereka, Pilwu adalah sarana untuk berpartisifasi dan memilih calon pemimpin yang bisa membawah perubahan di desanya.
Masyarakat di desa-desa di wilayah Cirebon berharap putra-putri di daerahnya yang maju dalam kontestasi Pilwu. Para kandidat peserta Pilwu itu juga diharapkan berkomitmen memajukan kampung halamannya.
Tapi uforia demokrasi desa ini tidak jarang dimanfaatkan oleh para elit desa sebagai ajang dominasi perebutan kekuasaan. Hal tersebut sering menimbulkan gesekan-gesekan di tengah masyarakat.
Seperti yang dituturkan oleh warga Desa Gujeg, sebuah desa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang tidak mau disebut namanya. “Gesekan antar masyarakat itu ada, bahkan sempat terjadi bentrok antar pendukung pada pemilihan tahun lalu,” kata narasumber yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini, Jumat, 10 Maret 2023.
Potensi gesekan, lanjutnya, disebabkan naiknya tensi politik, terlebih adanya calon-calon boneka yang ikut dalam kontestasi pemilihan kuwu. “Calon boneka memang sengaja dipersiapkan untuk menjegal salah satu calon yang dinilai potensial dan mendapatkan dukungan dari masyarakat,” tambahnya.
Fenomena boneka yang dipasang sebagai kandidat peserta Pilwu memang kerap sekali merugikan bagi keharmonisan dan memicuh gesekan antar pendukung. Oleh sebab itu diperlukan kesadaran masyarakat untuk menolak calon boneka, di setiap ajang pemilihan pimpinan di desanya, terutama di Pilwu.
“Ini penting untuk menjaga keharmonisan, ketertiban dan keamanan di kalangan masyarakat,” tutupnya. (*)
Comment