by

Khianati Semangat Reformasi, Kehancuran Polri Merupakan Sesuatu yang Pasti

Oleh: NN

KOPI, Jakarta – Reformasi yang mengangkat Polri dan Reformasi pula yang menjatuhkan Polri. Kerusakan di tubuh Polri bukan lagi persoalan oknum, tetapi merupakan kerusakan pada institusi. Kerusakan moral dan mental pribadi yang membuat rusaknya institusi melanda sebahagian besar anggota Polri. Jika Polri tidak melakukan pembenahan total, kehancurannya merupakan sesuatu yang pasti!

Pada 21 Desember 2011 seluruh satuan polisi di Kota Veracruz, Meksiko, dibubarkan oleh Pemerintah Meksiko. Pembubaran itu dilakukan dengan mengerahkan Marinir Angkatan Laut Meksiko untuk mengendalikan situasi. Hal ini karena semua anggota polisi negara bagian Veracruz terlibat korupsi. Polisi di negara bagian itu juga dikendalikan oleh kartel narkoba Meksiko.

Di Indonesia semenjak Polri lepas dari TNI, berdiri sendiri dan langsung di bawah Presiden, moral dan mental Polisi berobah sangat jauh. Bahkan perilaku mereka bertentangan dengan Tribrata dan Catur Prasetya yang selalu diucapkan setiap apel dan upacara. Saat masih bersama TNI, Polri selalu mengeluh akibat sulit untuk menentukan sikap. Mereka dianggap sebagai “Saudara Muda” di dalam ABRI. Ketika terjadi penyelewengan oleh oknum polisi maka ABRI sebagai tempat berlindung. Tetapi ketika Polri berdiri sendiri dan terjadi masalah, maka polisi menyelamatkan diri masing-masing dan berlindung di balik media, politisi dan akademisi.

Pemisahan Polri dari ABRI ternyata membuat Polri lepas kendali. Kondisi ini berbuah malapetaka bagi bangsa dan negara. Ternyata kapasitas, kapabilitas dan integritas setiap anggota Polri tidak mampu untuk membangun dan menjaga Indonesia menjadi lebih baik. Sebaliknya, justru menghancurkan prestasi yang telah dicapai oleh Orde Baru.

Polisi Jadi Musuh Masyarakat

Setiap Kapolri selalu mempunyai slogan masing-masing, tetapi intinya tetap sama yaitu “Jika bisa dipersulit, buat-apa dipermudah”. Fungsi Polri bukan Menegakan Hukum tapi Mencari Kesalahan Hukum. Slogan Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat ternyata berobah menjadi Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Penguasa dengan cara mengintimidasi dan menzholimi masyarakat. Hukum menjadi berkah bagi orang kaya dan musibah bagi rakyat jelata.

Di era Orde Baru, ABRI hanya musuh aktivis dan mahasiswa karena kebebasan berekspresi dibatasi. Tetapi setelah Polri memisahkan diri dari ABRI, Polisi menjadi musuh masyarakat, pengusaha, aktivis, mahasiswa, preman, pedagang, tukang ojek, sopir, dan lain-lain, karena mereka pernah dirugikan dalam mencari keadilan.

Dalam mencari makan dan rejeki, TNI seperti bebek yang berbaris sesuai dengan pangkat dan senioritas. Polri seperti ayam yang jika ada beras, akan berebut tanpa melihat pangkat, jabatan dan senioritas. Pengelompokan di TNI berdasarkan satuan dan tahun angkatan, pengelompokan di Polri berdasarkan suku, agama dan kepentingan.

Gerakan Reformasi yang digelorakan oleh mahasiswa dan masyarakat merupakan hadiah terbesar dalam sejarah Polri yang membuat Polri berdiri sendiri. Tetapi saat ini, ketika mahasiswa dan rakyat melakukan hal yang sama seperti pada 1998 untuk menyuarakan aspirasi, justru diintimidasi dan dikriminalisasi oleh polisi. Reformasi telah memakan anak kandungnya sendiri.

Agenda Reformasi dalam pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum, membuat Polri sebagai penguasa hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum ternyata tidak sama kedudukannya jika berurusan dengan Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Peradilan).

Wewenang Polri Overload

Di dalam sejarah dunia modern, hanya di Indonesia wewenang Polri dalam menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah luar biasa. Polri diberi kewenangan menangani terorisme, separatisme, memberi ijin keramaian, mengatur lalu-lintas, membuat SIM, memungut pajak kendaraan, menetapkan tersangka, membuat perkara dan mengajukan perkara ke Pengadilan melalui Kejaksaan, menghentikan perkara, menangkap, menahan dan memenjarakan seseorang tanpa proses peradilan, melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan melakukan surveillance. Bahkan, Polri mempunyai peralatan militer.

Konflik internal di tubuh TNI sangat jarang terbuka ke publik karena TNI tidak bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Berbeda dengan konflik internal di Polri yang terbuka ke publik karena ketika seorang polisi terlibat konflik internal dengan sesama anggota polri, dibutuhkan dukungan eksternal (Pengusaha, Politisi, dan media) untuk menyelamatkan pangkat dan jabatan.

Jika di TNI dikenal dengan istilah “Air Mancur”, atasan membagi rezeki kepada bawahan, di Polri dikenal dengan “Air Muncrat”, bawahan setor ke atasan. Inilah sebabnya ketika atasan pensiun dan digantikan bekas bawahannya, pola yang sama akan tetap dilanjutkan dan pensiunan Polisi menghilang dari keramaian.

Para pemuda dengan berbagai pengorbanan ingin menjadi anggota Polri dan ketika masuk pendidikan Polri, dengan doktrin dan idealisme yang tinggi mereka ingin mengabdi kepada negar. Namun, ketika selesai pendidikan, mereka harus melaksanakan perintah atasan walaupun bertentangan dengan Tribrata dan Catur Prasetya. Mereka dihadapkan pada pilihan antara memilih mempertahankan idealisme atau memilih pangkat, jabatan dan masa depan.

Rebutan Tongkat Komando

Reformasi dipersembahkan untuk Polri agar bisa menentukan dan menemukan dirinya. Tetapi reformasi dimulai dengan sejarah buruk konflik internal rebutan “Tongkat Komando” antara Surojo Bimantoro vs Chaeruddin Ismail tahun 2001 yang kemudian berlanjut dengan konflik internal lainnya. Terakhir adalah kasus Ferdy Sambo, Firli Bahuri, dan Teddy Minahasa yang membuat moral dan mental anggota Polri berada di titik nadir.

Hampir seluruh lapisan masyarakat, pernah merasakan ketidakadilan yang dilakukan oleh polisi. Hal ini disebabkan dalam hal menegakan hukum, polisi bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri. Bahkan, sering mengorbankan sesama anggota polisi. Akibatnya di masyarakat dikenal dengan anjuran “Jangan terlampau dekat dengan polisi, karena sesama anggota polisi saja saling makan, apalagi dengan orang lain”.

Ketika menghadapi kasus yang bersentuhan dengan kekuasaan, Polri bertindak berdasarkan pertimbangan politik praktis untuk menyelamatkan pribadi para pejabat Polri. Oleh sebab itu masyarakat mempunyai istilah ketika berurusan dengan polisi “Hilang Kambing, Jual Sapi”.

Jika berhadapan dengan masyarakat biasa yang berada di luar kekuasaan tanpa harta, pangkat dan jabatan, Polri sudah terbiasa melakukan rekayasa hukum dengan melanggar prinsip keadilan dan kemanusiaan. Tetapi ketika terjadi konflik internal seperti kasus irjen Ferdy Sambo, Polri bingung dalam menentukan sikap dan melakukan rekayasa karena akan menciptakan konflik di dalam dan membuka kejahatan di dalam tubuh polri yang berakhir dengan mencoreng muka sendiri.

Jika dihadapkan kepada pilihan untuk menyelamatkan negara atau menyelamatkan institusi Polri, maka polisi akan lebih memilih menyelamatkan institusi Polri dengan mengorbankan negara. Jika dihadapkan kepada pilihan untuk menyelamatkan institusi atau menyelamatkan pribadi, maka polisi akan lebih memilih menyelamatkan pribadi dengan mengorbankan institusi, walaupun kita sering mendengar kata-kata klise “Selamatkan Institusi”.

Pensiunan Tidak Dihargai

Ketika negara dalam keadaan kekacauan seperti yang terjadi saat ini, sangat jarang pensiunan jendral polisi memberikan pernyataan tentang situasi dan kondisi negara secara terbuka di publik atau media. Sangat jarang pensiunan jendral polisi yang tampil ke publik dan menyuarakan kebenaran. Tetapi ketika kasus internal tewasnya anggota polisi dengan pangkat terendah Bharada, banyak pensiunan jenderal polisi yang memberikan statement maupun komentar dengan berbagai macam argumen yang berkaitan dengan pribadi dan institusi. Hal ini menunjukan bahwa mereka hanya peduli terhadap Institusi atau pribadi anggota Polri tetapi mengabaikan kondisi negara.

Setelah pensiun, umumnya mereka rajin beribadah, seakan-akan ingin menyuap Tuhan agar dosa masa lalunya diampuni. Hal ini akibat perilaku mereka di masa lalu. Umumnya, para pensiunan jenderal polisi yang tanpa jabatan, tidak dihargai oleh polisi aktif karena saat mereka menjabat, mereka menindas dan memeras bawahannya, sehingga ketika mereka pensiun, bawahan yang menggantikannya akan membalas dengan tidak menghargai bekas atasannya. Mereka masih bisa dihargai dan dilindungi dengan cara memasukan sanak keluarganya sebagai anggota Polri. Sebelum pensiun, para jenderal polisi mengumpulkan sebanyak mungkin uang dan harta agar ketika masuk masa pensiun, mereka masih bisa eksis dalam pergaulan sehari-hari.

Polri memberikan atensi terhadap suatu peristiwa bukan berdasarkan pertimbangan hukum tetapi berdasarkan rating viral di media. Hitam-putihnya seseorang ditentukan oleh Polri sehingga Polri menjadi penentu dan memonopoli Kebenaran. Polri bebas menuduh bahkan memenjarakan seseorang atas dasar keinginan para pembeli keadilan.

Sejak awal Polisi sudah terbiasa dengan rekayasa kasus untuk mencapai prestasi sambil mencari dana operasi. Operasi Polri selalu didahului dengan kata-kata “Berdasarkan informasi dari masyarakat”. Untuk menaikan citra polri di mata masyarakat, dengan didukung oleh media, politisi, akademisi dan praktisi maka dilakukan rekayasa operasi agar polri mendapat apresiasi dari masyarakat sekaligus pelaku operasi mendapat prestasi untuk promosi.

Kasus Ferdy Sambo

Tanpa disadari, Operasi Rekayasa Polri telah menyeret korban yang sangat besar, dengan kerusakan moral dan mental anggota Polri disertai dengan kebencian masyarakat terhadap Polri. Terungkapnya kasus Ferdy Sambo menyebabkan Polri menjadi organisasi kriminal resmi terbesar di dunia yang difasilitasi oleh negara.

“Democratic Policing” telah berobah menjadi “Munafiq Policing”. Polri tidak sanggup untuk memikul beban kewenangan yang sangat besar yang diberikan oleh rezim reformasi. Hal ini disebabkan karena “bahan baku” sebagai pondasi pembentukan anggota polri tidak akan mampu untuk membangun kapasitas, kapabilitas dan integritas. Hal ini diakibatkan dari jenjang seleksi, vokasi, mutasi dan promosi, hampir semua diperoleh dengan cara jual-beli. ±70% Taruna Akpol berasal dari keluarga Polisi. hal ini menyebabkan Polisi bukan Abdi Negara tetapi Abdi Keluarga.

Reformasi Gagal Total. 24 tahun reformasi telah membuat Polri menjadi “Negara dalam Negara” dan pengelompokan di tubuh Polri merupakan “Warung dalam Restaurant”.

Para elite Polri ditanya tentang bagaimana cara memperbaiki kinerja Polri? Selalu dijawab dengan jawaban klise: “Naikan Gaji dan Tunjangan”. Hal yang sama seperti tuntutan buruh saat aksi demo tahunan. Jika saat ini TNI ingin mengulang sejarah Petrus (Penembak Misterius) 1983-1985, dapat dipastikan bahwa korban terbesar adalah aparat penegak hukum.

Sulit Dibersihkan

Sangat sulit untuk membersihkan Polri dari tindak kejahatan. Saat ini negara dalam kesulitan keuangan. Kegiatan operasional pemerintah hanya bisa dibiayai dari uang yang diperoleh dari hasil kejahatan dan transaksi illegal yang melibatkan Polri, Pemerintah dan Parlemen.

Reformasi yang mengangkat Polri dan Reformasi pula yang menjatuhkan Polri. Kerusakan di tubuh Polri bukan lagi persoalan oknum. Kerusakan pada institusi dan pribadi membuat rusaknya moral dan mental sebahagian terbesar anggota Polri. Para jenderal polisi senior tanpa disadari telah mewarisi kebencian masyarakat terhadap polisi. Keadaan buruk yang akan ditanggung oleh para juniornya di masa mendatang. Publik hanya mengingat satu orang sosok Polisi terbaik yaitu Hoegeng Imam Santoso (1921-2004).

Seluas apapun lautan selalu akan berakhir di pantai. Sehebat apapun seseorang atau kelompok, selalu ada batasnya. Tidak ada kejahatan yang sempurna dan kekal selamanya. Di dunia ini tidak ada yang hilang. Alam Semesta tidak akan pernah berhutang kepada manusia. Justru manusia yang berhutang dan Alam Semesta akan menagih dengan caranya sendiri. (NN/Red)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA